Mabes
Kecil, Polsek Kuat
Sarlito
Wirawan Sarwono ; Psikolog Universitas
Indonesia
dan Universitas
Pancasila
|
KOMPAS,
01 Juli 2014
INILAH
visi Reformasi Birokrasi Polri: mabes kecil, polda sedang, polres besar, dan
polsek kuat. Artinya, kekuatan Polri harus diletakkan di polsek, yakni
kepolisian tingkat kecamatan, sebab di situlah fungsi polisi yang sebenarnya.
Masyarakat
menilai Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia) dari pelayanan
polisi-polisi yang bertugas di polsek (kepolisian sektor), bukan
jenderal-jenderal atau kombes-kombes (komisaris besar) di mabes (markas
besar). Jangan lupa, masyarakat Indonesia itu bukan hanya di Jakarta,
melainkan tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari desa ke kota, dari gunung
ke laut, dan polisi harus bisa menjangkau masyarakat di mana pun berada.
Karena
itu, polsek tidak cukup hanya diawaki personel yang banyak, tetapi juga harus
berkualitas. Polsek-polsek perairan seperti di Maluku atau Kepulauan Natuna
perlu dilengkapi dengan polsek-polsek terapung, berupa kapal-kapal yang
diawaki polisi pelaut, lengkap dengan reserse, bimas (pembinaan masyarakat),
dokes (kedokteran kepolisian) yang bisa mencapai hingga ke pulau-pulau
terdepan.
Di sisi
lain, polsek-polsek di Papua atau Kalimantan perlu dilengkapi dengan pesawat
udara dan helikopter sehingga bisa mencapai desa-desa yang paling terpencil
di tengah hutan dan di atas pegunungan. Itulah polsek yang kuat.
Polres
(kepolisian resor), setingkat kabupaten, yang membawahi beberapa polsek,
harus cukup besar untuk memfasilitasi, mendukung, dan—kalau perlu—
mengerahkan tenaga bantuan ke polsek yang memerlukan. Di setiap polres ditempatkan satuan- satuan Brimob (Brigade
Mobil) yang dikomandoi oleh kapolres dan sewaktu-waktu bisa membantu polsek
jika, misalnya, diperlukan Satuan Gegana untuk menjinakkan bom.
Polres
juga dilengkapi dengan Satuan Sabhara yang sewaktu- waktu siap memadamkan
huru- hara atau membantu tim Basarnas jika terjadi bencana. Polres juga
dilengkapi dengan alat komunikasi canggih untuk mengoordinasikan operasi
polsek-polsek di wilayahnya.
Polda
(kepolisian daerah) bertugas sebagai koordinator dan fasilitator antarpolres.
Di situ juga ditempatkan fasilitas dan pakar-pakar yang canggih, seperti
labfor (laboratorium forensik) yang diawaki oleh ahli-ahli forensik yang
langka, dan alat-alat laboratorium yang ultramodern. Karena itu, polda cukup
sedang- sedang saja, tetapi bisa membantu polres dan polsek dalam kasus-kasus
yang tidak biasa. Ibaratnya dalam ilmu kedokteran, polda adalah dokter
spesialis konsultan, yang dimintai konsultasinya kalau ada pasien luar biasa.
Adapun
mabes yang dipimpin Kapolri cukup kecil saja. Personelnya terbatas pada
beberapa pati (perwira tinggi) dan pamen (perwira menengah) yang andal karena
tugasnya adalah penentu kebijakan, perencanaan anggaran, alokasi anggaran,
pembinaan personel, pendidikan dan pelatihan, dan sebagainya, termasuk
tugas-tugas khusus seperti hearing dengan DPR, penanggulangan terorisme, perdagangan
manusia, narkoba, Interpol, dan sebagainya.
Piramida terbalik
Dibayangkan
secara grafis, organisasi Polri yang kecil di mabes tetapi kuat di polsek
akan berbentuk piramida yang kukuh berdiri seperti piramida di Kairo, Mesir.
Akan
tetapi, nyatanya, sampai sekarang organisasi Polri masih seperti piramida
terbalik, yaitu besar di atas, kecil di bawah, yang sewaktu-waktu bisa
terguling. Setiap lulusan Akpol bermimpi ingin jadi jenderal karena di
situlah ukuran sukses dalam sistem piramida terbalik itu. Maka, setiap
perwira polisi akan berebut cari posisi, antara lain melalui pendidikan
kedinasan. Itulah sebabnya jatah masuk Sespim (Sekolah Staf dan Pimpinan)
Polri yang terbatas itu selalu lebih besar pasak daripada tiang (jauh lebih
banyak yang mendaftar daripada yang diterima, seperti calon mahasiswa mau
masuk UI), karena lulus Sespim berarti tiket untuk menjadi pemimpin.
Maka,
bertebaranlah para jenderal dan kombes di Mabes, padahal tenaga dan pikiran
mereka sangat diperlukan di tingkat polda, polres, bahkan polsek. Seorang
polisi asli Papua, yang sangat menguasai masalah di Papua, mendorong dirinya
untuk ke Jakarta (masuk Sespim) hanya karena ia mau jadi jenderal. Padahal,
jika ia tetap di Papua sebagai kapolres, atau maksimal kapolda (jenderal
juga), ia akan jauh lebih bermanfaat untuk masyarakat dan Tanah Papua.
Begitu
juga dalam hal anggaran. Secara proporsional mabes mendapat jatah yang luar
biasa besarnya, sementara polres, apalagi polsek, merana. Di Polres Serang
ada yang namanya Polair (Polisi Perairan) yang punya dua kapal patroli,
tetapi hanya satu yang bisa berlayar karena kekurangan awak (pelaut polisi),
tidak ada bahan bakar, tidak ada biaya pemeliharaan kapal, dan tidak ada alat
komunikasi laut. Bagaimana unit Polair itu bisa melayani masyarakat nelayan?
Atau, bagaimana sebuah polsek di Papua harus melayani masyarakat di wilayah
yang lebih luas dari Singapura dengan hanya beberapa belas anggota, tanpa
alat komunikasi, apalagi helikopter?
Memang
mengembalikan posisi piramida yang terbalik itu sangat sulit. Perlu waktu
lama. Namun, kalau dimulai dari sekarang, pada suatu saat Polri akan sampai
ke situ. Masalahnya, kendalanya adalah kerangka pikir petinggi-petinggi Polri
yang masih enggan keluar dari zona amannya, yaitu business as usual.
Mudah-mudahan
sesudah hura-hura (mudah-mudahan bukan huru-hara) pilpres selesai, Kapolri
Sutarman bisa mengembalikan Reformasi Birokrasi Polri ke arah yang
sebenarnya, yaitu piramida yang tegak kukuh seperti piramida di Mesir
walaupun sudah pasti harus melewati revolusi mental yang berat di lingkungan
Polri sendiri. Dirgahayu Polri! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar