Senin, 07 Juli 2014

Kapolri Tidak Lagi Galau

                                        Kapolri Tidak Lagi Galau

Karyudi Sutajah Putra  ;   Tenaga Ahli DPR
SUARA MERDEKA,  05 Juli 2014
                                                


 “Anggapan lamban menangani kasus Obor Rakyat, kita baca saja sebagai upaya Kapolri menjaga netralitas”

TENTU kurang elok bila ada yang mempersepsikan Polri sebagai lame duck (bebek lumpuh) hanya gara-gara ada kesan lamban dalam menangani perkara Obor Rakyat. Yang mungkin terjadi adalah Kapolri Jenderal Sutarman mengalami kegalauan akibat situasi politik saat ini.

Namun, akhirnya Kapolri tak lagi galau. Dua penggagas Obor Rakyat, Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyossa, Kamis (3/7/14) malam, ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan Pasal 18 Ayat (3) jo Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Argumennya adalah penerbitan tabloid itu tak dilakukan sebuah badan hukum.

Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyossa dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh kuasa hukum tim pemenangan capres-cawapres, Joko Widodo-Jusuf Kalla, dengan tuduhan penistaan dan penghinaan, dengan nomor laporan LP/619/VI/2014/Bareskrim tanggal 16 Juni 2014.

Menanggapi laporan itu, Kapolri pada 17 Juni 2014 menyatakan, Obor Rakyat bisa ditindak karena disinyalir melanggar UU tentang Pers, tindak pidana umum, dan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden (Pilpres).

Namun, dua minggu kemudian Kapolri membuat pernyataan yang mengejutkan publik. Di Istana Negara, Jakarta, 30 Juni 2014, Sutarman mengaku belum bisa menemukan pelanggaran pidana atas penerbitan dan peredaran Obor Rakyat. Ia masih bimbang meski Dewan Pers tegas menyatakan Obor Rakyat bukanlah produk jurnalistik, dan Bawaslu pun menyebut penerbitan Obor Rakyat sebagai perbuatan pidana.

Mengutip ketentuan Pasal 9 Ayat (2) dan Pasal 18 UU tentang Pers, Sutarman menyatakan, setiap penerbitan harus berbentuk badan hukum, sedangkan Obor Rakyat tidak berbadan hukum, sehingga hanya melanggar UU tentang Pers yang hukumannya denda ”hanya” Rp100 juta. ”Kalau seperti ini siapa yang menyidik? Polisi atau bagaimana,” katanya.

Pria kelahiran Sukoharjo itu bahkan terkesan lepas tangan dengan menyatakan tidak semua hal menjadi tanggung jawab polisi. Waktu itu ia mengatakan, tiap kasus, harus ditangani aparat atau lembaga yang tepat, sesuai pelanggaran yang terjadi. Hingga hari itu, katanya, tak ada pengakuan dan bukti Obor Rakyat bagian dari pelanggaran pidana pilpres.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan pada 25 Juni 2014 menegaskan Obor Rakyat, yang berisi kampanye hitam dan fitnah terhadap Jokowi, bukanlah produk pers. Menurut mantan Ketua MA itu, ada dua kriteria untuk melihat tabloid tersebut bukan produk pers.

Dua Kriteria

Pertama; dari segi penyelenggaranya. Menurut UU Pers, penyelenggara pers harus berbadan hukum, sementara Obor Rakyat tak berbadan hukum. Kedua; dari sisi content, di mana seharusnya content media memenuhi syarat-syarat jurnalistik seperti harus faktual, berimbang, tidak memfitnah, tidak menghakimi, dan cover both side. Karena bukan produk pers, kata Bagir, maka Dewan Pers tak memiliki wewenang menghentikan publikasnya. Hal itu urusan polisi.

Bila kita cermati, sikap Kapolri yang sempat surut itu berbanding lurus dengan naiknya elektabilitas Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, capres-cawapres yang bisa dianggap  ”diuntungkan” oleh penerbitan Obor Rakyat ini. Pun dengan pergeseran dukungan Partai Demokrat, the rule party, kepada Prabowo-Hatta. Bila sebelumnya Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan netral, Senin (30/6/14), Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan mengumumkan SBY menginstruksikan seluruh kadernya untuk memilih Prabowo-Hatta pada Pilpres 9 Juli 2014.

Sempat ada prasangka Kapolri terjebak sindrom ”mendukung yang akan menang” seperti kebanyakan orang awam. Juga sempat ada kecurigaan dia menerapkan ”politik burung unta” di mana ketika melihat bahaya ia menyembunyikan kepalanya, dan bila bahaya sudah lewat ia akan nongol lagi. Namun, kecurigaan itu kini tertepis sudah. Bahkan Kapolri perlu diapresiasi, meskipun apresiasi tersebut sangat terbatas, karena dengan hanya menerapkan kedua pasal tersebut maka kedua tersangka hanya akan kena denda Rp100 juta, tanpa ada ancaman kurungan.

Anggapan lamban menangani kasus Obor Rakyat, kita baca saja sebagai upaya Kapolri menjaga independensi dan netralitas Polri dalam pilpres, sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menyatakan, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Polri tak mau terlibat politik belah bambu, menginjak yang satu untuk mengangkat yang lain, seperti dilakukan kedua kubu capres. Apalagi pada 2 Juni 2014 SBY menekankan agar TNI/Polri bersikap netral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar