Mengawal
Suara Rakyat
Toto Sugiarto ;
Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
|
KOMPAS,
04 Juli 2014
SALAH satu hal yang penting untuk diperhatikan pasangan capres-cawapres
dan pendukungnya adalah bagaimana mengawasi suara pemilih. Belajar dari
pengalaman saat pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu legislatif),
masalah pelik yang berbuntut panjang adalah seputar bagaimana mengamankan
suara. Banyak kasus kekalahan disebabkan suara tidak berhasil dikawal. Hal
ini bisa terjadi karena marakya kecurangan dalam pemilu kita.
Dengan mendasarkan pada hasil survei dan metode lain, bisa saja
pasangan capres-cawapres optimistis akan meraih kemenangan. Besarnya dukungan
yang terpantau, misalnya dari menjamurnya berbagai kelompok relawan di
sejumlah daerah, bisa saja menjadi alat deteksi kemenangan tersebut. Namun,
kemenangan sesungguhnya juga ditentukan bagaimana mereka mampu mengamankan
suara yang diperoleh.
Itulah pesta demokrasi di republik ini. Berbagai ”alat potret”, seperti
survei dan ”pertunjukan semesta mendukung”, tidak bisa menjadi gambaran
akurat. Penyebabnya, banyak pencoleng yang siap melakukan manipulasi pada
suara yang sedang berproses di setiap tingkat. Pencurian semakin marak karena
lemahnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan struktur jajarannya. Dengan kata
lain, peserta tidak bisa memercayakan sepenuhnya kepada penyelenggara.
Orientasi
pada hasil
Parahnya, belajar dari pemilu legislatif, pergerakan suara tidak
mendapat perhatian yang memadai. Hampir semua perhatian tertuju pada hasil.
Semua yang tidak berhubungan langsung dengan peta kekuasaan baru dan
bagi-bagi kuasa terpinggirkan.
Belajar dari pemilu legislatif tersebut, ruang publik tampaknya tidak
lagi peduli pada berbagai kecurangan, pelanggaran, dan kondisi
penyelenggaraan yang buruk. Padahal, jika proses berlangsung buruk, tidak
hanya merugikan individu yang berkontestasi, tetapi juga memiliki daya rusak
yang tinggi terhadap demokrasi elektoral.
Masalah yang mengemuka pada pemilu legislatif dan kembali mengemuka
pada tahapan pilpres dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, sisi peserta
pemilu. Berbagai kecurangan dan pelanggaran menjadi temuan pemantau dan
pengawas di sejumlah tempat di republik ini. Selain kecurangan, pada pilpres
juga banyak ditemukan kasus kampanye hitam, dugaan ketidaknetralan TNI/Polri,
kebohongan, dan penyebaran kebencian.
Kedua, masalah juga mengemuka pada sisi penyelenggara pemilu, dalam hal
ini KPU di berbagai tingkat. Masalah yang muncul di sejumlah daerah di
antaranya surat suara yang rusak. Selain itu, netralitas penyelenggara pemilu
juga patut diwaspadai. Kasus yang sudah muncul di pemilu legislatif dan masih
muncul saat pilpres sekarang ini menggambarkan manajemen penyelenggara pemilu
yang buruk.
Bagaimana mengamankan suara rakyat di pilpres nanti? Pertama, harus
dilakukan pembalikan pola pikir. Pemikiran berorientasi hasil bahwa hasil
lebih penting daripada proses perlu dibalik. Karena itu, penghitungan dan
rekapitulasi suara rakyat perlu mendapat perhatian serius.
Memperbincangkan hasil dan peta politik Republik setelah pemilu adalah
menarik. Berbagai talkshow di
televisi di hari-hari pertama pemilu yang memperbincangkan hasil hitung cepat
(quick count) dan peta kekuasaan
berdasarkan pada hasil penghitungan cepat tersebut tentu mendapat rating yang
tinggi. Namun, ada yang perlu mendapat perhatian lebih serius di hari-hari
pertama tersebut, yaitu proses bagaimana perjalanan suara. Setelah suara
dihitung di tempat pemungutan suara (TPS), suara masih perlu dikawal sampai
saat rekapitulasi tingkat nasional.
Pola pikir instan yang ingin dengan cepat mengetahui hasil, melalui
berbagai metode penghitungan cepat, adalah baik saja demi memenuhi hasrat
publik. Namun, pola pikir instan tersebut jangan sampai memenuhi seluruh
ruang publik. Perlu disisakan waktu dan ruang untuk pengawasan yang saksama
terhadap perjalanan suara.
Semesta
mengawasi
Terkait dengan pentingnya mengawal suara rakyat, diperlukan munculnya
sebuah gerakan di mana output-nya adalah terciptanya semesta yang siap
mengawal perjalanan suara pemilih. Dengan dukungan semesta, pengawasan
dilakukan masyarakat sendiri.
Gerakan yang memicu munculnya spirit semesta mengawasi tidak hanya
untuk kepentingan jangka pendek mengawal suara di Pilpres 2014, tetapi juga
memiliki nilai filosofis yang dapat menjadi dasar pemikiran tentang
pengawasan dalam jangka panjang. Gerakan ini merupakan cikal bakal dari
pengawasan yang semestinya, yang terjadi di negara-negara yang telah mapan
demokrasinya, sebuah pengawasan oleh rakyat.
Pengawasan pemilu, terutama terkait dengan penghitungan dan
rekapitulasi suara rakyat, sudah semestinya dilakukan rakyat sendiri. Adapun
peran negara adalah bagaimana menindaklanjuti berbagai informasi dan laporan
hasil pengawasan rakyat. Negara dapat berperan dalam penegakan hukum pemilu.
Perkembangan ke arah semesta mengawasi sebenarnya telah dapat dilihat
dengan mulai munculnya berbagai gerakan rakyat yang siap melakukan
pengawasan. Gerakan sejuta relawan pengawas pemilu dan berbagai gerakan
relawan lainnya merupakan bukti adanya gairah partisipasi rakyat tersebut.
Kecurangan yang marak di pemilu legislatif dan minimnya perhatian
publik terhadap maraknya kecurangan tersebut hendaknya tidak terulang di
pilpres. Kehendak untuk turut serta mengawal suara di masyarakat sebenarnya
cukup tinggi. Namun, kebanyakan rakyat tidak memiliki pemahaman dan kemampuan
yang memadai tentang teknis pengawasan pemilu. Karena itu, berbagai simpul
masyarakat yang peduli terhadap terciptanya pemilu yang jujur dan bersih
perlu menunjukkan peran serta aktif untuk ikut mengupayakan sosialisasi dan
peningkatan kemampuan pengawasan oleh rakyat.
Di sisi lain, peran media dituntut untuk memberikan porsi yang cukup
terhadap pemberitaan seputar jalannya penghitungan dan rekapitulasi suara.
Dengan demikian, suara rakyat dapat terkawal baik dan kedaulatan rakyat dapat
terjamin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar