Membajak
Momentum Ramadan
Benni Setiawan ; Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta,
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
|
SINAR
HARAPAN, 10 Juli 2014
Televisi telah membutakan manusia. Ia telah menjadi Tuhan baru di
tengah kemajuan zaman yang semakin cepat. Meminjam istilah Baudrilliard,
manusia sekarang dipaksa untuk menonton televisi sampai mati. Setiap bangun
tidur hingga tidur lagi selalu saja ada acara dalam televisi, apalagi di
bulan Ramadan. Ketika manusia sudah tertidur, mereka ditemani acara televisi
yang selalu hidup hingga mereka terjaga lagi.
Setiap bulan Ramadan layar televisi kita selalu dipenuhi atribut atau
tanda Islami. Ironisnya yang disebut tanda Islami tidak jauh dari dari
sinetron, lawak, ceramah agama, konser musik, dan reality show. Semua dikemas secara cantik, sehingga banyak orang
terbuai olehnya.
Buaian yang melenakan ini kemudian menyesak memenuhi relung jiwa
sehingga kita tidak sadar. Kita menjadi manusia terlena dan tidak mampu
berbuat apa-apa, hanya menerima (nrimo).
Serangkaian acara televisi bergenre agama pun tetap memenuhi ruang
utama rumah kita. Ironisnya, acara-acara tersebut tidak satu pun mampu
dijadikan teladan ataupun contoh. Acara bergenre religi seakan hanya menjual
ayat-ayat Tuhan dengan harga yang murah.
Lebih lanjut, acara itu tak lebih mengerdilkan peran dan fungsi agama
dalam kehidupan. Hal tersebut semakin diperparah tayangan komedi yang
senantiasa mengiringi waktu sahur dan buka puasa. Seakan berlomba, stasiun
televisi keranjingan menggaet artis untuk kesuksesan acara tersebut.
Namun, acara lawak yang dibawakan jauh dari makna sehat. Artinya,
komedi yang dipertontonkan hanya mengumbar kekerasan dan bahasa-bahasa yang
tak senonoh. Tentu hal itu jauh dari spirit puasa sebagai pendekatan diri
kepada Sang Khalik. Pendek kata, puasa saat ini dipenuhi candaan yang tidak
bermutu dan konsumerisme yang melenakan.
Mitos
Jean Baudrillard, dalam The
Consumer Society: Myths & Structures, menganologikan konsumsi pada
masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat
primitif. Manusia sepanjang masa membutuhkan suatu simbol yang dipuja dan
disembah. Jika dahulu ada pohon, patung, hingga muncul cargo myth, masyarakat masa kini pun punya kultus-kultus sendiri
seperti terhadap kemasan benda-benda, citra (image), televisi, serta terhadap konsep kemajuan (progress) dan pertumbuhan (growth) (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, ed: 2005).
Kegelisahan Baudrillard ini semakin tampak ketika bulan Ramadan.
Masyarakat disuguhkan sistem tanda yang menyesatkan. Contoh nyata adalah
komedi, lawakan, kuis, dan acara-acara yang konon menjadi salah satu teman
ketika sedang menjalankan puasa.
Acara komedi atau lawak yang ditayangkan mengiringi saat sahur dan
menjelang buka puasa merupakan pukulan telak bagi orang berpuasa. Pasalnya,
puasa merupakan sesuatu yang berat dan melelahkan. Jadi, masyarakat perlu
dihibur dengan lelucon yang penuh dengan unsur kekerasan. Padahal, puasa
merupakan ibadah yang menuntut manusia saleh secara individu dan sosial
(dimensi sosial).
Tayangan komedi dalam kemasan Ramadan pun seakan telah dengan sengaja
memukul batang hidung. Betapa dengan guyonan kita akan mampu menjalankan
ibadah puasa dengan baik. Padahal sebagaimana hadis yang sering disampaikan
dai di atas mimbar, bahwa banyak tertawa membuat hati kita keras. Tertawa
secara berlebih, apalagi dengan adegan penuh kekerasan dan pelecehan terhadap
martabat manusia akan menutupi jiwa berpikir jernih. Hati akan mati dan tidak
mampu membedakan antara haq dan bathil (benar dan salah).
Tentunya hal tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat puasa.
Puasa merupakan wahana olah batin melalui menahan untuk tidak makan minum
selama lebih dari 12 jam. Menahan makan dan minum berarti kita mengekang
nafsu untuk tidak terus memasukkan makanan ke dalam perut.
Dengan posisi lapar, seseorang diharapkan mampu berpikir jernih.
Manusia mampu bermetamorfosis menjadi “manusia baru” (humanisasi).
Humanisasi pun bermakna kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta
kondisi hidup bersama semakin manusiawi dan semakin menyejahterakan satu sama
lain karena orang-orangnya juga saling mengembangkan kemanusiaan sesama dan
dirinya. Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling mengerkah sesamanya
sebagai serigala (homo homini lupus)
menuju ke kondisi hidup bersama di mana manusia memperlakukan sesamanya dan
hidup bersama sebagai sahabat (homo
homini socius) (Mudji Sutrisno,
2009).
Jika kita membiarkan raga terkungkung dalam kepalsuan ala tayangan
televisi, keberagamaan kita akan semakin lemah. Puasa yang telah kita jalani
dengan susah payah hanya akan mendapatkan haus dan lapar, tidak lebih dari
itu.
Agama sebagai motor penggerak perubahan sosial pun meminjam istilah Max
Weber (1864-1920) hanya akan menjadi kicauan di dalam lembaran kertas tanpa
mampu mewujud dalam kehidupan nyata.
Pada akhirnya, acara yang tersaji di layar kaca dan sering kali kita
nikmati tak lebih membajak momentum Ramadan untuk kepentingan citra dan uang.
Karena itu, matikan televisi Anda. Kembalilah ke barak intelektualisme
Ramadan dengan tadarus (membaca dan menulis) dan mendekatkan diri kepada
Tuhan dengan berderma kepada sesama hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar