Kamis, 17 Juli 2014

Ancaman Tirani Parlemen Lewat Amandemen UU MD3

Ancaman Tirani Parlemen Lewat Amandemen UU MD3

W Riawan Tjandra  ;   Doktor Hukum Administrasi Negara UGM,
Pengajar hukum kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  16 Juli 2014
                                                


DI saat perhatian publik dan para pengamat kritis terfokus pada perhelatan kampanye pilpres, politisi di gedung miring ternyata sedang menjalankan agenda untuk melakukan amendemen UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Amendemen UU MD 3 jika dicermati berdasarkan konstelasi checks and balances sistem ketatanegaraan saat ini merupakan sesuatu yang memang tak mungkin dielakkan (conditio sine qua non), mengingat implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 92/PUU-X/2012 (mengenai reposisi kedudukan dan peranan DPD RI dalam sistem legislasi) dan putusan MK No 35/PUU-XI/2013 (tentang pemangkasan kewenangan Badan Anggaran DPR RI).

Alih-alih mendukung transformasi demokrasi pascapileg dan pilpres, ternyata para legislator justru berpotensi menjadi penjagal demokrasi melalui hasil amendemen UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dengan mengonstruksi pasal-pasal bermasalah di dalamnya. Amendemen terhadap UU MD3 masih kental dengan nuansa transaksi politik untuk menyelamatkan posisi politik dari fraksi yang harus mengalami penciutan jumlah keanggotaan sebagai implikasi kegagalan dalam pemilu legislatif.

Hal itu terlihat dari rumusan Pasal 84 ayat (1), (5) dan (6) UU MD 3 hasil amendemen yang mengatur bahwa pimpinan DPR terdiri atas 1 orang ketua dan 4 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Pimpinan DPR dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. 

Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara. Rumusan itu berbeda dengan Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU MD3 yang sebelumnya menyatakan bahwa pimpinan DPR terdiri atas 1 orang ketua dan 4 orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.

Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR. Dari perubahan ketentuan terkait pengisian jabatan pimpinan DPR tersebut, terlihat sangat jelas upaya untuk menjegal partai pemenang Pemilu Legislatif 2014 kali ini untuk tidak secara otomatis bisa menduduki jabatan pimpinan di DPR. Selain itu, arah amendemen justru sangat kental dengan upaya untuk melanggengkan perilaku koruptif para politisi gedung miring tersebut.

Hal itu terlihat dari dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di satu sisi dan di sisi lain dihilangkannya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang dalam UU MD3 sebelumnya diatur pada Pasal 81 ayat (1) huruf f. Dalam UU hasil amendemen itu, dimunculkan alat kelengkapan baru DPR yang bernama MKD yang diatur berdasarkan Pasal 83 ayat (1) huruf g UU MD 3 hasil amendemen.

Dalam Pasal 119 ayat (2) UU MD3 hasil amendemen diatur bahwa MKD bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Namun, berbeda dengan Badan Kehormatan DPR dalam UU MD3 sebelumnya, MKD diberikan otoritas atributif tak hanya di ranah pemeriksaan pelanggaran kode etik anggota DPR, tapi juga diberikan perluasan wewenang yang menyerupai semi peradilan (quacy judicial).

Hal itu terlihat dari beberapa atribusi wewenang yang diberikan kepada MKD. Pertama, pengaturan mengenai pola dan kewenangan pemeriksaan atas pengaduan pelanggaran kode etik dan peraturan perundang-undangan bagi anggota DPR pada Pasal 131 s/d Pasal 149 UU MD 3 hasil amendemen termasuk pengaturan mengenai klasifikasi alat-alat bukti dalam pemeriksaan tersebut, terlihat semakin mendekati pola persidangan di lingkungan yudikatif.

Kedua, disebutkan bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap anggota DPR dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya yang diatur sebagai bagian dari proteksi hak imunitas anggota DPR pada Pasal 224 ayat (1) s/d ayat (4) UU MD 3 hasil amendemen diharuskan memperoleh persetujuan tertulis dari MKD. Bahkan, dalam hal MKD tidak memberikan persetujuan atas permohonan pemeriksaan terhadap anggota DPR oleh aparat penegak hukum terkait pelaksanaan fungsi dan tugasnya yang diproteksi oleh hak imunitas, surat pemanggilan dari aparat penegak hukum tersebut batal demi hukum.

Meskipun pengaturan terkait perluasan wewenang MKD tersebut terlihat sudah memasuki ranah penegakan hukum, hal itu tak membatalkan proses penegakan hukum terhadap anggota DPR yang suatu saat diduga melaku kan tindak pidana korupsi. Mengingat ranah kewenangan MKD tersebut hanya dibatasi dalam hal pelaksanaan tugas dan fungsi anggota DPR yang diproteksi hak imunitas, seperti hak menyampaikan pertanyaan, pendapat, pernyataan secara lisan maupun tulisan di dalam rapat DPR maupun di luar rapat yang terkait dengan wewenang, fungsi, dan tugas anggota DPR.

Pola pengaturan semacam itu kiranya ingin mengangkat kembali pola pengaturan mengenai apa yang dalam teori hukum ketatanegaraan dikenal dengan Forum Privilegiatum, yaitu hak khusus yang dimiliki peja bat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri. Hak-hak khusus itu di masa lalu berlaku untuk pejabat-pejabat tinggi ter tentu dan diadili Mahkamah Agung (MA) yang dikenal saat berlakunya UUDS 1950 dan Konstitusi RIS.

Salah satu hasil amendemen yang menimbulkan kontroversi publik ialah dihilangkannya keberadaan BAKN sebagai alat perlengkapan DPR. Pembentukan BAKN di masa itu disebabkan mayoritas anggota DPR memiliki kapasitas yang rendah dalam melakukan penelaahan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK terkait pemeriksaan keuangan negara. Dengan adanya BAKN yang diberikan atribusi otoritas penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK tersebut, tugas komisi dalam menindaklanjuti hasil temuan BPK sangat terbantu. 

Dihilangkannya BAKN tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan besar mengenai kapasitas DPR dalam melaksanakan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK terkait pemeriksaan keuangan negara yang mudah dihadapkan dengan isu pelemahan upaya pemberantasan korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar