Makna
Kejernihan Bahasa Politik
Triyono Lukmantoro ; Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 10 Juli 2014
"Bahasa
politik dalam arena debat itu jernih
dan transparan sehingga tidak menimbulkan banyak penafsiran"
KEJERNIHAN bahasa politik terbukti memudahkan masyarakat memilih calon
presiden-wakil presiden, dalam pilpres kemarin. Saya ingin sidang pembaca ke
kilas balik debat putaran kelima atau terakhir, 5 Juli lalu, yang
menghadirkan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa dan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla, yang ternyata menghadirkan
fenomena baru dalam penggunaan bahasa politik.
Tema debat ”Pangan, Energi, dan Lingkungan hidup” itu mampu menampilkan
saling serang argumentasi dan data. Tidak ada lagi kesan saling merasa tidak
enak atau rikuh-pakewuh. Bahasa politik yang dipakai dalam arena debat itu
jernih dan transparan sehingga tidak menimbulkan banyak penafsiran.
Simaklah, misalnya bagaimana tuturan Prabowo dalam ”menggugat” JK yang
dianggap setuju dengan kebijakan impor beras. Hal lain yang dapat dilihat
adalah pertanyaan Prabowo yang ditujukan kepada Jokowi yang dinilainya tidak
menyetujui keberadaan koperasi. Semuanya ditanggapi dengan teknik berbahasa
yang terbuka dan rileks. Demikian pula ketika Hatta keliru mengemas
pertanyaan tentang penghargaan bagi kota terbersih. Sebenarnya apa yang
dimaksudkan Hatta adalah Adipura, bukan Kalpataru. Kesalahan pertanyaan itu
tidak mau ditanggapi oleh JK. Suasana yang bergulir sungguh-sungguh meriah
karena perdebatan lebih banyak mengerahkan bahasa politik yang menunjukkan
kejernihan dan keterbukaan.
Dalam perspektif filsafat ilmu, bahasa yang diterapkan dalam perdebatan
lebih banyak menggunakan metode induktif. Penyampaian data, sajian pengalaman
empiris, dan lebih banyak mengandalkan pengamatan di lapangan menjadi muatan
yang utama dalam berargumentasi. Kalau bahasa yang digunakan dalam debat
lebih dominan pada pemakaian metode deduktif, seperti konsep-konsep lebih
ditonjolkan dan berbagai gagasan dikemas dalam abstraksi yang tinggi, tentu
saja menimbulkan kejenuhan. Debat yang menarik adalah adu pendapat yang
menyodorkan berbagai pengalaman di lapangan daripada perang konsep yang
mengikuti secara tekstual literatur perkuliahan.
Karakteristik
Eksplisit
Dapat ditegaskan bahwa ada perubahan mendasar yang ditunjukkan para
calon presiden-wakil presiden dalam memakai bahasa untuk ”menyerang” pesaing.
Inilah penanda yang sangat menonjol pada momentum debat Pilpres 2014.
Biasanya, bahasa politik yang digunakan sangat kentara dengan berbagai
pilihan kata yang sedemikian bercorak eufemistis untuk menunjukkan kehalusan.
Eufemisme itu bertansformasi menjadi keterusterangan yang mudah dibaca oleh
masyarakat awam. Bukan berarti kesopansantunan dalam berbahasa itu telah
lenyap, melainkan karakteristik eksplisit menjadi lebih ditonjolkan.
Peristiwa keterusterangan berbahasa itu kali pertama terjadi ketika JK
bertanya kepada Prabowo berkenaan dengan penyelesaian masalah hak asasi
manusia (HAM) 1997-1998. Pertanyaan Kalla yang sedemikian blak-blakan itu,
kemungkinan saja, di luar dugaan banyak pihak. Boleh jadi substansi materi
tentang pelanggaran HAM akan tetap menjadi bahan yang diperdebatkan. Tapi,
cara bertanya dan bahasa yang digunakan JK sangat terbuka untuk menohok lawan
bicara menjadikan suasana perdebatan riuh. Ada ìtabu politikî yang telah
dilanggar untuk kemajuan politik kita.
Konteks
Tinggi
Prabowo pun menanggapi pertanyaan yang bercorak terus terang itu secara
eksplisit. Prabowo menyatakan bahwa dia paham selama ini tudingan sebagai
sosok yang melanggar HAM telah tertuju kepada dirinya. Jawabannya disampaikan
dalam nada suara bergetar. Khalayak mudah menerka bahwa Prabowo diliputi
desakan emosi. Bahasa nonverbal tanpa kata-kata lebih jujur ketimbang aneka
kebahasaan yang diatur dengan kalimat penuh siasat.
Peristiwa debat yang bersejarah itu pasti tetap akan dikenang. Sebab,
pada saat itulah terjadi keterusterangan dalam berbahasa politik ketika
menyerang pihak lawan. Bahasa yang lazim digunakan untuk mengkritik, atau
bertindak ofensif, terhadap lawan politik adalah sindiran. Itulah bahasa
halus yang secara implisit dianggap bisa secara mujarab untuk menjatuhkan
lawan bicara.
Bukan berarti sindiran telah sirna dalam kamus bahasa politik,
melainkan sindiran tampaknya kurang dianggap tepat atau tidak efektif lagi.
Sindiran hanya memberikan efek serangan politik yang lemah karena memuat
ambiguitas, kekaburan, dan kemenduaan yang tidak jelas pemaknaannya. Sindiran
dipandang sebagai bahasa politik yang terlalu ditutup-tutupi dan memuat aneka
strategi penyerangan yang tidak tajam.
Dalam kajian sosiologis, bahasa politik yang menampilkan watak terus
terang atau menyampaikan maksud secara eksplisit disebut sebagai berkomunikasi
dalam konteks rendah (low context).
Sebaliknya, bahasa politik yang menyodorkan makna dalam wujud eufemistik,
kepura-puraan, dan sindiran disebut sebagai berkomunikasi dalam konteks
tinggi (high context).
Konsep tentang komunikasi pada konteks tinggi dan konteks rendah itu
dikemukakan Edward T Hall untuk merujuk pada bagaimana kata-kata dikemas
dengan teknik tertentu dengan melihat situasi dan nilai-nilai budaya yang
melingkupinya. Konteks rendah dan tinggi itu tidak menunjukkan penilaian yang
bersifat normatif bahwa yang satu dipandang lebih baik daripada yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar