Kamis, 17 Juli 2014

Gaza & Perdamaian

                                                 Gaza & Perdamaian

Dinna Wisnu ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  16 Juli 2014
                                                


Setahun yang lalu, saya mendapat kesempatan baik untuk mengunjungi Palestina dan Israel, dalam konteks melihat secara langsung proses perdamaian dan kehidupan sehari-hari masyarakat Palestina dan Israel.

Pada saat kunjungan berlangsung, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) sedang mengusulkan upaya perdamaian Israel-Palestina yang berangkat dari upaya untuk berdirinya dua negara yang hidup berdampingan secara damai dengan keamanan yang terjamin. Two-state solution. Pilihan ini dianggap sebagai titik win-win, artinya tak ada satu pihak yang akan merasa dirugikan atau kalah; semua bisa menang. AS secara tidak langsung mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Pada saat itu, Palestina masih memiliki dua pemerintahan yang otonom.

Pemerintahan Hamas menguasai wilayah Gaza dan pemerintahan Fatah di wilayah Tepi Barat. Dibandingkan dengan Tepi Barat, Gaza adalah wilayah yang penuh dengan tekanan dan konflik. Gaza adalah wilayah di timur Laut Mediterania yang membatasi Mesir dan Israel. Wilayah sejak Perjanjian Oslo 1993 dan Perjanjian Kairo 1994 ini secara bertahap dikelola oleh Otoritas Palestina. Kawasan ini didiami oleh sekitar 1,6 juta penduduk Palestina. Wilayah yang cukup subur dan sejuk dengan aliran air dari Wadi Gaza ini tidak imun terhadap bencana kekeringan yang kerap dialami wilayah dekat gurun khususnya di musim panas.

Sebenarnya wilayah ini bisa berkembang dengan baik, andai saja konflik politik dalam tubuh Palestina ataupun dengan Israel bisa ditekan. Dualisme kepemimpinan Palestina di masa lalu menguntungkan bagi Israel karena mereka dapat melakukan diplomasi ganda. Bersikap moderat kepada pemerintahan di Tepi Barat dan keras terhadap pemerintahan di wilayah Gaza. Implikasi sosialnya sangat nyata. Masyarakat sipil di Gaza jauh lebih menderita daripada di Tepi Barat, walaupun pilihan politik mereka sangat bervariasi dan tidak hanya terbatas pada Hamas dan Fatah.

Masih ada kelompok-kelompok masyarakat lain yang memiliki ideologi berbeda. Ada kurang lebih 11 partai politik dengan warna ideologi yang berbeda di Palestina dari kelompok sayap kiri seperti Popular Front for the Liberation of Palestine hingga moderat seperti Third Way yang memperoleh dua kursi saat pemilu legislatif tahun 2006. Perbedaan warna politik itu tidak menjadi halangan bagi Israel untuk memaksakan kebijakan kepada masyarakat Palestina.

Mengutip pendekatan Amartya Sen yang mengkritik cara biner (dikotomis) dalam melihat politik identitas dan kekerasan (2007), kita dapat melihat bahwa Israel melakukan hal yang dikritik Amartya Sen itu, yakni memasukkan mereka yang menganut ideologi antikorporatis sebagai Hamas dan yang korporatis sebagai Fatah. Dikotomi tersebut yang selalu menjadi pembenaran untuk menghancurkan segala sesuatu yang dianggap sebagai Hamas. Pandangan ini sebangun dengan wacana yang berkembang di negara-negara muslim bahwa perjuangan pembebasan Palestina sebagai perjuangan masyarakat muslim sehingga menyisakan sedikit ruang wacana bagi masyarakat nonmuslim untuk menyatakan dukungannya.

Politik identitas itu kembali dikuatkan Israel dan negara-negara Barat ketika Hamas dan Fatah melakukan rekonsiliasi untuk membangun pemerintahan bersama. Israel menyatakan rekonsiliasi itu sebagai tanda Fatah mengakui dan menyetujui Hamas, termasuk cara pandang dan praktik politik yang dilakukan Hamas. Padahal bagi Fatah, rekonsiliasi itu adalah penyatuan kembali masyarakat Palestina yang terpecah, baik karena alasan pandangan ideologis maupun geografis.

Serangan Israel ke Gaza selama satu minggu terakhir adalah upaya untuk menguatkan kembali wacana Palestina yang terbelah. Bela diri adalah alasan formal yang diungkapkan Israel atas rangkaian serangan rudal yang dilakukannya atas Gaza. Alasan utama bahwa serangan Israel hanya ditujukan kepada kelompok bersenjata Hamas adalah dalih yang juga patut dipertanyakan, karena kekuatan Hamas secara politik dan ekonomi telah berkurang. Sebelum pecah perang Suriah dan pergantian kekuasaan di Mesir, Hamas dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Iran. Walaupun mayoritas anggota Hamas adalah Muslim Sunni, Iran dan Suriah yang menganut Muslim Syiah memberikan bantuan politik, latihan militer, dan keuangan bagi mereka.

Iran dianggap sebagai ancaman nyata oleh Israel karena mereka menyatakan tidak mengakui Israel sebagai negara. Hal tersebut menajam khususnya pada saat Mahmoud Ahmadinejad berkuasa sebagai presiden Iran. Kini, menghancurkan Hamas tidak lagi sekadar bagian dari upaya mengurangi ancaman Iran. Penghancuran Hamas lebih terlihat sebagai upaya memecah belah Palestina. Pasalnya, peta politik Timur Tengah sudah berubah setelah Hamas menggabungkan dirinya menentang rezim Bashar Al-Assad yang telah membantu perjuangan Hamas selama ini.

Perlawanan yang diramalkan hanya berjalan sesaat ternyata berlarut-larut hingga bertahun-tahun. Kepercayaan diri yang kuat dari Hamas untuk melawan Suriah tidak lepas dari dukungan penuh Mesir kepada Hamas ketika Mursi sebagai anggota Moslem Brotherhood menjabat sebagai presiden di Mesir. Hamas berpikir Mesir dapat menjadi tempat alternatif untuk menggantikan peran Suriah sebagai domisili politik dalam memperjuangkan Palestina. Harapan itu pun kemudian pupus ketika Mursi digulingkan dan digantikan oleh Jenderal Sisi. Sisi memiliki kebijakan terhadap Hamas yang bertolak belakang dari kebijakan Mursi.

Pada akhirnya, Hamas pun lemah secara ekonomi dan politik. Di tingkat regional, pergantian kepemimpinan di Iran juga telah mengembuskan reformasi yang lebih suka mengedepankan diplomasi daripada senjata. Iran juga telah berpartisipasi dalam negosiasi dan pelucutan senjata nuklir agar dapat diterima dalam pergaulan internasional dan dapat terlibat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Timur Tengah. Dengan kata lain, menggunakan Hamas sebagai biang keladi bangkitnya kemarahan Israel dan sebagai legitimasi atas penyerangan yang dilakukan Israel ke Palestina adalah alasan yang tidak masuk di akal.

Situasi telah berubah. Apa yang kita saksikan dalam pernyataan politik dan diplomasi Israel di media massa adalah penguatan kembali politik identitas untuk memisahkan “Palestina Jahat” dari “Palestina Baik”. Palestina Jahat ada di wilayah Gaza, Palestina Baik ada di Tepi Barat. Perbedaan ini yang harus kita lawan khususnya bagi kita masyarakat Indonesia. Kita harus tetap mengakui Palestina adalah satu dan bahwa kekerasan yang terjadi di Palestina adalah praktik politik Israel yang tidak memberikan ruang bagi Palestina untuk hidup “normal” sebagai suatu bangsa dan pemerintah.

Sebagai negara pencinta kemerdekaan dan perdamaian, Indonesia perlu menegaskan pada Israel dan pihak-pihak lain yang berusaha terlibat mencari solusi di Gaza bahwa cara-cara dikotomis dalam memaknai identitas politik adalah jalan buntu bagi upaya diplomasi yang sesungguhnya. Selain itu, semakin Israel bersikeras menyuarakan rasa tidak aman terhadap tetangganya, semakin tinggi pula perasaan tidak aman yang dirasakan warga negaranya, meskipun itu semua lebih merupakan ilusi daripada ancaman yang nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar