Minggu, 06 Juli 2014

Memilih di Medan Keruh

                                          Memilih di Medan Keruh

Mochtar Pabottingi  ;   Profesor Riset LIPI
KOMPAS,  04 Juli 2014
                                                


KONTESTASI Pilpres 2014 berlangsung seru pada medan politik yang amat keruh. Dalam kondisi seperti itulah dua pasangan calon presiden-wakil presiden, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, berlomba. Belum pernah bangsa kita memasuki medan kontestasi politik dengan pengeruhan empat kali lipat.

Pertama, lantaran umumnya bertolak dari, memperjuangkan, dan mengatasnamakan hal-hal ultimat, perjuangan politik pada hakikatnya memang selalu merupakan kegiatan sarat kontestasi. Para pemikir politik, seperti John Rawls, William Connolly, dan Michael Sandel, sangat menyadari hal ini.

Kedua, di kalangan para kontestan politik selalu ada yang tergoda menghalalkan cara, bahkan memanipulasi fakta dan menyebarkan fitnah, demi merebut kemenangan. Skala dan intensitas manipulasi serta fitnah biasanya berbanding lurus dengan besarnya taruhan politik. Dan, pada negara-negara di mana prinsip Rechtsstaat—prinsip negara hukum—tidak dilaksanakan secara tegar, pengeruhan akibat rangkaian penghalalan cara akan berdampak luas dan parah, termasuk merisikokan konsekuensi tragis atas bangsa.

Ketiga, khusus dalam kasus Indonesia, terutama di sepanjang masa setelah kemerdekaan, kontestasi atau evolusi politik berlangsung sebagian besar dalam aturan main yang bersifat ad hoc, berjangka pendek, dan berjalan sekenanya. Di sebagian besar masa kemerdekaan, yaitu sejak demokrasi terpimpin, negara-bangsa kita berkiprah tanpa perangkat aturan main politik produk deliberasi yang matang dan yang ditopang oleh prinsip Rechtsstaat tadi–singkatnya, tanpa rasionalitas politik. Bangsa kita belum lepas penuh dari tudingan Clifford Geertz: tiada hentinya terombang-ambing di antara kegairahan pada demokrasi dan kerinduan pada otoritarianisme.

Keempat, kita memulai apa yang disebut era reformasi, tanpa kebersihan pergantian rezim. Ia justru dimulai dengan implantasi penuh personalia Orde Baru (hanya minus Soeharto) pada bangunan awal reformasi. Pengeruhan dan sekaligus pengotoran reformasi serta berlakunya krisis multidimensi yang agaknya tak bertara di zaman modern merupakan akibat kontan dari laku evasif itu. Sementara kita semua mengetahui bahwa telah terjadi pengkhianatan atau penggadaian masif dan merata atas ideal-ideal kebangsaan kita oleh para pelaksana Rezim Orde Baru, tidak satu pun dari mereka—apalagi pemimpin tertingginya—yang diadili dan dihukum sebagaimana mestinya.

Pengkhianatan Pancasila

Bisa disimpulkan bahwa Orde Baru telah memberi bangsa kita paling tidak dua kutukan: pengkhianatan besar-besaran atas sila kedua hingga sila kelima Pancasila dan pengaburan sejarah, terutama sepanjang 1965-2014. Dalam pengaburan sejarah itu, alangkah kuat arus untuk membuat barisan dan pimpinan pengkhianat jadi pahlawan.

Dengan berjalannya waktu, impunitas raksasa ini membuat ujung pangkal masalah tambah sulit ditangkap orang banyak, apalagi oleh generasi muda yang tidak mengalami masa Orde Baru. Merekalah yang paling rawan salah pilih. Di sini ”yang salah” dan ”yang benar” sungguh kabur. Di medan keruh, posisi-posisi antagonis sama-sama berpeluang untuk serempak menjadi (atau dijadikan) ”benar” atau ”salah”.

Kian dalam bangsa kita terjebak ke dalam medan kontestasi politik yang keruh, kian mudah pula kita terbawa oleh aneka jalan pikiran yang keliru, bahkan sesat. Dari situ, kian mudah pula kita lupa untuk apa kita bangkit sebagai bangsa lewat timbunan pengorbanan tak terperi.

Juga lupa untuk kembali berteguh hati pada rumusan cita-cita luhur di atas mana kita memperjuangkan dan memancangkan kemerdekaan. Ibarat di tengah serbuan polusi suara dan jelaga hitam sekaligus, masyarakat kita pada hari-hari ini dipersulit untuk memusatkan perhatian dan memantapkan pijakan ke arah yang benar.

Untunglah bahwa setiap manusia dewasa dan terdidik dikaruniai kemampuan akal budi untuk melepaskan diri dari perangkap-perangkap momen/medan kontestasi politik yang keruh. Dan, semakin luas perhatiannya serta semakin dalam pemahamannya atas masalah-masalah kenegaraan dan kebangsaan, semakin sanggup pula mereka mengambil pilihan-pilihan yang tepat meskipun dalam sungkup kekeruhan.

Taruhan politik raksasa

Dalam rubungan polusi suara dan jelaga hitam sekalipun, mereka akan tetap sanggup menjatuhkan pilihan secara cerdas dan bertanggung jawab. Begitu pula dalam Pilpres 2014 yang kontestasinya begitu riuh rendah pada hari-hari ini.

Di sini kita memberikan sembilan kiat untuk menembus tebalnya polusi suara dan jelaga hitam kontestasi, di mana kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla berlomba dengan sengit sehingga kita dapat memilih secara cerdas dan bertanggung jawab. Kesembilan kiat ini bersifat imperatif semata-mata karena, seperti sudah disinggung, sengitnya kontestasi politik merupakan pertanda gamblang akan adanya taruhan-taruhan politik raksasa. Mari kita urai satu per satu.

Pertama, kita, utamanya tiap warganegara cerdas dan terdidik—termasuk generasi muda, dituntut menapis rekam jejak yang akurat dan yang bisa dipertanggungjawabkan, khususnya dari setiap pasangan calon. Capres-cawapres ideal haruslah memiliki rekam jejak bakti publik atau bakti bangsa yang substansial dan tak terbantahkan. Akan sangat istimewa jika capres dan/atau cawapres memiliki bakti nasional dan/atau bakti berskala internasional yang juga tak terbantahkan.

Kedua, kita perlu menyimak secara saksama bagaimana koalisi pada kedua kubu pasangan capres-cawapres terbentuk. Makin sedikit proses dagang sapi yang berlaku di dalam pembentukan tiap koalisi, makin baik. Koalisi kubu yang terbentuk dengan praktik dagang sapi yang kental sangat perlu dihindari karena itu merupakan pertanda dini dari minimnya ketulusan bakti bangsa pada kubu tersebut. Itu juga merupakan indikasi nyata betapa kuatnya probabilitas laku dagang sapi selanjutnya untuk menggarong dana-dana publik jika nanti pasangan calon presiden-wakil presidennya terpilih.

Ketiga, kita harus mewaspadai capres yang rekam jejaknya menimbulkan kontroversi laten, luas, dan tajam di tengah-tengah masyarakat, apalagi yang tidak menunjukkan kesegeraan (promptness) untuk menyelesaikan model perilaku keji Orde Baru secara akuntabel dan transparan. Jika capres demikian terpilih, akan sangat sulit baginya untuk menegakkan stabilitas politik dalam pemerintahan semata-mata lantaran luasnya ketidakpercayaan masyarakat terhadapnya.

Keempat—sejalan dengan butir kedua—kita harus bisa menangkap sinergi, kesejalanan, dan kesamaan arah serta langgam kerja setiap pasangan capres-cawapres. Setiap pasangan capres-cawapres itu sendiri sudah merupakan inti (kernel) dari koalisi. Makin besar kadarnya terbentuk di atas landasan ketulusan untuk bekerja sama demi bakti bangsa dan bukan atas dasar dagang sapi, makin baik.

Kelima dan bersambung dengan butir ketiga, kita wajib mengamati kecenderungan pasangan capres-cawapres untuk mengutamakan pencitraan dan retorika vis-a-vis gereget nyata untuk menyelesaikan rangkaian masalah pada bangsa kita secara sistemik.

Keenam, kita perlu mewaspadai jika ada kecenderungan pada satu atau kedua pasangan capres-cawapres untuk berlaku bacar dengan janji-janji besar tanpa pengetahuan akan rincian operasional dan fisibilitasnya. Setiap pemilih yang bertanggung jawab wajib menjauhi sikap terlalu mudah percaya (gullible) pada janji-janji muluk.

Ketujuh, kita pun perlu memastikan apakah setiap pasangan capres-cawapres memiliki sifat ketenangan dan kesabaran dalam menghadapi aneka persoalan bangsa yang tingkat urgensi dan kerumitannya berbeda-beda dan terus meloncat-loncat tiada habisnya dari masalah yang satu ke masalah lainnya. Kecenderungan otoriter atau watak penaik darah pada capres pasti bukanlah modal yang baik untuk memimpin suatu bangsa.

Kedelapan, tak kurang pentingnya, kita sebagai warga negara yang bertanggung jawab perlu menyeleksi kriteria-kriteria yang relevan untuk memilih pasangan capres-cawapres. Setiap kriteria yang relevansinya dalam tugas kepresidenan tidak signifikan sebaiknya ditanggalkan saja. Lalu, himpunan kriteria yang sudah kita tetapkan perlu diurut menurut tingkat urgensinya. Sebagai salah satu kriterium, karakter terpuji dengan kompetensi dan integritas jelas menduduki hierarki yang jauh di atas wajah gagah.

Kesembilan, berhadapan dengan realitas gencarnya kampanye hitam yang menyerang kedua pasangan capres-cawapres dan miskinnya tanggung jawab pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengatasinya mengingat tajamnya kegentingan dan tingginya taruhan politik yang ada, satu-satunya sikap arif yang bisa kita ambil adalah menghitung secara kredibel frekuensi dan prevalensi serangan kampanye hitam terhadap setiap pasangan capres-cawapres.

Dari situ, demi keadilan dan demi menghindari naivitas, kita sebaiknya tidak memilih pasangan capres-cawapres yang kubunya paling diuntungkan oleh serangan kampanye hitam terhadap lawannya.

Semoga dengan kesembilan kiat ini, di tengah kekeruhan puncak pada momen dan medan Pilpres 2014, kita—sekali lagi terutama generasi muda—bisa tetap memilih secara cerdas dan bertanggung jawab demi menyelamatkan bangsa kita dari risiko malapetaka besar akibat salah pilih pada Pilpres 2014 ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar