Senin, 07 Juli 2014

Mencermati Kicauan Propaganda

                             Mencermati Kicauan Propaganda

Eka Azwin Lubis  ;   Aktivis HMI
KORAN JAKARTA,  04 Juli 2014
                                                


Fahri Hamzah, politikus sekaligus anggota DPR dari Fraksi PKS, tersandung kasus kampanye hitam terkait kicauannya di akun Tweeter terkait rencana capres Joko Widodo (Jokowi) menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional.

Fahri menyatakan rencana tersebut merupakan suatu gagasan sinting sehingga mengundang banyak protes, baik dari kalangan timses Jokowi-JK yang langsung melaporkan ke Bawaslu, maupun dari tim Prabowo-Hatta sendiri.

Martin Hutabarat dari Partai Demokrat menyatakan Fahri tidak pantas menyatakan seperti itu karena dia seorang anggota dewan. Hal ini kembali membuktikan bahwa masih terlalu banyak manusia Indonesia yang hipokrit dengan menghalalkan segala cara untuk menggapai kemenangan dan merebut simpati rakyat. Tidak peduli apa dampak yang harus diterima terkait fitnah, caci maki, propaganda. Bagi mereka yang penting tuannya bisa menang dalam Pilpres 9 Juli mendatang.

Aneh memang, politikus dari partai yang konon wadah para ahli agama ternyata punya pola pikir kacangan yang hobi menyulut propaganda atas nama agama serta gemar menghina orang lain. Agama tidak pernah mengajarkan untuk saling menghina apalagi memfitnah. Memerangi orang yang tidak menindas juga merupakan kejatahan.

Lalu pertanyaanya mengapa Fahri yang harusnya lebih paham terkait hal-hal yang dilarang agama justru melakukan tindakan bodoh seperti itu? Atau jangan-jangan sudah banyak manusia bermental munafik di Indonesia ini yang terjun ke dunia politik dengan tameng agama untuk mendongkrak popularitas? Tidak salah memang politisi PKS begitu mengagungkan Prabowo-Hatta, sekalipun hanya sebagai pelengkap dalam koalisi tersebut, sembari mengharapkan jabatan bila pasangan tersebut menang.

Tapi janganlah hal tersebut dijadikan alasan untuk menyerang pasangan lain dengan tindakan-tindakan yang justru menelanjangi ideologi partai sendiri. Mengapa momen pilpres ini begitu kental diwarnai dengan nuansa kampanye hitam? Apakah selamanya politik itu harus disikapi dengan nuansa kebencian atas nama perbedaan?

Bukankah para elite politik yang sejatinya memiliki nalar berpikir lebih baik dibanding masyarakat awam pada umumnya harus menjadi contoh menyikapi perbedaan politik dengan cara-cara lebih santun? Namun mengapa mereka justru menjadi penyulut api kebencian di antara sesama putra-putra terbaik bangsa ini? Jika bijak dan adil dalam menyikapi berbagai propaganda yang menyudutkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, apalagi itu bersifat fitnah belaka, seharusnya ini menjadi salah satu tolok ukur masyarakat dalam menentukan pilihan.

Jangan memilih pasangan calon yang memiliki program kerja untuk menjatuhkan nama baik lawannya dengan cara-cara kotor dan jauh dari nilai Pancasila. Persatuan bukan berarti semua serbasama. Kemajemukan juga tidak berarti semua serba berbeda. Kalimat inilah yang seharusnya menjadi patron para calon dan timses yang bersaing untuk merebut kursi presiden dan wakil dalam mengampanyekan diri untuk merebut hati rakyat. Bangsa ini memang dikenal fanatik akan agamanya, sekalipun bukan orang yang taat beragama.

Namun ketika ada pihak-pihak tertentu yang coba mengusik agama yang dianut, konflik horizontal cepat terjadi. Karena itu, jangan terus-menerus menjadikan agama sebagai ajang jualan politik untuk merebut hati rakyat dan mendiskreditkan lawan politik. Masyarakat juga dituntut kecerdasannya dalam menyikapi berbagai kampanye hitam yang marak menjelang Pilpres 9 Juli. “Seorang terpelajar sudah mampu berlaku adil sejak dalam pikiran.”

Kalimat Pramodya Ananta Toer itu sangat indah untuk dipahami, termasuk dalam menentukan pilihan yang layak memimpin republik ini lima tahun mendatang. Perang Media Nuansa Pilpres tahun 2014 memang menjadi ajang perwujudan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang utuh kedaulatan negara guna memilih pemimpin Indonesia 2014- 2019. Oleh karenanya, di setiap sudut seantero negeri begitu hangat perbincangan terkait dua pasangan calon yang bertarung.

Rekam jejak, visi-misi, hingga manfaat langsung rakyat bila mereka terpilih menjadi pembahasan panjang tiap kali ada pembicaraan terkait kedua pasangan calon. Pasca berakhirnya era SBY yang telah memimpin Indonesia selama dua periode, kini Indonesia bakal memiliki pemimpin baru yang sama-sama belum pernah maju sebagai calon presiden.

Saking panasnya persaingan pilpres karena hanya diikuti dua pasangan, tidak hanya timses dan masyarakat pendukung yang ikut bersaing mengampanyekan mereka, media yang seharusnya bertindak netral dalam menyikapi berbagai hal, termasuk momen pilpres, juga hanyut dalam pertarungan lima tahunan ini. Dua stasiun televisi besar tanah air: Metro TV dan TV One sama-sama bersaing untuk mengampanyekan jagoan mereka dan turut “mengambinghitamkan” pasangan lawan.

Pernyataan ini bukanlah suatu yang berlebihan karena secara gamblang setiap hari pemirsa disuguhi kegiatan kampanye serta dukungan untuk capres dan cawapres jagoan mereka, serta berbagai sisi negatif pasangan lawan. TV One yang sebagian besar sahamnya milik keluarga Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar dan menjadi salah satu pendukung pasangan Prabowo-Hatta, selalu mengampanyekan pasangan No urut 1. TV One menyuguhkan pemberitaan negatif pasangan nomor urut 2.

Lain lagi Metro TV yang melakukan sebaliknya karena Surya Paloh, sang empunya, merupakan Ketua Umum Partai Nasdem yang menjadi salah satu pendukung pasangan Jokowi-JK. Melihat realitas seperti ini, agaknya kecerdasan rakyat dalam memilih memang sangat dituntut. Kejernihan berpikir dengan pertimbangan yang logis tanpa harus terkontaminasi dengan berbagai hal yang berbau propaganda harus lebih dikedepankan dalam menentukan pilihan tanggal 9 Juli mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar