Kegeraman
Publik terhadap Koruptor
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
45, Makassar
|
SINAR
HARAPAN, 04 Juli 2014
Sekiranya rakyat ditanya
mengenai dampak perilaku koruptor yang begitu enteng menilap uang rakyat
(negara), saya yakin banyak yang menjawab “perlu
hukuman seberat-beratnya”. Bahkan akan lebih banyak lagi yang meminta
koruptor kelas kakap dihukum mati, seperti ketegasan pemerintah Tiongkok yang
memberlakukan hukuman mati bagi koruptor.
Di Negeri Tirai Bambu itu, pemerintah dan aparat hukumnya sama sekali
tidak menoleransi perilaku korup. Tidak ada celah bagi pencuri uang rakyat
untuk mengatur proses hukum agar dijatuhi hukuman ringan, apalagi kabur
keluar negeri bersama hasil korupsinya. Begitulah wujud “kegeraman publik” terhadap koruptor, lantaran serakah mengambil
sesuatu yang bukan haknya.
Tetapi, kegeraman itu tidak berarti sebagai ungkapan “balas dendam”. Itu adalah refleksi
atas perbuatan koruptor yang merampas hak sosial-ekonomi rakyat.
Kita juga berharap, putusan maksimal yang dijatuhkan dapat menimbulkan
rasa takut bagi calon koruptor yang banyak antre di berbagai institusi negara
untuk tidak berani mewujudkan niatnya. Melihat pelaku korupsi yang ditangkap
kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemudian dijatuhi
pidana oleh hakim, semuanya orang-orang berilmu tinggi, malah ada yang
bergelar profesor, berkekuasaan, dan bergaji besar.
Mulai kepala daerah dan pejabat eselon di bawahnya, anggota DPRD dan
DPR, ketua umum partai politik (parpol), pengusaha hitam, sampai kelas
menteri menjadi indikator bahwwa korupsi semakin tak terbendung. Sekiranya
uang negara tidak dikorup, boleh jadi hak-hak rakyat memperoleh kehidupan
yang lebih baik terpenuhi.
Hukuman
Maksimal
Semuanya karena “serakah” sebab mereka umumnya berpenghasilan jauh
lebih baik ketimbang pegawai kebanyakan. Jika sifat serakah tidak segera
dihentikan, ke depan uang negara dalam APBN-APBD semakin tidak aman dari
tangan-tangan jahil.
Oleh karena itu, di tengah hiruk-pikuk kampanye pemilihan presiden
(pilpres), sebaiknya rakyat disadarkan tidak cepat terbawa arus rayuan gombal
tim kampanye calon presiden (capres) yang tidak bersensitivitas antikorupsi.
Dalam debat capres, belum terlihat visi-misi yang meyakinkan dalam
memberantas korupsi. Tidak ada satu capres yang berani menghapus pasal-pasal
dalam Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP yang melemahkan kewenangan KPK.
Tetapi, kita masih punya harapan karena hakim pengadilan tindak pidana
korupsi (tipikor) mulai menjatuhkan hukuman maksimal. Hukuman penjara seumur
hidup dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/6), terhadap terdakwa
Akil Mochtar.
Vonis penjara seumur hidup diberikan sesuai tuntutan jaksa penuntut
umum KPK. Namun, hakim menolak tuntutan jaksa agar terdakwa membayar denda Rp
10 miliar. Hakim berpendapat, Akil sudah dijatuhi hukuman maksimal sehingga
denda bisa dihapus. Hakim juga tidak mengabulkan tuntutan mencabut hak
politik Akil untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum (pemilu).
Suap yang diterima Akil saat menangani sengketa hasil pemilihan kepala
daerah (pilkada) memang tidak secara langsung mengambil uang negara. Tetapi,
ujung-ujungnya juga akan merugikan keuangan negara. Saat kepala daerah yang
mestinya tidak memenangi pemilihan kemudian dimenangkan, saat terpilih
diyakini ia akan mengembalikan uangnya dari dana APBD secara tidak halal.
Dikaji dari sudut mana pun, putusan penjara seumur hidup sangat layak
ditimpakan bagi Akil. Kesalahannya yang terbukti di depan sidang pengadilan
patut dibalas dengan hukuman superberat.
Sebagai hakim dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), perbuatan Akil selain
bertentangan dengan gerakan antikorupsi, dipandang sudah merusak citra MK
sebagai lembaga pengadil yang seharusnya menjaga hak-hak konstitusional warga
negara. Akil seharusnya menjadi sosok tegar untuk menegakkan keadilan dalam
setiap proses demokrasi.
Langkah
Progresif
Inilah tuntutan KPK dan putusan hakim terberat yang pernah diterapkan
sepanjang sejarah pemberantasan korupsi dalam negeri ini. Sebelumnya, hakim
hanya memvonis paling tinggi 20 tahun penjara pada 2008, terhadap mantan
jaksa Urip Tri Gunawan. Padahal, selalu didengungkan bahwa korupsi adalah
kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Internasional PBB di
Vienna, 7 Oktober 2013.
Menghadapinya harus dengan upaya luar biasa pula. Tidak mungkin kita
bisa memenangi perang besar terhadap korupsi dengan cara-cara biasa. Apalagi,
Undang-Undang (UU) Pemberantasan Korupsi memberi ruang bagi aparat hukum
melakukan langkah progresif, misalnya tuntutan maksimal berupa hukuman seumur
hidup, denda yang besar, dan pemiskinan (meski bukan istilah dalam UU
Korupsi) dengan menerapkan UU Pencucian Uang.
Langkah progresif dalam memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa
harus terus digelorakan. Sangat wajar bagi penuntut umum berpikir “hitam
putih” dengan menuntut hukuman maksimal jika yakin semua dakwaannya terbukti
dalam sidang pengadilan. Kita berharap, vonis berat bisa menjadi suplemen
penambah energi bagi semua penegak hukum di daerah untuk lebih garang
menindak pelaku korupsi.
Tetapi, hukuman maksimal tidak harus diapresiasi berlebihan sebab dalam
UU Korupsi memang sudah diatur seperti itu. Bahkan hukuman mati juga diatur,
tetapi punya syarat seperti ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor
31/1999 diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Agar bisa dihukum mati, harus memenuhi syarat bahwa korupsi dilakukan
sewaktu negara dalam keadaan bahaya, waktu terjadi bencana alam nasional,
karena pengulangan korupsi (residivis), atau saat negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter.
Putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta barulah putusan tingkat
pertama, boleh jadi akan berlanjut sampai ke Mahkamah Agung. Hakim tingkat
banding dan kasasi tentu akan menilai fakta-fakta yang terungkap dalam
sidang, hukum yang diterapkan sesuai kesalahan terdakwa atau tidak.
Hakim memiliki kemerdekaan dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan
sehingga tidak elok jika menggiring hakim kepada pemikiran tertentu. Namun,
hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Publik geram terhadap koruptor karena menganggap
perbuatannya pelan-pelan akan membunuh mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar