Industri
Pertahanan dan Capres
Diandra Megaputri Mengko ;
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
04 Juli 2014
TOPIK pembangunan industri pertahanan sempat mengemuka pada debat
capres ketiga yang mengusung isu politik luar negeri dan ketahanan nasional.
Dari debat itu, kedua capres sepakat membangun kemandirian pertahanan
di Indonesia melalui pembangunan industri pertahanan. Semangat para capres
ini tentu perlu kita apresiasi, tetapi penting disadari bahwa upaya
merealisasikannya butuh komitmen tinggi dan lebih dari sekadar retorika
makro. Cita-cita membangun industri pertahanan sesungguhnya sudah dilontarkan
sejak Indonesia merdeka, tetapi hingga kini kemandirian pertahanan belum juga
terwujud.
Persoalan bisnis persenjataan yang menggiurkan sehingga berujung
praktik KKN, inkonsistensi kebijakan, hingga kemauan politik yang rendah para
pemimpin merupakan sebagian hambatan dalam pengembangan industri pertahanan.
Alhasil, pilihan pembelian senjata sering berujung pembelian alutsista dari
luar negeri tanpa menghiraukan kemandirian pertahanan.
Saat ini mekanisme pembelian persenjataan di Indonesia memang sudah
membaik. Seiring keberadaan UU Industri Pertahanan Nomor 16 Tahun 2012, kini
para aktor keamanan diharuskan membeli persenjataan dari industri pertahanan
dalam negeri apabila persenjataan tersebut sudah dapat diproduksi dalam
negeri. Apabila industri pertahanan dalam negeri belum mampu membuat
persenjataan yang dibutuhkan aktor keamanan, pembelian dari luar negeri harus
dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan industri pertahanan dalam
negeri (offset) sebagaimana
tertuang dalam UU Industri Pertahanan.
”Offset”
dan ToT
Dalam praktik selama ini, pembelian persenjataan dari luar negeri
sering kali tak diikuti dengan offset
semisal transfer teknologi (ToT). Kalaupun ada pembelian alutsista yang
disertai offset, sifatnya hanya ala
kadarnya. Mekanisme offset seperti
ToT akhirnya hanya dipandang sebagai salah satu prasyarat normatif sehingga
tak menghasilkan keuntungan yang substansial dan maksimal bagi pembangunan
industri pertahanan dalam negeri. Belum lagi persoalan implementasi offset yang belum transparan dan
sering menimbulkan kontroversi.
Salah satu contohnya dapat dilihat pada pembelian tank berat MBT
Leopard yang menurut Wakil Menteri Pertahanan, transfer teknologinya berupa
pengembangan amunisi. Sementara menurut sebagian anggota DPR dan pengamat
militer, pembelian tank itu tak disertai transfer teknologi. Apalagi
sebenarnya pembelian tank itu tidak sejalan dengan rencana Kementerian
Pertahanan yang tertuang dalam kebijakan postur pertahanan dan buku putih
pertahanan, ataupun persoalan bobot berat tank yang belum mampu ditopang
dengan infrastruktur yang memadai di daerah perbatasan. Oleh karena itu,
wajar jika pembelian tank ini mendapatkan penolakan publik dan parlemen.
Pengembangan kemampuan industri pertahanan melalui offset perlu tepat sasaran. Ketelitian para pengambil kebijakan
hingga hal-hal teknis sangat diperlukan dalam menentukan kegiatan offset pada masa depan. Jangan sampai
kegiatan offset jadi tak efektif
karena kapabilitas sudah dimiliki industri pertahanan itu.
Lebih lanjut, dukungan offset
juga perlu disalurkan kepada industri pertahanan penunjang dalam negeri untuk
meningkatkan kualitas produk sekaligus membangun supply-chain yang efektif di
dalam negeri. Hal ini pernah dikeluhkan PT PAL yang membutuhkan suplai dari
industri propellent, permesinan,
dan sistem teknologi informasi untuk memproduksi sebuah kapal (Laporan
Program Pengembangan PT PAL 2010-2014). Namun, dengan keterbatasan dana PT
PAL, industri galangan kapal ini belum dapat mendukung berkembangnya industri-industri
penunjang ini untuk dapat memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan institusi
keamanan. Oleh karena itu, dukungan pemerintah untuk mengisi missing point
atas kendala yang dihadapi industri pertahanan untuk berkembang sangat
dibutuhkan.
Kemauan
politik
Di tengah berbagai persoalan tersebut, perlu diakui saat ini industri
pertahanan kita juga sudah mampu mencetak berbagai keberhasilan. Beberapa
produk unggulan seperti panser Anoa buatan PT Pindad, pesawat CN-295 buatan
PTDI, hingga kapal perang tipe Strategic
Sealift Vessel (SSV) buatan PT PAL kini telah mampu menyokong kapabilitas
pertahanan dalam negeri maupun mendapat pengakuan internasional, meski
keberhasilan itu harus melalui jalan yang berliku dan panjang.
Sejarah pembuatan panser Anoa oleh PT Pindad sesungguhnya telah
menunjukkan bahwa keberhasilan hari ini telah melalui berbagai proses
perjuangan panjang dan tak mudah, bahkan hingga menyentuh persoalan teknis.
Setelah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melalui serangkaian proses
penelitian hingga mampu mencetak prototipe panser ini pun, PT Pindad masih
terkendala permasalahan dana produksi.
Keinginan keras Jusuf Kalla (JK) yang saat itu menjabat wakil presiden
pada akhirnya memberikan kontribusi besar pada produksi Anoa. Di tengah
keengganan bank untuk memberikan pinjaman dana produksi karena jumlahnya yang
cukup besar dan ketidakpastian keberadaan dana APBN untuk melakukan pemesanan
multi-years, JK dengan kapasitasnya sebagai wakil presiden berhasil
meyakinkan pihak perbankan dan memberikan jaminan pemesanan berkala yang
dilaksanakan secara multi-years sesuai dengan keberadaan anggaran.
Meski keputusan itu hanyalah selembar kertas, PT Pindad saat itu dapat
menggunakan jaminan tersebut untuk meminjam dana produksi pada bank. Kini
kita dapat menikmati bagaimana panser Anoa menjadi salah satu produk menarik
yang diminati berbagai negara. Namun, sudah tentu kita tak ingin
produk-produk industri pertahanan berhenti sampai di sini. Berbagai upaya
pengembangan perlu terus dilaksanakan dan ini butuh kemauan politik keras
dari para pengambil keputusan.
Apabila para capres memang benar-benar berniat membangun industri
pertahanan, tidaklah berlebihan apabila kita berharap forum koordinasi
seperti Komite Kebijakan Industri Pertahanan (yang diketuai ex-officio Presiden) pada masa depan
dapat menyusun prioritas dalam pemenuhan kebutuhan persenjataan aktor
keamanan dengan lebih bijak melalui pembuatan kebijakan yang juga
memperhatikan perkembangan industri pertahanan pada masa depan. Semoga
semangat pembangunan industri pertahanan dapat diikuti dengan kemauan politik
kuat para pemimpin demi kemandirian dan kemajuan sektor pertahanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar