Minggu, 06 Juli 2014

Industri Pertahanan dan Capres

                               Industri Pertahanan dan Capres

Diandra Megaputri Mengko  ;   Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
KOMPAS,  04 Juli 2014
                                                


TOPIK pembangunan industri pertahanan sempat mengemuka pada debat capres ketiga yang mengusung isu politik luar negeri dan ketahanan nasional.
Dari debat itu, kedua capres sepakat membangun kemandirian pertahanan di Indonesia melalui pembangunan industri pertahanan. Semangat para capres ini tentu perlu kita apresiasi, tetapi penting disadari bahwa upaya merealisasikannya butuh komitmen tinggi dan lebih dari sekadar retorika makro. Cita-cita membangun industri pertahanan sesungguhnya sudah dilontarkan sejak Indonesia merdeka, tetapi hingga kini kemandirian pertahanan belum juga terwujud.

Persoalan bisnis persenjataan yang menggiurkan sehingga berujung praktik KKN, inkonsistensi kebijakan, hingga kemauan politik yang rendah para pemimpin merupakan sebagian hambatan dalam pengembangan industri pertahanan. Alhasil, pilihan pembelian senjata sering berujung pembelian alutsista dari luar negeri tanpa menghiraukan kemandirian pertahanan.

Saat ini mekanisme pembelian persenjataan di Indonesia memang sudah membaik. Seiring keberadaan UU Industri Pertahanan Nomor 16 Tahun 2012, kini para aktor keamanan diharuskan membeli persenjataan dari industri pertahanan dalam negeri apabila persenjataan tersebut sudah dapat diproduksi dalam negeri. Apabila industri pertahanan dalam negeri belum mampu membuat persenjataan yang dibutuhkan aktor keamanan, pembelian dari luar negeri harus dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan industri pertahanan dalam negeri (offset) sebagaimana tertuang dalam UU Industri Pertahanan.

”Offset” dan ToT

Dalam praktik selama ini, pembelian persenjataan dari luar negeri sering kali tak diikuti dengan offset semisal transfer teknologi (ToT). Kalaupun ada pembelian alutsista yang disertai offset, sifatnya hanya ala kadarnya. Mekanisme offset seperti ToT akhirnya hanya dipandang sebagai salah satu prasyarat normatif sehingga tak menghasilkan keuntungan yang substansial dan maksimal bagi pembangunan industri pertahanan dalam negeri. Belum lagi persoalan implementasi offset yang belum transparan dan sering menimbulkan kontroversi.

Salah satu contohnya dapat dilihat pada pembelian tank berat MBT Leopard yang menurut Wakil Menteri Pertahanan, transfer teknologinya berupa pengembangan amunisi. Sementara menurut sebagian anggota DPR dan pengamat militer, pembelian tank itu tak disertai transfer teknologi. Apalagi sebenarnya pembelian tank itu tidak sejalan dengan rencana Kementerian Pertahanan yang tertuang dalam kebijakan postur pertahanan dan buku putih pertahanan, ataupun persoalan bobot berat tank yang belum mampu ditopang dengan infrastruktur yang memadai di daerah perbatasan. Oleh karena itu, wajar jika pembelian tank ini mendapatkan penolakan publik dan parlemen.

Pengembangan kemampuan industri pertahanan melalui offset perlu tepat sasaran. Ketelitian para pengambil kebijakan hingga hal-hal teknis sangat diperlukan dalam menentukan kegiatan offset pada masa depan. Jangan sampai kegiatan offset jadi tak efektif karena kapabilitas sudah dimiliki industri pertahanan itu.

Lebih lanjut, dukungan offset juga perlu disalurkan kepada industri pertahanan penunjang dalam negeri untuk meningkatkan kualitas produk sekaligus membangun supply-chain yang efektif di dalam negeri. Hal ini pernah dikeluhkan PT PAL yang membutuhkan suplai dari industri propellent, permesinan, dan sistem teknologi informasi untuk memproduksi sebuah kapal (Laporan Program Pengembangan PT PAL 2010-2014). Namun, dengan keterbatasan dana PT PAL, industri galangan kapal ini belum dapat mendukung berkembangnya industri-industri penunjang ini untuk dapat memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan institusi keamanan. Oleh karena itu, dukungan pemerintah untuk mengisi missing point atas kendala yang dihadapi industri pertahanan untuk berkembang sangat dibutuhkan.

Kemauan politik

Di tengah berbagai persoalan tersebut, perlu diakui saat ini industri pertahanan kita juga sudah mampu mencetak berbagai keberhasilan. Beberapa produk unggulan seperti panser Anoa buatan PT Pindad, pesawat CN-295 buatan PTDI, hingga kapal perang tipe Strategic Sealift Vessel (SSV) buatan PT PAL kini telah mampu menyokong kapabilitas pertahanan dalam negeri maupun mendapat pengakuan internasional, meski keberhasilan itu harus melalui jalan yang berliku dan panjang.

Sejarah pembuatan panser Anoa oleh PT Pindad sesungguhnya telah menunjukkan bahwa keberhasilan hari ini telah melalui berbagai proses perjuangan panjang dan tak mudah, bahkan hingga menyentuh persoalan teknis. Setelah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melalui serangkaian proses penelitian hingga mampu mencetak prototipe panser ini pun, PT Pindad masih terkendala permasalahan dana produksi.

Keinginan keras Jusuf Kalla (JK) yang saat itu menjabat wakil presiden pada akhirnya memberikan kontribusi besar pada produksi Anoa. Di tengah keengganan bank untuk memberikan pinjaman dana produksi karena jumlahnya yang cukup besar dan ketidakpastian keberadaan dana APBN untuk melakukan pemesanan multi-years, JK dengan kapasitasnya sebagai wakil presiden berhasil meyakinkan pihak perbankan dan memberikan jaminan pemesanan berkala yang dilaksanakan secara multi-years sesuai dengan keberadaan anggaran.

Meski keputusan itu hanyalah selembar kertas, PT Pindad saat itu dapat menggunakan jaminan tersebut untuk meminjam dana produksi pada bank. Kini kita dapat menikmati bagaimana panser Anoa menjadi salah satu produk menarik yang diminati berbagai negara. Namun, sudah tentu kita tak ingin produk-produk industri pertahanan berhenti sampai di sini. Berbagai upaya pengembangan perlu terus dilaksanakan dan ini butuh kemauan politik keras dari para pengambil keputusan.

Apabila para capres memang benar-benar berniat membangun industri pertahanan, tidaklah berlebihan apabila kita berharap forum koordinasi seperti Komite Kebijakan Industri Pertahanan (yang diketuai ex-officio Presiden) pada masa depan dapat menyusun prioritas dalam pemenuhan kebutuhan persenjataan aktor keamanan dengan lebih bijak melalui pembuatan kebijakan yang juga memperhatikan perkembangan industri pertahanan pada masa depan. Semoga semangat pembangunan industri pertahanan dapat diikuti dengan kemauan politik kuat para pemimpin demi kemandirian dan kemajuan sektor pertahanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar