Jumat, 11 Juli 2014

Makroprudensial, Rem Instabilitas

Makroprudensial, Rem Instabilitas

Telisa Aulia Falianty  ;   Ketua Program Studi Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik FEUI
KORAN JAKARTA, 08 Juli 2014
                                                


Krisis global telah memberi banyak pelajaran pemerintah. Salah satunya, tentang pentingnya kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, di antaranya penataan uang muka (DP) pembelian perumahan dan otomotif yang dianggap sebagai kebijakan makroprudensial.

Kebijakan ini mengatur dan mengawasi sistem keuangan dalam rangka mencegah seta mengurangi risiko sistemik. Selain itu, juga untuk mendorong fungsi intermediasi yang seimbang, meningkatkan akses dan efi siensi sistem keuangan (Agusman, 2014).

Menurut Borio (2009), tujuan akhir kebijakan makroprudensial guna menekan biaya krisis. Menurut Working Group G-30 kebijakan makroprudensial untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan memitigasi risiko sistemik yang timbul antar keterkaitan institusi dan kencederungan lembaga keuangan mengikuti siklus ekonomi (pro-cyclical) yang bisa memperbesar bahaya.

Menurut Darsono (2014), kebijakan makroprudensial lebih berorientasi pada kesehatan sistem keuangan secara agregat. Ini berbeda dengan mikroprudensial yang fokus kepada kesehatan individu lembaga keuangan.

Pengawasan makroprudensial sebagai helicopter view dari pengawasan mikroprudensial diperlukan karena pengawasan mikroprudensial tidak cukup untuk mengeliminasi risiko sistemik (Zhou, 2010). Kebijakan makroprudensial juga diharapkan dapat meredam volatilitas makroekonomi. Kebijakan ini diibaratkan rem karena berusaha mengurangi fl uktuasi guncangan dan bersifat kontra-siklus (melawan siklus).

Ketika perekonomian sedang booming dengan aktivitas tinggi, kebijakan makroprudensial berusaha mengerem dengan memperketat likuiditas di sektor keuangan agar dapat mengurangi pertumbuhan terlalu tinggi sehingga tidak overheating.

Sebaliknya, ketika perekonomian sedang resesi dan melambat, kebijakan makroprudensial akan memperlonggar likuiditas sistem keuangan serta membantu pemulihan perekonomian. Ada beberapa tahap pelaksanaan kebijakan makroprudensial. Pertama, pemetaan dan pemantau risiko apakah ada indikasi risiko sistemik. Kemudian pemilihan instrumen kebijakan yang tepat, dilanjutkan dengan tahapan implementasi. Terakhir, dilakukan evaluasi untuk mengetahui keefektifan kebijakan tersebut.

Bank Indonesia (BI), tahun 2014, telah menerbitkan tiga kebijakan makroprudensial: pemberian kredit loan to value, giro wajib minimum dikaitkan fungsi intermediasi, serta suku bunga dasar kredit (SBDK). Tiga ketentuan ini ke depan akan lebih dikembangkan lagi.

BI tengah menggodok beberapa instrumen, di antaranya instrumen untuk mecegah dan mengurangi leverage berlebihan melalui penguatan tambahan permodalan guna mengantisipasi kondisi siklikal. Kemudian, instrumen untuk membatasi konsentrasi eksposur antara lain pengaturan pembatasan pemberian kredit sektor tertentu dan persyaratan central counterparties (CCP).

Contoh, pemberian kredit berlebihan di sektor yang sedang booming seperti CPO dan batu bara bisa menimbulkan risiko sehingga perlu diatur. Misalnya, sebuah bank terlalu eksesif hanya ke sektor tertentu dikhawatirkan bila terjadi guncangan secara tiba- tiba bisa terjadi kredit macet.

Maka, pemberian arahan tentang konsentrasi sektoral sangat penting, tapi tanpa mengurangi potensi bisnis perbankan. Makroprudensial merupakan kebijakan yang bersifat preventif dengan syarat pemahaman yang jelas mengenai mekanisme kerja antar-elemen dalam kerangka financial stability. Selain itu, monitoring risiko dari sistem luas membutuhkan indikator yang baik dan pengetahuan mekanisme transmisi kebijakan tersebut.

“Overlapping”

Kebijakan makroprudensial adalah wewenang BI, sedangkan mikroprudensial berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan. Pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial terpisah seperti ini berpotensi overlapping sehingga menimbulkan konfl ik antarlembaga.

Overlapping harus diwaspadai agar tidak menjadi beban bagi lembaga keuangan dan sistem keuangan. Selain overlapping yang perlu diwaspadai regulatory arbitrage yang mau memanfaatkan overlapping ini. Otoritas makroprudensial harus berkoordinasi karena menciptakan stabilitas sistem keuangan (SSK) bukan hanya tugas BI, tapi juga pemerintah dan pihak lain.

Dalam UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu pasal menyebutkan tentang pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Anggotanya BI, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan OJK.

Forum ini antara lain berfungsi mengevaluasi secara reguler atas SSK termasuk menetapkan kondisi dalam krisis serta mengambil kebijakan dalam rangka pencegahan dan menangani krisis. Tiap-tiap institusi mengemukakan kondisi terkini yang menjadi wewenangnya termasuk rekomendasi kebijakan terkait pencegahan dan penangangan krisis.

Selain koordinasi dalam FKSSK, pada Oktober 2013, muncul keputusan bersama OJK dan BI tentang “Kerja sama dan koordinasi dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas BI dan OJK”. Koordinasi dilakukan dalam sebuah forum Koordinasi Makroprudensial dan Mikroprudensial (FKMM). Koordinasi diharapkan ada langkah antisipatif dan korektif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan (Siregar, 2014).

Kadang-kadang kebijakan makroprudensial dalam beberapa hal menimbulkan pro-kontra. Mereka yang kontra terutama pebisnis yang terkena dampak pelambatan jika terjadi pengereman agar tidak bubbles. BI mengatur besaran loan to value (LTV) kredit kepemilikan rumah (KPR) dan DP kredit kendaraan bermotor (KKB) lewat Surat Edaran (SE) BI No 15/40/DKMP.

Kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen atau DP 30 persen dari harga jual. Rumah kedua 60 persen (DP 40 persen). Rumah ketiga dan seterusnya 50 persen (DP 50 persen).

Meskipun terdapat pro-kontra, baru-baru ini, BI mendapat penghargaan dari majalah The Economist karena dianggap berhasil mengeluarkan Indonesia dari lampu kuning overheating. Dengan kata lain, risiko Indonesia masuk ke overheating semakin berkurang.

Sebelumnya, pada Februari 2014, majalah itu mengapresiasi BI saat menaikkan suku bunga lebih awal. Langkah ini dianggap dapat meredam permintaan dan menurunkan resesi. BI harus dapat menjawab tantangan guna meningkatkan stabilitas keuangan dan merampungkan pekerjaan rumah jangka panjang menurunkan infl asi dan bunga. BI juga harus berpartisipasi menggerakkan sektor riil agar lebih berdaya saing dan sehat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar