Senin, 14 Juli 2014

Membaca Ofensif Israel ke Gaza

                               Membaca Ofensif Israel ke Gaza

Ibnu Burdah  ;   Pemerhati Masalah Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 11 Juli 2014
                                                


"Sebagaimana Israel, pemerintah Mesir menempatkan Hamas sebagai kelompok teroris yang harus dienyahkan"

KETEGANGAN antara Hamas dan Israel akibat aksi saling culik dan bunuh akhirnya berbuah aksi saling serang. Israel melancarkan serangan udara ke berbagai titik di Jalur Gaza, kota yang sempit, padat, dan terisolasi. Korban tewas dan luka pun berjatuhan. Kehancuran masif di kota itu tak terhindarkan. Sayap militer Hamas, Izzuddin al-Qassam, dan sayap militer Jihad Islamiy, Saraya al-Quds, akhirnya merespons serangan-serangan Israel. Mereka menembakkan sejumlah roket ke berbagai titik di perbatasan Israel-Gaza. Sebagian roket Hamas bahkan menjangkau Tel Aviv, ibu kota Israel. Eskalasi kekerasan masih mungkin terjadi. Perdana Menteri Israel, Netanyahu mengatakan telah memerintah tentara untuk memperluas dan mengintensifkan operasi militer di Gaza. Salah satu anggota kabinet Israel mengecam kebijakan Netanyahu yang terlalu lembek terhadap Hamas. Kecaman dan seruan untuk segera gencatan senjata datang dari banyak pihak. Tapi seruan ini sepertinya tak berpengaruh, bahkan Israel seperti bersiap melakukan ofensif besar-besaran.

Mengapa Israel bersikeras? Apakah korban dari pihak Palestina yang mencapai 61 orang tewas (TV Aljazeera Arab, 10/7/14) itu belum cukup sebagai balasan atas kematian tiga warganya? Apakah mereka tak kapok dengan perang 2008 yang tak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan? Ataukah ada motivasi lain di balik serangan itu? Sejak serangan awal, penulis menduga hal itu buah koordinasi dengan pemerintah baru Mesir. Sebagaimana Israel, pemerintah Mesir sekarang menempatkan Hamas sebagai kelompok teroris yang harus dienyahkan dari kawasan. Serangan intensif Israel dilakukan tak lama setelah siaran sebuah stasiun radio Israel mengenai kedatangan kepala intelejen Mesir di Tel Aviv. Jatuhnya pemerintahan Ikhwan di Mesir pada Juli 2013 benar-benar petaka bagi Hamas dan rakyat Gaza pada umumnya. Gaza kembali terisolasi dari berbagai sisi. Hamas kehilangan patron ideologis dan strategis.

Bahkan, mereka dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah baru Mesir. Orang-orang Hamas, sebagaimana Ikhwan, diburu sebagai musuh negara Mesir. Mesir meyakini, kelompok-kelompok bersenjata yang melakukan berbagai aksi kekerasan terhadap tentara dan polisi mereka di Sinai dan wilayah perbatasan adalah orang-orang Hamas yang berkolaborasi dengan Ikhwan Mesir. Karena itu, melumpuhkan Hamas menjadi keinginan bersama pemerintah Mesir dan Israel. Sejak saat itu, Hamas sebenarnya sudah begitu terjepit. Kehidupan rakyat Gaza juga kembali ke standar yang begitu memprihatinkan. Gaza adalah ''penjara besar'' yang dikepung aparat keamanan Israel, Mesir, dan pasukan otoritas Palestina (Fatah) yang juga rival mereka. Praktis mereka hanya mengandalkan bantuan kemanusiaan yang bersifat darurat, terutama dari Qatar dan Turki. Pada titik itulah dikabarkan rekonsiliasi Hamas-Fatah tercapai.

Pemerintahan persatuan kendati sempat tertunda-tunda, akhirnya terbentuk juga. Ancaman Nyata Inilah sesungguhnya yang begitu mengecewakan Israel. Hamas memiliki ruang untuk kembali membangun kekuatan. Rakyat Gaza juga bisa hidup lebih normal sebab mereka terhubung dengan 8 kota di Tepi Barat kendati itu harus melalui kontrol ekstraketat dari pasukan Israel di perbatasan yang dilewati. “Kebangkitan” kembali Hamas inilah yang tak mereka inginkan. Karena itu, seruan untuk kembali menginvasi Gaza sudah terdengar sebelum aksi saling culik dan bunuh yang ramai diberitakan itu. Bagi Israel, terbentuknya pemerintah Fatah-Hamas adalah ancaman nyata. Karena itu, aksi saling culik dan bunuh yang menyita perhatian publik Israel dan Palestina itu menjadi momentum melumpuhkan Hamas sekaligus pemerintah Persatuan Palestina. Aksi itu menjadi tampak beralasan sebab salah satu doktrin militer Israel sangat jelas, yaitu menyerang ke sumber-sumber ancaman di mana pun berada, bukan bertahan di wilayahnya.

Apalagi, ini disangkutkan dengan keselamatan nyawa rakyatnya. Motivasi ini tidaklah penting bagi pemerintah Mesir. Bagi mereka, yang terpenting adalah menghancurkan lawan mereka, yakni jaringan Ikhwani termasuk Hamas. Hamas di mata publik Mesir propemerintah sekarang adalah kelompok yang tak tahu diri. Mereka dibantu orang Mesir tetapi justru mencampuri dan mengacaukan urusan dalam negeri Mesir. Persepsi publik dan media Mesir terhadap Hamas dan Ikhwan tak ubahnya persepsi rakyat Indonesia terhadap PKI pada masa Orba. Jika tujuan utama Israel melakukan ofensif ke Gaza adalah itu maka sepertinya akan sulit menghentikan operasi militer itu secepatnya. Bahkan, teriakan keras dari pemimpin Fatah, “mitra” perundingan Israel dalam proyek perdamaian Israel-Palestina, tak berpengaruh apa-apa. Sikap Fatah memang terdengar lebih keras pada saat ini dibandingkan dengan serangan Israel ke Gaza tahun 2008. Namun, sejauh ini itu hanyalah pernyataan, kata-kata, bukan tindakan. Terlebih kita pun tahu orang Arab berlimpah kata. Di lapangan, Fatah sama sekali tak menurunkan tentaranya untuk menghadapi ofensif Israel terhadap saudaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar