Menyoal
Wajib Belajar
Daniel
Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan
Pendidikan Jawa Timur
|
KOMPAS,
01 Juli 2014
WAJIB
belajar sebagai program pemerintah sudah cukup lama dikonsepkan dan saat ini
wajib belajar 12 tahun gratis dijadikan bahan kampanye para calon presiden.
Program itu amat populer, tapi perlu ditinjau ulang karena tidak akan pernah
berhasil dan tidak perlu serta berpotensi menyesatkan apalagi dibumbui kata
gratis.
Yang
dimaksud wajib belajar ternyata diwujudkan dalam wajib bersekolah. Pemerintah
melalui Kemendikbud praktis menyamakan pendidikan dengan persekolahan.
Alokasi anggaran untuk persekolahan jauh lebih besar daripada untuk
pendidikan nonformal dan informal. Maksud program itu, warga negara Indonesia
diharapkan minimal lulusan SMA (bersekolah 12 tahun) dalam lima tahun ke
depan. Ini sebuah program yang dimaksudkan untuk membebaskan semua warga
negara untuk menikmati bangku sekolah hingga SMA tanpa membayar uang sekolah.
Mungkin masyarakat harus tetap membiayai sendiri untuk seragam, sepatu dan
buku, serta transpor ke sekolah.
Program
tersebut tidak akan pernah berhasil dan sesungguhnya tidak perlu karena
beberapa alasan. Berdasar pengalaman, Amerika Serikat sebagai negara adidaya
dengan duit melimpah pun gagal. Program No
Child Left Behind yang diluncurkan Bush Jr. boleh dikatakan gagal
menyediakan persekolahan 12 tahun untuk semua anak AS. Studi Ivan Illich dkk
di Cuarnavaca, Meksiko, akhir 1960-an sebelumnya dengan jelas mengingatkan
bahwa pendidikan universal tidak mungkin diwujudkan melalui persekolahan (schooling).
Mengapa
gagal? Sistem persekolahan dirancang dengan dua bias. Bias pertama adalah
bias kelas menengah dan kelas atas. Artinya, anak miskin umumnya dirugikan
atau terpaksa dropped-out karena
berbagai sebab, terutama karena harus bekerja membantu ekonomi keluarga.
Angka partisipasi kasar secara konsisten dilaporkan menurun dengan kenaikan
jenjang sekolah. Hanya sedikit yang berhasil memanfaatkan sekolah untuk
kemudian naik ke kelas sosial yang lebih tinggi. Bias kedua adalah bias kota
dengan lingkungan industrial. Anak-anak di pedesaan, apalagi di daerah
terpencil, dirugikan karena keterbatasan infrastruktur dari rumah mereka ke
lokasi sekolah. Apalagi di daerah kepulauan Indonesia. Mereka harus menempuh
perjalanan jauh dan perjalanan itu bisa berbahaya bagi keselamatan mereka.
Bahkan, saat mereka tiba di sekolah, guru mereka belum tentu hadir.
Sekolah
juga bias industri. Anak-anak pedesaan diasingkan sekolahnya dari lingkungan
lokal mereka yang biasanya berbasis agrokompleks seperti pertanian,
perkebunan, peternakan, serta perikanan. Urbanisasi besar-besaran yang
melanda hampir semua kota besar di dunia disebabkan adanya persekolahan yang
bias industri tersebut. Karena itu, sebenarnya tidak ada ’’daerah
tertinggal’’ karena yang terjadi sesungguhnya adalah ’’daerah yang
ditinggalkan’’ warga produktifnya untuk mencari pekerjaan di kawasan
perkotaan. Minat warga muda untuk menekuni bidang agrokompleks terus menurun.
Kebanyakan lebih tertarik di bidang otomotif dan informatika khas gaya hidup
urban.
Wajib
belajar yang diartikan sebagai wajib sekolah juga menyesatkan karena,
pertama, belajar sesungguhnya adalah sebuah proses spontan yang tidak
mensyaratkan persekolahan dengan semua formalismenya yang menyedot banyak
sumber daya seperti gedung, guru, dan kurikulum. Belajar sebagai sebuah
proses memaknai pengalaman setidaknya terdiri atas tiga kegiatan pokok.
Pertama adalah eksplorasi, terutama melalui membaca. Kedua adalah mengalami,
terutama melalui praktik. Ketiga adalah mengekspresikan diri, terutama
melalui menulis dan berbicara. Tiga proses tersebut banyak terjadi justru di
luar sekolah. Artinya, belajar sebagai kegiatan alamiah yang bisa terjadi di
mana pun dan kapan pun diubah menjadi komoditas langka oleh sekolah.
Kekeliruan sekolah tersebut semakin kentara pada zaman internet ini.
Kedua,
mewajibkan setiap anak untuk bersekolah bisa merupakan sebuah kekerasan
psikologis terhadap mereka. Bersekolah harus bersifat sukarela dan pilihan
bebas karena anak bisa belajar di mana pun seperti di kepanduan, misalnya,
dan terutama dalam keluarga di rumah. Daoed Joesoef menyebut keluarga sebagai
sekolah cinta. Yang tidak bersekolah karena memilih belajar mandiri atau
harus bekerja membantu keluarga tidak boleh diintimidasi sebagai kampungan
dan tidak terdidik. Di samping itu, seperti yang terbukti banyak terjadi
akhir-akhir ini, sekolah bukan selalu tempat yang aman bagi anak. Bullying
dan kekerasan fisik oleh senior, intimidasi oleh guru melalui berbagai cara
seperti pe-ranking-an, sampai pelecehan seksual dan tekanan untuk nyontek
bersama terjadi di banyak sekolah. Artinya, akses gratis ke sekolah saat ini
justru bisa membahayakan anak. Sekolah tidak bisa lagi taken for granted
sebagai institusi yang suci dan mulia.
Wajib
belajar yang diartikan wajib sekolah juga menyesatkan karena meremehkan peran
masyarakat dan terutama keluarga dalam pendidikan. Birokrat pendidikan
biasanya mengelabui masyarakat dengan mengatakan bahwa peran keluarga dan
masyarakat tetap penting dalam pendidikan. Tapi, itu hanya retorika yang
tidak diikuti anggaran yang didedikasikan secara memadai untuk masyarakat dan
keluarga. Analisis lebih dalam akan menunjukkan bahwa sekolah memang
berkompetisi melawan keluarga dalam pendidikan. Ivan Illich bahkan
mengungkapkan, sekolah melakukan monopoli radikal di pasar pendidikan.
Buktinya bisa kita lihat akhir-akhir ini dengan gejala ’’full-day school’’
dan hiruk-pikuk ’’pendidikan karakter’’ serta Kurikulum 2013. Wacana itu
telah mempertaruhkan keterdidikan warga negara dan masa depan bangsa hanya di
pundak persekolahan. Puasa sebulan penuh selama Ramadan bisa jauh lebih
efektif dalam membentuk karakter anak daripada sekolah bertahun-tahun.
Wacana
wajib belajar 12 tahun juga menyesatkan karena belajar sesungguhnya merupakan
kegiatan yang spontan dan berlangsung sepanjang hayat dikandung badan dan
karena itu seharusnya menyenangkan agar bermakna bagi anak sebagai subjek
yang belajar dan bagi semua warga belajar. Wajib belajar, dalam praktiknya
bagi banyak anak, bisa menjadi wajib mendengarkan guru yang membosankan dan
sok tahu, terdiskriminasi berdasar kategori kecerdasan yang sempit, dan
terasing dari jati diri sendiri melalui penyeragaman atas nama standar pendidikan.
Sekolah juga justru sering menjadi penjara dan ladang pemasungan kreativitas
anak.
Karena
itu, pada abad internet ini, belajar tidak boleh lagi diwajibkan, sekalipun
dengan penggratisan, apalagi harus di sekolah. Bersekolah harus menjadi pilihan
bebas bagi setiap anak Indonesia. Yang penting adalah belajar, bukan
bersekolah. Yang perlu dilakukan pemerintah bersama masyarakat bukan
memperbesar persekolahan (schooling),
tapi memperluas kesempatan belajar (learning
opportunities) melalui jejaring belajar yang luwes dan lentur yang dapat
diakses anak sebagai subjek belajar. Keluarga di rumah menjadi simpul belajar
pertama dan utama dalam jejaring tersebut. Sudah tiba waktunya kita ganti
wajib belajar dengan hak belajar di luar sekolah. Itu tidak saja lebih
sedikit anggarannya dan lebih menjamin terwujudnya pendidikan universal, tapi
sekaligus menjadi upaya nyata kita menjadi a learning society. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar