Senin, 14 Juli 2014

Polisi, Dewan Pers, dan Obor Rakyat

                        Polisi, Dewan Pers, dan Obor Rakyat

Abdullah Alamudi  ;   Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo;
Anggota Dewan Pers (2007–2010)
KORAN TEMPO, 12 Juli 2014
                                                


Polisi tampaknya ragu mengenai tindakan tepat yang akan mereka ambil terhadap kedua pemimpin Obor Rakyat. Polisi saat ini telah terdesak oleh tuduhan masyarakat bahwa mereka mengulur-ulur waktu karena kedekatan pemimpin tabloid itu dengan Istana.

Keraguan itu tampak dari silang pernyataan pimpinan Polri kepada masyarakat. Di depan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, dan puluhan pemimpin redaksi media, Jumat, 4 Juli, Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan, "Polisi akan menindak tegas pimpinan Obor Rakyat, (Setyardi Budiono dan Darmawan Supriyossa-pen.) dengan pasal-pasal berlapis, termasuk Undang-Undang Pers."

Tapi, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny F Sompie mengatakan, menurut Kabareskrim, Setyardi dan Darmawan hanya akan dikenai Pasal 18 (ayat 3) juncto Pasal 9 (ayat 2) UU Pers. Pasal itu memuat ancaman pidana denda maksimal Rp 100 juta.

Menyusul tekanan masyarakat dan pers, dalam waktu kurang dari sepekan, Polri mengatakan bahwa polisi bisa mengenakan pasal-pasal pidana umum terhadap Setyardi dan Darmawan. Tapi, mereka belum menemukan ahli hukum pidana yang bisa menjelaskan kesalahan kedua tersangka dalam kaitannya dengan UU Pers.

Pernyataan itu makin membingungkan, karena Dewan Pers, dengan semangat memorandum of understanding-nya dengan Polri, sudah beberapa kali menegaskan kepada polisi, walaupun Obor Rakyat berbentuk tabloid, media ini bukan karya jurnalistik, bukan media pers seperti yang diklaim Darmawan. Pendapat Dewan Pers sedikitnya didasarkan pada dua pertimbangan: segi yuridis formal dan esensi etika dari isi tulisan-tulisan di Obor Rakyat.

Dari segi yuridis formal, Obor Rakyat tidak memenuhi persyaratan Pasal 9 (ayat 2) dan Pasal 12 UU Pers. Pasal 9 (ayat 2) menegaskan: "Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia." Pasal 12 berbunyi, "Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan."

Penjelasan pasal ini menegaskan, "Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku." Jadi, penjelasan Pasal 12 UU Pers itu sendiri sudah membuka jalan bagi polisi untuk mengusut para pemimpin Obor Rakyat berdasarkan KUHP.

Edisi pertama (5-11 Mei 2014) Obor Rakyat, yang penulis baca, tidak mencantumkan nama badan hukumnya. Petugas Dewan Pers melacak alamat kantor redaksi yang tertera pada masthead tabloid itu, "Jalan Pisangan Timur Raya IX, Jakarta Timur". Namun, ternyata, "Tidak ada Jalan Pisangan Timur Raya IX," kata dia. "Yang ada adalah Jalan Pisangan Timur 9, dan orang-orang di sana bilang Obor Rakyat tidak berkantor di sana." Nomor telepon dan faksimile yang dicantumkan di masthead itu juga palsu. Edisi pertama itu juga tidak mencantumkan nama dan alamat percetakannya, seperti ditetapkan undang-undang.

Dari segi isi, hampir semua tulisan di Obor Rakyat melanggar kode etik jurnalistik, khususnya pasal-pasal 1, 2, 3, 4, dan 8, yang menyangkut iktikad buruk, profesionalisme, menghakimi, dan fitnah. Saat ini, Obor Rakyat diberitakan sudah terbit sampai edisi ketiga tanpa kejelasan mengenai kemungkinan polisi mengenakan pasal-pasal pidana umum.

Kapolri Sutarman dan Irjen Sompie membantah kelambanan polisi menyelesaikan kasus Obor Rakyat ada kaitannya dengan Istana. Setyardi Budiono adalah anggota staf dari Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Derah, Velix Wanggai.

Berbagai tulisan Obor Rakyat mencemarkan nama baik calon presiden Joko Widodo, menghasut masyarakat, menyebar kebencian, yang termasuk dalam ranah Pasal 310 dan 311 serta Pasal 156 dan 157 KUHP (menghasut, menyebar kebencian). Menurut Indonesia Police Watch, tulisan-tulisan di Obor Rakyat itu juga melanggar Pasal 214 UU Pemilihan Presiden.

Pemilik percetakan Obor Rakyat juga bisa diseret ke pengadilan berdasarkan delik percetakan (drukpresdelict), Pasal 483, 484, dan/atau 485 KUHP. Tak jelas mengapa polisi tidak memasukkan delik percetakan dalam pemeriksaan terhadap Obor Rakyat. Padahal, ketika ada kampanye terhadap penerbitan yang dianggap porno beberapa tahun lalu, polisi sampai mengejar-ngejar pengecer dan agen majalah.

Juru bicara Joko Widodo, Anies Baswedan, mengingatkan polisi bahwa Obor Rakyat telah mencabik-cabik nilai dan simbol-simbol persatuan nasional lewat serangan bersifat SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Karena itu, kata dia, polisi tidak boleh berdiam diri. "Berdiam saja," kata dia, "bisa diartikan polisi melakukan pembiaran."

Ada beberapa tulisan yang bersifat memecah-belah pada edisi pertama Obor Rakyat. Misalnya, artikel berjudul "Dari Solo sampai Jakarta, de-Islamisasi ala Jokowi", "Cukong-cukong di belakang Jokowi", "Partai 'salib' di belakang Jokowi." Tabloid setebal 16 halaman itu memuat tulisan penghinaan yang sangat menyakitkan berjudul "Jokowi anak Tionghoa".

Tulisan itu menyebut ibu Jokowi adalah gundik dari Oey Hong Liong, pengusaha yang berganti nama menjadi Nitimiharjo (Ayah Jokowi bernama Notomihardjo). Jokowi sudah membantah semua tuduhan itu, termasuk serangan terhadap pribadinya.

Sampai artikel ini ditulis, belum jelas tindakan tegas macam apa yang akan diambil polisi terhadap Obor Rakyat di tengah pertanyaan besar masyarakat: apa makna MOU Dewan Pers-Polri bila polisi mengabaikan pendapat Dewan Pers?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar