Kamis, 17 Juli 2014

Kerja Bakti untuk Demokrasi

                                   Kerja Bakti untuk Demokrasi

Max Regus  ;   Mahasiswa Doktoral di Belanda
MEDIA INDONESIA,  15 Juli 2014
                                                


`KEMENANGAN rakyat'. Begitu salah satu judul berita Media Indonesia sehari setelah pilpres (10/7). Pertarungan politik memang sudah selesai. Demokrasi modern menggu nakan metode ilmiah untuk mengukur kemungkinan kemenangan politik. Sejumlah lembaga survei yang selama ini sudah biasa mengukur preferensi politik publik telah mengumumkan kemenangan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla melalui quick count. Tentunya, sembari kita menunggu Komisi Pemilihan Umum mengumumkan apa yang disebut dengan real count, pilpres menyisakan sejumlah catatan penting bagi proses pemasyarakatan demokrasi.

Masa senja

Catatan pertama. Hegemoni kepartaian memasuki masa senja. Ketidakpuasan terhadap kinerja produk partai politik di sejumlah lembaga dan level kekuasaan memunculkan rasa muak publik. Perasaan politik publik sudah berada di titik tertinggi sejak masa reformasi belasan tahun silam. Publik tidak mau menutupi kejengkelan yang membesar di dalam benak mereka. Itulah yang menyebabkan publik menunjukkan sikap politik mereka secara jelas terutama dengan mendorong sejumlah kandidat pemimpin yang memiliki catatan positif dalam catatan publik.

Dorongan politik yang diterima Jokowi hingga sekarang ini membuktikan argumentasi tersebut. Kepemimpinan politik nasional, sebelum munculnya Jokowi, memang mengirimkan sinyal kebuntuan, dengan masih hadirnya caloncalon dari generasi masa lalu. Di titik itu, publik mampu menerobos benteng kepartaian dan mendorong tertampungnya calon pemimpin impian rakyat dalam ruang kandidasi pemimpin nasional. Kesediaan petinggi partai politik seperti yang telah ditunjukkan PDIP dan gerbong koalisi dengan memajukan Jokowi merupakan pengelo laan konstruktif terhadap suara batin publik.

Memang, mau tidak mau, fenomena itu akan di anggap sebagai semacam anomali demokrasi. Karena sebetulnya, partai politik seharusnya memunculkan calon pemimpin nasional tanpa perlu kelihatan didikte secara langsung oleh rakyat. Tugas partai politik mencari kandidat terbaik untuk rakyat. Namun, sering kali, ketiadaan sikap tulus secara politik untuk memberikan tempat kepada calon-calon terbaik memaksa rakyat memasuki ruang partai politik dan menunjuk siapa calon pemimpin yang mereka kehendaki.

Rakyat mendukung calon pemimpin yang sudah terbukti mau bekerja bersama rakyat untuk meraih kemakmuran sosial. Itu refleksi penting untuk partai politik sebagai lokomotif demokrasi jika tidak ingin mengalami delegitimasi lebih parah di masa mendatang. Kemunculan Jokowi di level tertinggi politik nasional sebagian besar merupakan karya dan kerja nyata rakyat.

Jari tangan rakyat

Catatan kedua. Sesudah blok Susilo Bambang Yudhoyono bergabung ke kubu Prabowo Hatta, sangat terasa, kubu Jokowi-JK serentak menghadapi jalan terjal mematikan. Semua pasti tahu dukungan the rulling power akan memberikan efek signifikan bagi kubu Prabowo-Hatta. Hanya membuang waktu untuk mendiskusikan kenapa blok SBY memilih bergabung ke kubu Prabowo lalu melukai kenegarawanannya sendiri dengan proklamasi dukungan politik semacam itu. 

Yang menjadi jelas, dukungan kubu SBY membuat kubu Prabowo-Hatta seperti kelebihan berat badan, mengalami obesitas, menjadi bertambah gemuk. Bahkan sambil tutup mata saja, Prabowo-Hatta bisa meraup dukungan sekitar 60% jika partai politik yang menyokong dia bekerja maksimal.

Tapi apa lacur, dengan cerdas, sekian banyak elemen rakyat menjawab sikap politik kubu tambun Prabowo dengan gerakan soliditas rakyat di kubu Jokowi-JK, terutama dengan aksi-aksi yang tidak berhubungan dengan politik secara langsung seperti pentas musik raksasa di GBK beberapa hari sebelum pencoblosan. Memang, terasa ada jual beli pukulan politik yang kelihatannya seimbang. Namun, jawaban cantik kubu Jokowi-JK secepat kilat mengundang gelombang simpati dan menguatkan kembali arus dukungan politik.

Ketika di kubu PrabowoHatta membentang koalisi partai politik yang dilumeri dengan lumpur janji bagi-bagi posisi kekuasaan, di kubu Jokowi-JK sudah terbentuk koalisi jari rakyat yang saling mengait membentuk barikade pertahanan demokratis untuk menyokong calon impian mereka. Banyak nama disematkan kepada jari tangan yang saling mengait itu.

Singkatnya, muncul begitu banyak jaringan relawan yang mendukung Jokowi-JK.
Mereka melakukannya dengan sukarela karena merasa apa yang sedang terjadi akan menentukan nasib seluruh bangsa. Kepedulian yang mengalir dari kesertamertaan spontan. Kemenangan rakyat itu juga memunculkan pesan penting bahwa di masa akhir kepemimpinannya, bagi pendukung Jokowi-JK, SBY mungkin hanya akan dikenal sebagai pendukung Prabowo. Itulah tragedi demokrasi yang telah sekian lama terkunci secara kejam di balik arogansi kekuasaan, ketika para pemimpin tidak mampu berdiri secara bijak untuk melindungi warga mereka.

Kerja bakti

Catatan ketiga. Kehadiran Jokowi di panggung Pilpres 2014 telah menumbuhkan antusiasme politik publik. Gerakan relawan yang mengajak blok golput agar segera mening galkan posisi mereka dan memberikan hak suara dalam pilpres merupakan fenomena menarik tahun ini. Pesan berantai di kalangan rakyat yang saling mengingatkan untuk menggunakan hak suara membentuk arus perubahan politik yang signifikan. Blok golput bahkan datang dengan keterlibatan yang berlipat ganda. Mereka juga ingin memastikan suara mereka bisa menentukan proses perubahan politik dan kekuasaan.

Pilpres 2014 menyimpulkan satu hal yang sangat fundamental dalam politik. Rakyat ialah penentu demokrasi. Rakyat yang teguh pada kata hati akan menikmati pencapaian demokrasi yang menuntun komunitas politik menuju keadaban tata laku kekuasaan. Ketika kekuasaan tidak pernah kehilangan satu hal yang selalu merusak para penguasa, yaitu godaan untuk korup, sikap awas rakyat niscaya tidak memiliki titik akhir.

Keterlibatan rakyat dalam gerbong demokratisasi tidak pernah final meskipun Jokowi sebagai simbol generasi kepemimpinan nasional hampir pasti akan menjadi presiden Indonesia berikutnya. Rakyat harus melanjutkan kerja nyata yang sudah terbangun dalam pilpres ini. Dan, semuanya harus dilakukan melalui karya sukarela politik, kerja bakti untuk demokrasi di Nusantara ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar