Kamis, 17 Juli 2014

Menggugat Jurus Antikemiskinan

                             Menggugat Jurus Antikemiskinan

Khudori ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”
KORAN SINDO,  15 Juli 2014
                                                


Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Juni lalu merilis angka kemiskinan: per Maret 2014 angka kemiskinan mencapai 28,28 juta orang (11,25% dari total penduduk), naik 0,11 juta jiwa dari tahun sebelumnya sebesar 28,17 juta orang. Tahun-tahun sebelumnya angka kemiskinan turun, tapi penurunannya melandai.

Menurut BPS, penduduk miskin di Indonesia ada pada taraf susah untuk diturunkan. Mengapa ini terjadi? Di mana salahnya? Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 mencapai 5,78%. Meski menurun ketimbang tahun sebelumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi masih bisa dijaga di atas 5%. Sebetulnya pertumbuhan masih tinggi. Namun, kemampuan pertumbuhan dalam menciptakan lapangan kerja (baca: menurunkan kemiskinan) makin menurun. Saat Orde Baru tiap 1% pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan lebih 400.000 lapangan kerja.

Namun pada 2011 dan 2012 lapangan kerja yang tercipta hanya 225.000 dan 182.000. Sebetulnya pemerintah memiliki komitmen besar untuk menekan kemiskinan. Ini bisa dilihat dari komitmen anggaran. Sejak 2005, anggaran antikemiskinan melonjak drastis. Alokasi anggaran antikemiskinan meningkat dari Rp23,4 triliun pada tahun 2005 menjadi hampir Rp100 triliun pada 2012 atau naik lebih empat kali. Ironisnya, meskipun anggaran terus meningkat sejak tahun 2009 terjadi gejala berupa tumpulnya jurus-jurus antikemiskinan dalam menurunkan jumlah warga miskin.

Pada 2008 untuk melepaskan satu orang dari kemiskinan membutuhkan biaya Rp30 juta, namun pada 2012 biayanya Rp100 juta atau lebih dari tiga kali lipat. Ini bisa dilihat dari anggaran Rp100 triliun pada 2012, namun jumlah warga yang lepas dari kemiskinan hanya 1 juta (Prakarsa, 2012). Pada 2012, seseorang masuk kategori miskin apabila pengeluarannya kurang dari Rp249.000 per bulan atau sekitar Rp3 juta per tahun. Jika untuk melepaskan seseorang dari kemiskinan memerlukan biaya Rp100 juta, berarti ongkos pengurangan kemiskinan nilainya sudah lebih dari 30 kali lipat dari ukuran kemiskinan itu sendiri.

Karena itu, amat relevan mempertanyakan efektivitas dan efisiensi jurus antikemiskinan. Mengapa program-program antikemiskinan makin tumpul dan tidak mujarab? Apa masalahnya? Pada era Presiden SBY, program antikemiskinan dibagi jadi tiga kluster. Kluster pertama berupa bantuan dan perlindungan sosial pada keluarga kurang mampu, seperti beras untuk rakyat miskin (raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga Harapan, dan Bantuan Operasional Sekolah. Kluster kedua berupa program dan anggaran berbasis masyarakat, yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Mandiri (PNPM).

Warga yang miskin didampingi dan diberdayakan. Kluster ketiga dilakukan pemberdayaan UMKM dan penyediaan kredit usaha rakyat (KUR). SBY menyebut kluster pertama sebagai pemberian ”ikan” bagi rakyat miskin dan hampir miskin. Kluster kedua dianalogikan sebagai pemberian ”kail” agar warga lebih mandiri. Dan kluster ketiga ibarat pemberian ”perahu”. Diharapkan masyarakat kecil bisa mengembangkan usahanya sendiri, bahkan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Pengelompokan kluster bisa dipahami karena kelompok miskin tidak homogen. Pertanyaannya, jika pada kluster pertama hanya diberi ”ikan” tanpa jurus pemberdayaan, apakah itu tidak menimbulkan ketergantungan pada diri kelompok paling miskin itu? Bagaimanapun kelompok kluster pertama tetap mempunyai potensi pengembangan, bukan sekadar ”hidup dari pemberian”. Karena itu, pada kluster pertama porsi ”ikannya” lebih besar daripada kelompok lain agar bisa survive. Namun, pada saat bersamaan mereka juga perlu diberi kail.

Kalau tidak, selamanya mereka miskin dan tidak berdaya. Pada titik ini perlu mendudukkan kail dan ikan dalam penanganan kemiskinan secara proporsional. Dalam realitasnya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Misalnya tukang bakso. Setelah punya modal bisa berjualan bakso dengan pendapatan sehari Rp50.000. Tapi begitu si tukang bakso sakit, karena dia satu-satunya tulang punggung keluarga, gerobak bakso dijual lantaran tidak punya kartu sehat. Pemberian ikan dalam bentuk bantuan langsung juga tidak selamanya membuat orang miskin malas dan tergantung negara.

Syaratnya sasaran, kriteria, dan mekanisme harus jelas. Visinya pun harus jangka panjang, bukan sekadar proyek yang sporadis ala BLT sebagai kompensasi kenaikan BBM. Persoalan lain menyangkut fokus program. Anggaran antikemiskinan ditebar pada 51 program yang menyebar hampir di semua kementerian/lembaga. Akibatnya, terjadi tumpang tindih, bahkan repetisi program yang ujungujungnya penghamburan anggaran. Akan lebih baik jika penanggulangan kemiskinan dikumpulkan dalam satu lembaga, sehingga pelaksanaan program lebih bermanfaat, efektif, dan efisien.

Apa yang paling mengkhawatirkan adalah upaya antikemiskinan akan gagal seperti yang sudahsudah. Sudah tidak terhitung program dan usaha pemerintah untuk memberdayakan ekonomi rakyat miskin. Tanpa mengecilkan hasilnya, sejatinya jumlah warga miskin masih banyak. Pada titik inilah patut mempertanyakan keampuhan jurus antikemiskinan. Ada keperluan mendesak untuk mengevaluasi secara menyeluruh jurus dan program-program antikemiskinan.

DPR ada baiknya membentuk panitia khusus guna memeriksa dan mengevaluasi kinerja anggaran penanggulangan kemiskinan pemerintah. Pansus bisa saja membentuk tim independen yang diberi tugas mengaudit dan mengevaluasi kinerja penanggulangan kemiskinan. Audit ini untuk memeriksa dampak, efektivitas, efisiensi, potensi kebocoran atau penyelewengan anggaran antikemiskinan. Temuan tim akan jadi rekomendasi bagi pemerintah untuk merancang ulang jurus antikemiskinan yang ampuh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar