Kamis, 17 Juli 2014

Mendukung Palestina

                                               Mendukung Palestina

Ella Devianti ;   Jurnalis
KORAN SINDO,  16 Juli 2014
                                                


Pecahnya konflik antara Israel dan Palestina pada Ramadan ini menambah daftar panjang konflik yang memakan ratusan korban jiwa di Gaza, Palestina. Israel dengan dalih operasi jaga perbatasan melakukan serangan-serangan brutal yang memakan korban sipil, termasuk perempuan, anakanak, hingga kaum difabel.

Meski begitu, masih saja ada kalangan yang menanggapi konflik ini dengan kacamata sinisme. Menganggap organisasi politik Hamas (Harakat Al Muqawwama Al Islamiyyah) pemicu konflik dengan melakukan penculikan terhadap tiga warga Israel meski belum ada bukti terkait keterlibatan Hamas. Terlepas dari konflik terbaru, dunia tidak seharusnya alpa dengan kondisi Palestina selama ini. Hingga detik ini Palestina masih terjajah di negeri sendiri. Masuknya Palestina sebagai negara peninjau di PBB pada 2012 tampaknya tak berpengaruh banyak terhadap kebijakan luar negeri Israel.

Tidak terhitung berapa perjanjian dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar Israel, termasuk penggusuran paksa wilayah Palestina di Tepi Barat. Israel juga terbukti mencederai demokrasi tepat setelah terpilih organisasi politik Hamas pada pemilu 2006. Alihalih mengakui kemenangan Hamas, Israel malah memberlakukan blokade ekonomi terhadap Gaza pada 2007.

Saya berkesempatan mengunjungi Gaza pada Oktober 2012. Situasi di Gaza saat itu memang memprihatinkan. Sepanjang perjalanan dari perbatasan Rafah menuju Gaza Utara beberapa bangunan hancur terbengkalai. Hanya satu dua mobil tua terlihat melintas.

Sesekali tampak gerobak sayur yang ditarik keledai berjalan lambat di jalanan yang lengang. Geliat ekonomi Gaza baru terasa di tengah kota. Warung internet yang merangkap pusat pembelian sim card telepon didatangi beberapa wartawan dan mahasiswa. Yang menarik, saat saya mengaktifkan sim card lokal, data wilayah yang terbaca bukanlah Jalur Gaza, melainkan Israel. Seorang rekan jurnalis malah tidak bisa mengaktifkan handycam-nya. Tiap kali dinyalakan, layar handycam bertuliskan kalimat pemberitahuan bahwa posisi handycam bisa dilacak melalui satelit. Insiden handycam tak membuat kami jeri.

Hari itu juga kami putuskan mengitari pusat kota dan mampir ke Pasar Gaza. Sekilas aktivitas jual beli tampak berjalan normal, tapi ternyata mayoritas produk yang dijual buatan Israel. Sisanya berasal dari Tepi Barat Palestina, Turki, dan Mesir. Yang paling menarik adalah penggunaan mata uang shekel, mata uang resmi Israel. Pemerintah di Gaza memang tidak diperbolehkan memiliki mata uang sendiri. Ini artinya kendali ekonomi sepenuhnya di tangan Israel. Tak puas memegang tali kekang ekonomi Gaza, Israel juga berusaha memutus mata pencaharian warga.

Kebun kurma dan buah tin kerap hancur terkena serangan roket. Pabrik-pabrik tutup akibat pelarangan ekspor. Masa depan nelayan juga di ambang krisis. Seorang nelayan saat saya tanya mengenai hasil tangkapan menunjukkan ikan kecil di tangannya. ”Ini bukanlah ikan. Kucing saja tidak akan mau makan!” Ucapnya menahan marah. Sejak blokade diberlakukan, Israel memang melarang nelayan di Gaza melaut lebih dari 300 meter dari bibir pantai. Padahal biasanya mereka menangkap ikan sampai 5 kilometer dari darat.

Jumlah nelayan akhirnya menyusut drastis dari lima ribu hingga tinggal ratusan saja. Jika melanggar aturan, tentara patroli laut Israel akan memberi tembakan peringatan atau bahkan memenjarakan mereka. Masuk penjara Israel adalah mimpi buruk. Hingga kini ada lima ribuan warga Palestina yang meringkuk di balik penjara Israel. Dua ratus di antaranya ditahan tanpa proses pengadilan. Seribuan lebih yang sakit tidak mendapat perawatan medis. Puluhan lain mengalami sakit mental dan cacat fisik akibat penyiksaan tentara Israel. Usaha Hamas membebaskan para tahanan tercatat dalam tinta sejarah.

Tentara Israel, Gilad Shalit, ditangkap Hamas pada 2006 dan ditahan selama lima tahun sebelum kemudian ditukar dengan seribu lebih tahanan Palestina pada 2011. Pencapaian yang hampir mustahil terjadi lewat jalur diplomasi. Warga Palestina pun menyambut haru kedatangan keluarga hasil pertukaran tahanan. Namun, setelahnya Israel kembali menangkapi puluhan tahanan yang bebas dengan alasan sumir. Berbagai peristiwa semakin menunjukkan sikap permusuhan Israel terhadap seluruh warga Palestina.

Tidak cukup melumpuhkan ekonomi, kebutuhan pokok seperti air pun secara semena-mena dibatasi. Menurut Badan Urusan Perairan Palestina (Palestinian Water Authority), hingga kini Israel menguasai lebih dari 85% suplai air dari seluruh sumber air di wilayah Palestina, dan menyalurkannya ke pemukim Israel. Sementara rakyat Palestina, termasuk Gaza, hanya mendapatkan 15%. Ketidakadilan tersebut berlanjut dengan pemberlakuan tarif air bagi warga Palestina dan gratis bagi warga Israel. Padahal pengelolaan air yang adil sudah pernah dibicarakan dalam Perjanjian Oslo Pasal 40 Tahun 1995. Namun, lagi-lagi, Israel mengkhianati perjanjian.

Saya merasakan sendiri bagaimana tidak nyamannya mandi di hotel dengan air yang asin dan justru membuat kulit terasa lengket.

Sejarah panjang pengingkaran Israel akan berbagai perjanjian turut mencatatkan pesan bahwa dunia tidak berdaya melawan arogansi Israel, bahkan PBB sekalipun. Perundingan demi perundingan berakhir bagai omong kosong. Pada akhirnya Palestina tetap harus berjuang sendiri demi makanan, air bersih, kesehatan, keamanan, dan yang paling penting kemerdekaan negaranya. Jadi mestikah diherankan muncul brigade Al-Qassam saat janji Israel tak lagi bisa dipegang?

Sayap militer partai Hamas itu bergerak secara gerilya. Tidak ada yang mengetahui identitas mereka selain keluarganya. Beruntung, saya berhasil menemui satu peleton pasukan Al-Qassam saat patroli malam. Stigma ganas yang melekat pada brigade ini sama sekali tidak terasa saat berbincang dengan mereka. Kebanyakan dari mereka masih muda, bahkan ada yang umurnya baru 16 tahun. Profesinya pun bermacam-macam, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga pekerja pabrik. Mereka secara sadar bergabung tanpa dibayar sepeser pun.

Meski antusiasme warga Palestina tinggi, ada seleksi ketat yang membuat tidak semua orang bisa bergabung. Kriterianya antara lain kemampuan menghafal Alquran, menjalankan salat berjamaah di masjid tiap waktu, hingga tidak memiliki tanggungan utang apa pun dan diikhlaskan keluarganya. Meski berasal dari sipil, kemampuan pasukan Al-Qassam tidak diragukan. Senjata seperti senapan dan granat dirakit sendiri. Beberapa ada yang teknologinya diadopsi dari negara lain. November 2012, Al-Qassam menyentak Israel kala roket Fajr 5 teknologi Iran berhasil menjangkau Tel Aviv.

Inilah pertama kalinya sirene peringatan menggaung keras di ibu kota Israel. Segera setelahnya, Israel mau meneken perjanjian gencatan senjata. Gencatan senjata yang disambut sukacita warga Gaza menunjukkan bahwa bukanlah perang yang diinginkan. Mereka hanya ingin merebut kembali kemerdekaan yang dicerabut paksa. Ketidakadilan yang menimpa bangsa Palestina kadang terlalu samar untuk terdengar ke seluruh penjuru dunia. Saat konflik berkecamuk, barulah dunia teringat kembali bahwa masih ada satu negara di dunia ini yang belum merasakan nikmat kemerdekaan. Maka itu, sudah sepantasnyalah kita mendudukkan perkara Palestina bukan sekadar berteriak mengutuk atau mencari siapa yang lebih dulu menyerang.

Ini juga bukan persoalan agama. Ada puluhan ribu umat Kristiani yang tinggal di Tepi Barat maupun Gaza. Berbagai suku juga tinggal di sana, termasuk suku Arab Baduy yang hidup nomaden. Mendukung Palestina adalah perkara mengejawantahkan konsistensi kita akan perjuangan melawan penindasan dan ketidakadilan. Ia juga menjadi parameter penghargaan kita terhadap hak untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan di muka bumi ini. Seperti yang diucapkan Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, kemerdekaan kita semua sejatinya tidak akan pernah lengkap tanpa kemerdekaan Palestina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar