Mencermati
Kicauan Propaganda
Eka Azwin Lubis ;
Aktivis HMI
|
KORAN
JAKARTA, 04 Juli 2014
Fahri Hamzah, politikus sekaligus anggota DPR dari Fraksi PKS,
tersandung kasus kampanye hitam terkait kicauannya di akun Tweeter terkait
rencana capres Joko Widodo (Jokowi) menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Santri
Nasional.
Fahri menyatakan rencana tersebut merupakan suatu gagasan sinting
sehingga mengundang banyak protes, baik dari kalangan timses Jokowi-JK yang
langsung melaporkan ke Bawaslu, maupun dari tim Prabowo-Hatta sendiri.
Martin Hutabarat dari Partai Demokrat menyatakan Fahri tidak pantas
menyatakan seperti itu karena dia seorang anggota dewan. Hal ini kembali
membuktikan bahwa masih terlalu banyak manusia Indonesia yang hipokrit dengan
menghalalkan segala cara untuk menggapai kemenangan dan merebut simpati
rakyat. Tidak peduli apa dampak yang harus diterima terkait fitnah, caci
maki, propaganda. Bagi mereka yang penting tuannya bisa menang dalam Pilpres
9 Juli mendatang.
Aneh memang, politikus dari partai yang konon wadah para ahli agama
ternyata punya pola pikir kacangan yang hobi menyulut propaganda atas nama
agama serta gemar menghina orang lain. Agama tidak pernah mengajarkan untuk
saling menghina apalagi memfitnah. Memerangi orang yang tidak menindas juga
merupakan kejatahan.
Lalu pertanyaanya mengapa Fahri yang harusnya lebih paham terkait
hal-hal yang dilarang agama justru melakukan tindakan bodoh seperti itu? Atau
jangan-jangan sudah banyak manusia bermental munafik di Indonesia ini yang
terjun ke dunia politik dengan tameng agama untuk mendongkrak popularitas?
Tidak salah memang politisi PKS begitu mengagungkan Prabowo-Hatta, sekalipun
hanya sebagai pelengkap dalam koalisi tersebut, sembari mengharapkan jabatan
bila pasangan tersebut menang.
Tapi janganlah hal tersebut dijadikan alasan untuk menyerang pasangan
lain dengan tindakan-tindakan yang justru menelanjangi ideologi partai
sendiri. Mengapa momen pilpres ini begitu kental diwarnai dengan nuansa
kampanye hitam? Apakah selamanya politik itu harus disikapi dengan nuansa
kebencian atas nama perbedaan?
Bukankah para elite politik yang sejatinya memiliki nalar berpikir
lebih baik dibanding masyarakat awam pada umumnya harus menjadi contoh
menyikapi perbedaan politik dengan cara-cara lebih santun? Namun mengapa
mereka justru menjadi penyulut api kebencian di antara sesama putra-putra
terbaik bangsa ini? Jika bijak dan adil dalam menyikapi berbagai propaganda
yang menyudutkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden,
apalagi itu bersifat fitnah belaka, seharusnya ini menjadi salah satu tolok
ukur masyarakat dalam menentukan pilihan.
Jangan memilih pasangan calon yang memiliki program kerja untuk
menjatuhkan nama baik lawannya dengan cara-cara kotor dan jauh dari nilai
Pancasila. Persatuan bukan berarti semua serbasama. Kemajemukan juga tidak
berarti semua serba berbeda. Kalimat inilah yang seharusnya menjadi patron
para calon dan timses yang bersaing untuk merebut kursi presiden dan wakil
dalam mengampanyekan diri untuk merebut hati rakyat. Bangsa ini memang
dikenal fanatik akan agamanya, sekalipun bukan orang yang taat beragama.
Namun ketika ada pihak-pihak tertentu yang coba mengusik agama yang
dianut, konflik horizontal cepat terjadi. Karena itu, jangan terus-menerus
menjadikan agama sebagai ajang jualan politik untuk merebut hati rakyat dan
mendiskreditkan lawan politik. Masyarakat juga dituntut kecerdasannya dalam
menyikapi berbagai kampanye hitam yang marak menjelang Pilpres 9 Juli. “Seorang terpelajar sudah mampu berlaku
adil sejak dalam pikiran.”
Kalimat Pramodya Ananta Toer itu sangat indah untuk dipahami, termasuk
dalam menentukan pilihan yang layak memimpin republik ini lima tahun
mendatang. Perang Media Nuansa Pilpres tahun 2014 memang menjadi ajang
perwujudan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang utuh kedaulatan
negara guna memilih pemimpin Indonesia 2014- 2019. Oleh karenanya, di setiap
sudut seantero negeri begitu hangat perbincangan terkait dua pasangan calon
yang bertarung.
Rekam jejak, visi-misi, hingga manfaat langsung rakyat bila mereka
terpilih menjadi pembahasan panjang tiap kali ada pembicaraan terkait kedua
pasangan calon. Pasca berakhirnya era SBY yang telah memimpin Indonesia
selama dua periode, kini Indonesia bakal memiliki pemimpin baru yang
sama-sama belum pernah maju sebagai calon presiden.
Saking panasnya persaingan pilpres karena hanya diikuti dua pasangan,
tidak hanya timses dan masyarakat pendukung yang ikut bersaing mengampanyekan
mereka, media yang seharusnya bertindak netral dalam menyikapi berbagai hal,
termasuk momen pilpres, juga hanyut dalam pertarungan lima tahunan ini. Dua
stasiun televisi besar tanah air: Metro TV dan TV One sama-sama bersaing
untuk mengampanyekan jagoan mereka dan turut “mengambinghitamkan” pasangan lawan.
Pernyataan ini bukanlah suatu yang berlebihan karena secara gamblang
setiap hari pemirsa disuguhi kegiatan kampanye serta dukungan untuk capres
dan cawapres jagoan mereka, serta berbagai sisi negatif pasangan lawan. TV
One yang sebagian besar sahamnya milik keluarga Aburizal Bakrie, Ketua Umum
Partai Golkar dan menjadi salah satu pendukung pasangan Prabowo-Hatta, selalu
mengampanyekan pasangan No urut 1. TV One menyuguhkan pemberitaan negatif
pasangan nomor urut 2.
Lain lagi Metro TV yang melakukan sebaliknya karena Surya Paloh, sang
empunya, merupakan Ketua Umum Partai Nasdem yang menjadi salah satu pendukung
pasangan Jokowi-JK. Melihat realitas seperti ini, agaknya kecerdasan rakyat
dalam memilih memang sangat dituntut. Kejernihan berpikir dengan pertimbangan
yang logis tanpa harus terkontaminasi dengan berbagai hal yang berbau
propaganda harus lebih dikedepankan dalam menentukan pilihan tanggal 9 Juli
mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar