Senin, 07 Juli 2014

Kegeraman Publik terhadap Koruptor

                      Kegeraman Publik terhadap Koruptor

Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINAR HARAPAN,  04 Juli 2014
                                                


 Sekiranya rakyat ditanya mengenai dampak perilaku koruptor yang begitu enteng menilap uang rakyat (negara), saya yakin banyak yang menjawab “perlu hukuman seberat-beratnya”. Bahkan akan lebih banyak lagi yang meminta koruptor kelas kakap dihukum mati, seperti ketegasan pemerintah Tiongkok yang memberlakukan hukuman mati bagi koruptor.

Di Negeri Tirai Bambu itu, pemerintah dan aparat hukumnya sama sekali tidak menoleransi perilaku korup. Tidak ada celah bagi pencuri uang rakyat untuk mengatur proses hukum agar dijatuhi hukuman ringan, apalagi kabur keluar negeri bersama hasil korupsinya. Begitulah wujud “kegeraman publik” terhadap koruptor, lantaran serakah mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Tetapi, kegeraman itu tidak berarti sebagai ungkapan “balas dendam”. Itu adalah refleksi atas perbuatan koruptor yang merampas hak sosial-ekonomi rakyat.

Kita juga berharap, putusan maksimal yang dijatuhkan dapat menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor yang banyak antre di berbagai institusi negara untuk tidak berani mewujudkan niatnya. Melihat pelaku korupsi yang ditangkap kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemudian dijatuhi pidana oleh hakim, semuanya orang-orang berilmu tinggi, malah ada yang bergelar profesor, berkekuasaan, dan bergaji besar.

Mulai kepala daerah dan pejabat eselon di bawahnya, anggota DPRD dan DPR, ketua umum partai politik (parpol), pengusaha hitam, sampai kelas menteri menjadi indikator bahwwa korupsi semakin tak terbendung. Sekiranya uang negara tidak dikorup, boleh jadi hak-hak rakyat memperoleh kehidupan yang lebih baik terpenuhi.

Hukuman Maksimal

Semuanya karena “serakah” sebab mereka umumnya berpenghasilan jauh lebih baik ketimbang pegawai kebanyakan. Jika sifat serakah tidak segera dihentikan, ke depan uang negara dalam APBN-APBD semakin tidak aman dari tangan-tangan jahil.

Oleh karena itu, di tengah hiruk-pikuk kampanye pemilihan presiden (pilpres), sebaiknya rakyat disadarkan tidak cepat terbawa arus rayuan gombal tim kampanye calon presiden (capres) yang tidak bersensitivitas antikorupsi.

Dalam debat capres, belum terlihat visi-misi yang meyakinkan dalam memberantas korupsi. Tidak ada satu capres yang berani menghapus pasal-pasal dalam Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP yang melemahkan kewenangan KPK.

Tetapi, kita masih punya harapan karena hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) mulai menjatuhkan hukuman maksimal. Hukuman penjara seumur hidup dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/6), terhadap terdakwa Akil Mochtar.

Vonis penjara seumur hidup diberikan sesuai tuntutan jaksa penuntut umum KPK. Namun, hakim menolak tuntutan jaksa agar terdakwa membayar denda Rp 10 miliar. Hakim berpendapat, Akil sudah dijatuhi hukuman maksimal sehingga denda bisa dihapus. Hakim juga tidak mengabulkan tuntutan mencabut hak politik Akil untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum (pemilu).

Suap yang diterima Akil saat menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) memang tidak secara langsung mengambil uang negara. Tetapi, ujung-ujungnya juga akan merugikan keuangan negara. Saat kepala daerah yang mestinya tidak memenangi pemilihan kemudian dimenangkan, saat terpilih diyakini ia akan mengembalikan uangnya dari dana APBD secara tidak halal.

Dikaji dari sudut mana pun, putusan penjara seumur hidup sangat layak ditimpakan bagi Akil. Kesalahannya yang terbukti di depan sidang pengadilan patut dibalas dengan hukuman superberat.

Sebagai hakim dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), perbuatan Akil selain bertentangan dengan gerakan antikorupsi, dipandang sudah merusak citra MK sebagai lembaga pengadil yang seharusnya menjaga hak-hak konstitusional warga negara. Akil seharusnya menjadi sosok tegar untuk menegakkan keadilan dalam setiap proses demokrasi.

Langkah Progresif

Inilah tuntutan KPK dan putusan hakim terberat yang pernah diterapkan sepanjang sejarah pemberantasan korupsi dalam negeri ini. Sebelumnya, hakim hanya memvonis paling tinggi 20 tahun penjara pada 2008, terhadap mantan jaksa Urip Tri Gunawan. Padahal, selalu didengungkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013.

Menghadapinya harus dengan upaya luar biasa pula. Tidak mungkin kita bisa memenangi perang besar terhadap korupsi dengan cara-cara biasa. Apalagi, Undang-Undang (UU) Pemberantasan Korupsi memberi ruang bagi aparat hukum melakukan langkah progresif, misalnya tuntutan maksimal berupa hukuman seumur hidup, denda yang besar, dan pemiskinan (meski bukan istilah dalam UU Korupsi) dengan menerapkan UU Pencucian Uang.

Langkah progresif dalam memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus terus digelorakan. Sangat wajar bagi penuntut umum berpikir “hitam putih” dengan menuntut hukuman maksimal jika yakin semua dakwaannya terbukti dalam sidang pengadilan. Kita berharap, vonis berat bisa menjadi suplemen penambah energi bagi semua penegak hukum di daerah untuk lebih garang menindak pelaku korupsi.

Tetapi, hukuman maksimal tidak harus diapresiasi berlebihan sebab dalam UU Korupsi memang sudah diatur seperti itu. Bahkan hukuman mati juga diatur, tetapi punya syarat seperti ditegaskan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 31/1999 diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Agar bisa dihukum mati, harus memenuhi syarat bahwa korupsi dilakukan sewaktu negara dalam keadaan bahaya, waktu terjadi bencana alam nasional, karena pengulangan korupsi (residivis), atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta barulah putusan tingkat pertama, boleh jadi akan berlanjut sampai ke Mahkamah Agung. Hakim tingkat banding dan kasasi tentu akan menilai fakta-fakta yang terungkap dalam sidang, hukum yang diterapkan sesuai kesalahan terdakwa atau tidak.

Hakim memiliki kemerdekaan dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan sehingga tidak elok jika menggiring hakim kepada pemikiran tertentu. Namun, hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Publik geram terhadap koruptor karena menganggap perbuatannya pelan-pelan akan membunuh mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar