Makroprudensial,
Rem Instabilitas
Telisa Aulia Falianty ; Ketua Program Studi Magister
Perencanaan dan Kebijakan Publik FEUI
|
KORAN
JAKARTA, 08 Juli 2014
Krisis global telah memberi banyak pelajaran pemerintah. Salah satunya,
tentang pentingnya kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, di
antaranya penataan uang muka (DP) pembelian perumahan dan otomotif yang
dianggap sebagai kebijakan makroprudensial.
Kebijakan ini mengatur dan mengawasi sistem keuangan dalam rangka
mencegah seta mengurangi risiko sistemik. Selain itu, juga untuk mendorong
fungsi intermediasi yang seimbang, meningkatkan akses dan efi siensi sistem
keuangan (Agusman, 2014).
Menurut Borio (2009), tujuan akhir kebijakan makroprudensial guna
menekan biaya krisis. Menurut Working Group G-30 kebijakan makroprudensial
untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan memitigasi risiko sistemik
yang timbul antar keterkaitan institusi dan kencederungan lembaga keuangan
mengikuti siklus ekonomi (pro-cyclical)
yang bisa memperbesar bahaya.
Menurut Darsono (2014), kebijakan makroprudensial lebih berorientasi
pada kesehatan sistem keuangan secara agregat. Ini berbeda dengan
mikroprudensial yang fokus kepada kesehatan individu lembaga keuangan.
Pengawasan makroprudensial sebagai helicopter
view dari pengawasan mikroprudensial diperlukan karena pengawasan
mikroprudensial tidak cukup untuk mengeliminasi risiko sistemik (Zhou, 2010). Kebijakan makroprudensial
juga diharapkan dapat meredam volatilitas makroekonomi. Kebijakan ini
diibaratkan rem karena berusaha mengurangi fl uktuasi guncangan dan bersifat
kontra-siklus (melawan siklus).
Ketika perekonomian sedang booming dengan aktivitas tinggi, kebijakan
makroprudensial berusaha mengerem dengan memperketat likuiditas di sektor
keuangan agar dapat mengurangi pertumbuhan terlalu tinggi sehingga tidak
overheating.
Sebaliknya, ketika perekonomian sedang resesi dan melambat, kebijakan
makroprudensial akan memperlonggar likuiditas sistem keuangan serta membantu
pemulihan perekonomian. Ada beberapa tahap pelaksanaan kebijakan
makroprudensial. Pertama, pemetaan dan pemantau risiko apakah ada indikasi
risiko sistemik. Kemudian pemilihan instrumen kebijakan yang tepat, dilanjutkan
dengan tahapan implementasi. Terakhir, dilakukan evaluasi untuk mengetahui
keefektifan kebijakan tersebut.
Bank Indonesia (BI), tahun 2014, telah menerbitkan tiga kebijakan
makroprudensial: pemberian kredit loan
to value, giro wajib minimum dikaitkan fungsi intermediasi, serta suku
bunga dasar kredit (SBDK). Tiga ketentuan ini ke depan akan lebih
dikembangkan lagi.
BI tengah menggodok beberapa instrumen, di antaranya instrumen untuk
mecegah dan mengurangi leverage berlebihan melalui penguatan tambahan permodalan
guna mengantisipasi kondisi siklikal. Kemudian, instrumen untuk membatasi
konsentrasi eksposur antara lain pengaturan pembatasan pemberian kredit
sektor tertentu dan persyaratan central
counterparties (CCP).
Contoh, pemberian kredit berlebihan di sektor yang sedang booming
seperti CPO dan batu bara bisa menimbulkan risiko sehingga perlu diatur.
Misalnya, sebuah bank terlalu eksesif hanya ke sektor tertentu dikhawatirkan
bila terjadi guncangan secara tiba- tiba bisa terjadi kredit macet.
Maka, pemberian arahan tentang konsentrasi sektoral sangat penting,
tapi tanpa mengurangi potensi bisnis perbankan. Makroprudensial merupakan
kebijakan yang bersifat preventif dengan syarat pemahaman yang jelas mengenai
mekanisme kerja antar-elemen dalam kerangka financial stability. Selain itu, monitoring risiko dari sistem
luas membutuhkan indikator yang baik dan pengetahuan mekanisme transmisi
kebijakan tersebut.
“Overlapping”
Kebijakan makroprudensial adalah wewenang BI, sedangkan mikroprudensial
berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan. Pengawasan makroprudensial dan
mikroprudensial terpisah seperti ini berpotensi overlapping sehingga menimbulkan konfl ik antarlembaga.
Overlapping harus diwaspadai agar tidak menjadi beban bagi lembaga
keuangan dan sistem keuangan. Selain overlapping yang perlu diwaspadai regulatory arbitrage yang mau
memanfaatkan overlapping ini.
Otoritas makroprudensial harus berkoordinasi karena menciptakan stabilitas
sistem keuangan (SSK) bukan hanya tugas BI, tapi juga pemerintah dan pihak
lain.
Dalam UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu pasal menyebutkan
tentang pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).
Anggotanya BI, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan OJK.
Forum ini antara lain berfungsi mengevaluasi secara reguler atas SSK
termasuk menetapkan kondisi dalam krisis serta mengambil kebijakan dalam
rangka pencegahan dan menangani krisis. Tiap-tiap institusi mengemukakan
kondisi terkini yang menjadi wewenangnya termasuk rekomendasi kebijakan
terkait pencegahan dan penangangan krisis.
Selain koordinasi dalam FKSSK, pada Oktober 2013, muncul keputusan
bersama OJK dan BI tentang “Kerja sama dan koordinasi dalam rangka mendukung
pelaksanaan tugas BI dan OJK”. Koordinasi dilakukan dalam sebuah forum
Koordinasi Makroprudensial dan Mikroprudensial (FKMM). Koordinasi diharapkan
ada langkah antisipatif dan korektif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan
(Siregar, 2014).
Kadang-kadang kebijakan makroprudensial dalam beberapa hal menimbulkan
pro-kontra. Mereka yang kontra terutama pebisnis yang terkena dampak
pelambatan jika terjadi pengereman agar tidak bubbles. BI mengatur besaran loan to value (LTV) kredit kepemilikan
rumah (KPR) dan DP kredit kendaraan bermotor (KKB) lewat Surat Edaran (SE) BI
No 15/40/DKMP.
Kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal
70 persen atau DP 30 persen dari harga jual. Rumah kedua 60 persen (DP 40
persen). Rumah ketiga dan seterusnya 50 persen (DP 50 persen).
Meskipun terdapat pro-kontra, baru-baru ini, BI mendapat penghargaan
dari majalah The Economist karena
dianggap berhasil mengeluarkan Indonesia dari lampu kuning overheating. Dengan kata lain, risiko
Indonesia masuk ke overheating
semakin berkurang.
Sebelumnya, pada Februari 2014, majalah itu mengapresiasi BI saat
menaikkan suku bunga lebih awal. Langkah ini dianggap dapat meredam
permintaan dan menurunkan resesi. BI harus dapat menjawab tantangan guna
meningkatkan stabilitas keuangan dan merampungkan pekerjaan rumah jangka
panjang menurunkan infl asi dan bunga. BI juga harus berpartisipasi
menggerakkan sektor riil agar lebih berdaya saing dan sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar