Minggu, 06 Juli 2014

Mengawal Suara Rakyat

                                           Mengawal Suara Rakyat

Toto Sugiarto  ;   Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS,  04 Juli 2014
                                                


SALAH satu hal yang penting untuk diperhatikan pasangan capres-cawapres dan pendukungnya adalah bagaimana mengawasi suara pemilih. Belajar dari pengalaman saat pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu legislatif), masalah pelik yang berbuntut panjang adalah seputar bagaimana mengamankan suara. Banyak kasus kekalahan disebabkan suara tidak berhasil dikawal. Hal ini bisa terjadi karena marakya kecurangan dalam pemilu kita.

Dengan mendasarkan pada hasil survei dan metode lain, bisa saja pasangan capres-cawapres optimistis akan meraih kemenangan. Besarnya dukungan yang terpantau, misalnya dari menjamurnya berbagai kelompok relawan di sejumlah daerah, bisa saja menjadi alat deteksi kemenangan tersebut. Namun, kemenangan sesungguhnya juga ditentukan bagaimana mereka mampu mengamankan suara yang diperoleh.

Itulah pesta demokrasi di republik ini. Berbagai ”alat potret”, seperti survei dan ”pertunjukan semesta mendukung”, tidak bisa menjadi gambaran akurat. Penyebabnya, banyak pencoleng yang siap melakukan manipulasi pada suara yang sedang berproses di setiap tingkat. Pencurian semakin marak karena lemahnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan struktur jajarannya. Dengan kata lain, peserta tidak bisa memercayakan sepenuhnya kepada penyelenggara.

Orientasi pada hasil

Parahnya, belajar dari pemilu legislatif, pergerakan suara tidak mendapat perhatian yang memadai. Hampir semua perhatian tertuju pada hasil. Semua yang tidak berhubungan langsung dengan peta kekuasaan baru dan bagi-bagi kuasa terpinggirkan.

Belajar dari pemilu legislatif tersebut, ruang publik tampaknya tidak lagi peduli pada berbagai kecurangan, pelanggaran, dan kondisi penyelenggaraan yang buruk. Padahal, jika proses berlangsung buruk, tidak hanya merugikan individu yang berkontestasi, tetapi juga memiliki daya rusak yang tinggi terhadap demokrasi elektoral.

Masalah yang mengemuka pada pemilu legislatif dan kembali mengemuka pada tahapan pilpres dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, sisi peserta pemilu. Berbagai kecurangan dan pelanggaran menjadi temuan pemantau dan pengawas di sejumlah tempat di republik ini. Selain kecurangan, pada pilpres juga banyak ditemukan kasus kampanye hitam, dugaan ketidaknetralan TNI/Polri, kebohongan, dan penyebaran kebencian.

Kedua, masalah juga mengemuka pada sisi penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU di berbagai tingkat. Masalah yang muncul di sejumlah daerah di antaranya surat suara yang rusak. Selain itu, netralitas penyelenggara pemilu juga patut diwaspadai. Kasus yang sudah muncul di pemilu legislatif dan masih muncul saat pilpres sekarang ini menggambarkan manajemen penyelenggara pemilu yang buruk.

Bagaimana mengamankan suara rakyat di pilpres nanti? Pertama, harus dilakukan pembalikan pola pikir. Pemikiran berorientasi hasil bahwa hasil lebih penting daripada proses perlu dibalik. Karena itu, penghitungan dan rekapitulasi suara rakyat perlu mendapat perhatian serius.

Memperbincangkan hasil dan peta politik Republik setelah pemilu adalah menarik. Berbagai talkshow di televisi di hari-hari pertama pemilu yang memperbincangkan hasil hitung cepat (quick count) dan peta kekuasaan berdasarkan pada hasil penghitungan cepat tersebut tentu mendapat rating yang tinggi. Namun, ada yang perlu mendapat perhatian lebih serius di hari-hari pertama tersebut, yaitu proses bagaimana perjalanan suara. Setelah suara dihitung di tempat pemungutan suara (TPS), suara masih perlu dikawal sampai saat rekapitulasi tingkat nasional.

Pola pikir instan yang ingin dengan cepat mengetahui hasil, melalui berbagai metode penghitungan cepat, adalah baik saja demi memenuhi hasrat publik. Namun, pola pikir instan tersebut jangan sampai memenuhi seluruh ruang publik. Perlu disisakan waktu dan ruang untuk pengawasan yang saksama terhadap perjalanan suara.  

Semesta mengawasi

Terkait dengan pentingnya mengawal suara rakyat, diperlukan munculnya sebuah gerakan di mana output-nya adalah terciptanya semesta yang siap mengawal perjalanan suara pemilih. Dengan dukungan semesta, pengawasan dilakukan masyarakat sendiri.

Gerakan yang memicu munculnya spirit semesta mengawasi tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek mengawal suara di Pilpres 2014, tetapi juga memiliki nilai filosofis yang dapat menjadi dasar pemikiran tentang pengawasan dalam jangka panjang. Gerakan ini merupakan cikal bakal dari pengawasan yang semestinya, yang terjadi di negara-negara yang telah mapan demokrasinya, sebuah pengawasan oleh rakyat.

Pengawasan pemilu, terutama terkait dengan penghitungan dan rekapitulasi suara rakyat, sudah semestinya dilakukan rakyat sendiri. Adapun peran negara adalah bagaimana menindaklanjuti berbagai informasi dan laporan hasil pengawasan rakyat. Negara dapat berperan dalam penegakan hukum pemilu.

Perkembangan ke arah semesta mengawasi sebenarnya telah dapat dilihat dengan mulai munculnya berbagai gerakan rakyat yang siap melakukan pengawasan. Gerakan sejuta relawan pengawas pemilu dan berbagai gerakan relawan lainnya merupakan bukti adanya gairah partisipasi rakyat tersebut.

Kecurangan yang marak di pemilu legislatif dan minimnya perhatian publik terhadap maraknya kecurangan tersebut hendaknya tidak terulang di pilpres. Kehendak untuk turut serta mengawal suara di masyarakat sebenarnya cukup tinggi. Namun, kebanyakan rakyat tidak memiliki pemahaman dan kemampuan yang memadai tentang teknis pengawasan pemilu. Karena itu, berbagai simpul masyarakat yang peduli terhadap terciptanya pemilu yang jujur dan bersih perlu menunjukkan peran serta aktif untuk ikut mengupayakan sosialisasi dan peningkatan kemampuan pengawasan oleh rakyat.

Di sisi lain, peran media dituntut untuk memberikan porsi yang cukup terhadap pemberitaan seputar jalannya penghitungan dan rekapitulasi suara. Dengan demikian, suara rakyat dapat terkawal baik dan kedaulatan rakyat dapat terjamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar