Membaca
Ofensif Israel ke Gaza
Ibnu Burdah ; Pemerhati Masalah Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 11 Juli 2014
"Sebagaimana
Israel, pemerintah Mesir menempatkan Hamas sebagai kelompok teroris yang
harus dienyahkan"
KETEGANGAN antara Hamas dan Israel akibat aksi saling culik dan
bunuh akhirnya berbuah aksi saling serang. Israel melancarkan serangan udara
ke berbagai titik di Jalur Gaza, kota yang sempit, padat, dan terisolasi.
Korban tewas dan luka pun berjatuhan. Kehancuran masif di kota itu tak
terhindarkan. Sayap militer Hamas, Izzuddin
al-Qassam, dan sayap militer Jihad
Islamiy, Saraya al-Quds,
akhirnya merespons serangan-serangan Israel. Mereka menembakkan sejumlah
roket ke berbagai titik di perbatasan Israel-Gaza. Sebagian roket Hamas
bahkan menjangkau Tel Aviv, ibu kota Israel. Eskalasi kekerasan masih mungkin
terjadi. Perdana Menteri Israel, Netanyahu mengatakan telah memerintah
tentara untuk memperluas dan mengintensifkan operasi militer di Gaza. Salah
satu anggota kabinet Israel mengecam kebijakan Netanyahu yang terlalu lembek
terhadap Hamas. Kecaman dan seruan untuk segera gencatan senjata datang dari
banyak pihak. Tapi seruan ini sepertinya tak berpengaruh, bahkan Israel
seperti bersiap melakukan ofensif besar-besaran.
Mengapa Israel bersikeras? Apakah korban dari pihak Palestina yang
mencapai 61 orang tewas (TV Aljazeera
Arab, 10/7/14) itu belum cukup sebagai balasan atas kematian tiga
warganya? Apakah mereka tak kapok dengan perang 2008 yang tak membuahkan
hasil sebagaimana diharapkan? Ataukah ada motivasi lain di balik serangan
itu? Sejak serangan awal, penulis menduga hal itu buah koordinasi dengan
pemerintah baru Mesir. Sebagaimana Israel, pemerintah Mesir sekarang
menempatkan Hamas sebagai kelompok teroris yang harus dienyahkan dari
kawasan. Serangan intensif Israel dilakukan tak lama setelah siaran sebuah stasiun
radio Israel mengenai kedatangan kepala intelejen Mesir di Tel Aviv. Jatuhnya
pemerintahan Ikhwan di Mesir pada Juli 2013 benar-benar petaka bagi Hamas dan
rakyat Gaza pada umumnya. Gaza kembali terisolasi dari berbagai sisi. Hamas
kehilangan patron ideologis dan strategis.
Bahkan, mereka dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah
baru Mesir. Orang-orang Hamas, sebagaimana Ikhwan, diburu sebagai musuh
negara Mesir. Mesir meyakini, kelompok-kelompok bersenjata yang melakukan
berbagai aksi kekerasan terhadap tentara dan polisi mereka di Sinai dan
wilayah perbatasan adalah orang-orang Hamas yang berkolaborasi dengan Ikhwan
Mesir. Karena itu, melumpuhkan Hamas menjadi keinginan bersama pemerintah
Mesir dan Israel. Sejak saat itu, Hamas sebenarnya sudah begitu terjepit.
Kehidupan rakyat Gaza juga kembali ke standar yang begitu memprihatinkan. Gaza adalah
''penjara besar'' yang dikepung aparat keamanan Israel, Mesir, dan pasukan
otoritas Palestina (Fatah) yang juga rival mereka. Praktis mereka hanya
mengandalkan bantuan kemanusiaan yang bersifat darurat, terutama dari Qatar
dan Turki. Pada titik itulah dikabarkan rekonsiliasi Hamas-Fatah tercapai.
Pemerintahan persatuan kendati sempat tertunda-tunda, akhirnya
terbentuk juga. Ancaman Nyata Inilah sesungguhnya yang begitu mengecewakan
Israel. Hamas memiliki ruang untuk kembali membangun kekuatan. Rakyat Gaza
juga bisa hidup lebih normal sebab mereka terhubung dengan 8 kota di Tepi
Barat kendati itu harus melalui kontrol ekstraketat dari pasukan Israel di
perbatasan yang dilewati. “Kebangkitan” kembali Hamas inilah yang tak mereka
inginkan. Karena itu, seruan untuk kembali menginvasi Gaza sudah terdengar
sebelum aksi saling culik dan bunuh yang ramai diberitakan itu. Bagi Israel,
terbentuknya pemerintah Fatah-Hamas adalah ancaman nyata. Karena itu, aksi
saling culik dan bunuh yang menyita perhatian publik Israel dan Palestina itu
menjadi momentum melumpuhkan Hamas sekaligus pemerintah Persatuan Palestina.
Aksi itu menjadi tampak beralasan sebab salah satu doktrin militer Israel
sangat jelas, yaitu menyerang ke sumber-sumber ancaman di mana pun berada,
bukan bertahan di wilayahnya.
Apalagi, ini disangkutkan dengan keselamatan nyawa rakyatnya. Motivasi
ini tidaklah penting bagi pemerintah Mesir. Bagi mereka, yang terpenting
adalah menghancurkan lawan mereka, yakni jaringan Ikhwani termasuk Hamas.
Hamas di mata publik Mesir propemerintah sekarang adalah kelompok yang tak
tahu diri. Mereka dibantu orang Mesir tetapi justru mencampuri dan
mengacaukan urusan dalam negeri Mesir. Persepsi publik dan media Mesir
terhadap Hamas dan Ikhwan tak ubahnya persepsi rakyat Indonesia terhadap PKI
pada masa Orba. Jika tujuan utama Israel melakukan ofensif ke Gaza adalah itu
maka sepertinya akan sulit menghentikan operasi militer itu secepatnya.
Bahkan, teriakan keras dari pemimpin Fatah, “mitra” perundingan Israel dalam
proyek perdamaian Israel-Palestina, tak berpengaruh apa-apa. Sikap Fatah
memang terdengar lebih keras pada saat ini dibandingkan dengan serangan
Israel ke Gaza tahun 2008. Namun, sejauh ini itu hanyalah pernyataan,
kata-kata, bukan tindakan. Terlebih kita pun tahu orang Arab berlimpah kata.
Di lapangan, Fatah sama sekali tak menurunkan tentaranya untuk menghadapi
ofensif Israel terhadap saudaranya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar