Nazi,
Fasisme, dan Pilpres 2014
Triyono Lukmantoro ; Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro, Semarang
|
SINAR
HARAPAN, 04 Juli 2014
Awalnya adalah sebuah klip video untuk pasangan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa. Dalam video itu dilantunkan ajakan memilih calon presiden dan calon
wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 1. Irama yang benar-benar persis
lagu “We Will Rock You” dari Queen
menghentak. Hal yang membuat dunia perpolitikan geger dan terhenyak adalah
tampilan Ahmad Dhani yang mengenakan seragam militer guna menunjukkan makna
kegagahan.
Kalau orang lekas tanggap, itu bukan seragam tentara biasa. Itulah
jenis pakaian yang dikenakan komandan pasukan khusus Nazi Jerman, Heinrich
Himmler. Ada ikon Nazi dan fasisme dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Kecaman bertubi-tubi muncul. Berbagai media massa menyoroti intensif
video itu. Der Spiegel yang
berbasis di Jerman dan Time yang berakar di Amerika Serikat (AS) pun mengecam
video tersebut.
Sejumlah pihak mengkritik keras bergulirnya sosok yang menyuarakan
spirit Nazi dan fasisme. Tapi, Ahmad Dhani bergeming. Tanpa rasa bersalah,
apalagi meminta maaf, Dhani ganti menyerang para pengecamnya sambil
mengenakan seragam ala Heinrich Himmler. Apakah ia tidak paham siapa Nazi dan
apa pula fasisme? Kalau Dhani selalu mencibir pengetahuan kaum awam yang
dianggapnya rendah, alangkah ajaib pula ia tidak paham tentang Nazi dan
fasisme serta bahaya yang dibawanya.
Berlainan masalahnya dengan pemain dari kesebelasan AEK Athens Yunani,
Giogios Katidis, yang memberikan salut ala Nazi setelah mencetak gol pada
2013. Katidis secara jujur menyatakan tidak paham arti salut itu. Tapi,
bangsa Yunani secara tegas mengecam tindakan Katidis. Ia dihukum seumur
hidup, tidak boleh memperkuat tim nasional Yunani. Bangsa Yunani paham siapa
Nazi dan apa saja perbuatan terkutuk yang telah ditimbulkannya. Tidak ada
ampun bagi Katidis.
Tentu saja, Dhani bukanlah Katidis. Ia selalu mengklaim diri sebagai
orang yang lebih unggul dan pintar dari siapa pun, termasuk ketika mendukung
Prabowo-Hatta.
Namun, dampak video itu tidak sekadar berurusan dengan masalah dalam
lingkungan gosip para selebritas. Karena video itu menyuarakan kepentingan
politik dari Prabowo-Hatta, dengan mudah diasosiasikan bahwa yang diungkapkan
Dhani telah disetujui Prabowo-Hatta. Bahkan dapat pula diberikan penegasan,
video itu merupakan teknik menggelorakan semangat ideologis Prabowo-Hatta dan
partai-partai yang menyokongnya.
Kalaupun kemudian capres-cawapres nomor urut 1 itu menyatakan video itu
berasal dari relawan, apakah ada koordinasi yang tidak baik di sana? Satu hal
yang jelas, video yang benar-benar menjiplak irama lagu “We Will Rock You” tanpa mendapatkan otorisasi dari gitaris
Queen, Brian May, itu telah mengumandangkan spirit Nazi dan fasisme. Apakah
pembuatan video itu dilandasi ketidakpemahaman tentang Nazi dan fasisme atau
cuma kegenitan gaya berpakaian ala tentara. Itu adalah problem sekunder
belaka.
Propaganda
Canggih
Nazi dan fasisme adalah dua hal yang saling mengandaikan. Nazi
merupakan partai politik (parpol) dari kalangan pekerja yang terdapat di
Jerman, muncul antara 1919-1945. Dalam pandangan politik Nazi ketika itu,
Jerman sedang mengalami pembusukan. Program untuk mengatasi kemerosotan
derajat itu adalah membuat sebuah ciptaan “manusia baru”.
Konstruksi mitos yang digulirkan secara deras oleh Partai Nazi adalah
aryanisme, antiliberalisme, antikomunisme, rasisme biologis, dan paternalisme
sosial yang ketat (Matt Fieldman, “Nazism”, dalam Cyprian P Balmires [ed], World
Fascism: A Historical Encyclopedia, 2006). Tentu saja, Himmler terlibat
program-program penciptaan “manusia baru” itu dengan menjalankan teror dan
pembantaian terhadap manusia jenis lain yang tidak termasuk ke imajinasi
Nazi.
Sadar atau tidak, atau akibat terlalu bersemangat, slogan kemunculan
atau kebangkitan Indonesia yang berada dalam kebusukan dan keterpurukan
gampang dicuatkan. Itulah propaganda canggih yang secara radikal menyemburkan
semangat nasionalisme yang membara.
Tipe “manusia baru” pun digambarkan lahir sebagai figur yang mampu
menandingi bangsa-bangsa lain, setidaknya di kawasan Asia. Namun, ada yang
luput dari perhatian dalam spirit ideologis yang serbamembakar itu. Program
kebangkitan dari kehancuran atau kehadiran “manusia baru” yang lahir dari
kebusukan, itu tidak lebih mitos belaka. Mitos itu setidaknya lahir dari
suatu paranoid (rasa takut kepada sesuatu yang tidak ada) bahwa Indonesia
sedang menjadi bangsa paria.
Mitos selalu menunjukkan kesadaran palsu yang membius massa. Sementara
itu, yang disebut sebagai kesadaran palsu adalah kepentingan segelintir elite
yang mampu disuarakan secara membahana dan menikam kejernihan berpikir
kebanyakan manusia.
Partai-partai berhimpun dalam koalisi dan membentuk demagogi, bersuara
seakan-akan berselaras dengan aspirasi mayoritas masyarakat. Rakyat
berjingkrak dan bergembira karena mereka seakan mampu dibangkitkan dari tidur
panjang. Lebih dari itu, rakyat seolah mampu digugah karena mereka hendak
diformat ulang sebagai “manusia baru”.
Tapi, itu semua mitos ala Partai Nazi yang diciptakan oleh kehebatan
musikus. Indonesia saat ini bukanlah bangsa yang sedang mengalami kehancuran
dan pembusukan. Indonesia saat ini adalah bangsa yang memiliki banyak
prestasi dan berbagai kehebatan. Indonesia tidak memerlukan sekumpulan partai
yang hanya bisa menyuarakan kebangkitan, namun ternyata hanya memuat
kepalsuan.
Menyelubungi
Otoritarianisme
Mitos tentang “manusia baru” yang bangkit dari kehancuran dan kebusukan
di bawah kepemimpinan tegas adalah ekspresi fasisme. Formula yang dihadirkan
memang halus dan sangat membius. Tapi, itulah topeng fasisme yang lihai dalam
menyelubungi watak otoritarianismenya.
Fasisme selalu memompakan isu kesatuan. Fasisme berasal dari kata Latin
fasces, berarti ikatan
serpihan-serpihan yang ujungnya adalah kepala kapak.
Fasces adalah penanda otoritas Negara
Roma. Fasces lantas diadopsi
sebagai simbol kesatuan sosial (ikatan) yang berada di bawah kepemimpinan
politik (kapak). Karakteristik-karakteristik yang terdapat dalam fasisme
adalah kultus kepada pemimpin, hormat terhadap organisasi kolektif, kecintaan
kepada simbol-simbol yang diasosiasikan dengan seragam, parade, dan suatu
kedisiplinan tentara (Roger Scruton,
The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought: Third Edition, 2007).
Fasisme itu demikian pintar menimbulkan pesona. Hasratnya memang amat
mudah bertaut dengan kehendak massa. Pemimpin yang tegas, berani,
berdisiplin, dan disertai aura berkilauan tentang kehebatan sebarisan pasukan
benar-benar telah dihadirkan dalam fasisme.
Kebebasan rela ditundukkan guna mendapatkan panggung tentang
kebersamaan. Apalagi, parade tentara berkuda telah disodorkan bertubi-tubi di
hadapan massa yang hanya bisa bersetuju dengannya. Semua itu adalah aneka
simbol fasisme yang telah dipertontonkan. Lebih menggelegar pula suaranya
ketika fasisme menggaet para selebritas, terlebih lagi kalangan penyanyi yang
memiliki jutaan penggemar. Fasisme mendapatkan sokongan yang sempurna karena
berhasil membius massa dari segi rona ideologi dan tontonan yang mengagumkan.
Namun, massa harus menyadari, fasisme adalah ideologi yang menunjukkan
perwatakan otokratis. Kalangan penganut fasisme tidak sudi mendengar berbagai
suara yang berbeda dengan kehendaknya. Inilah rezim otoriter yang bisa
memanfaatkan segala kedok untuk menindas rakyat.
Fasisme bisa membungkam aspirasi kebanyakan masyarakat atas nama
keutuhan bangsa. Paham ini juga bisa membunuh daya kritis atas nama sang
pemimpin yang harus dijaga nama baiknya.
Fasisme dapat pula mencengkeram leher rakyat atas nama kemurnian ajaran
agama. Lebih dari itu semua, fasisme adalah musuh sejati demokrasi.
Siapa pun yang bangga dan malahan rela menyerahkan kemerdekaannya
kepada pemimpin fasis, berarti telah membodohi diri dan mengerdilkan akal
sehatnya. Lebih buruk lagi jika masyarakat sengaja memilih pemimpin bertipe
fasis yang menjanjikan kebangkitan bangsa dari yang disebut sebagai
kebusukan. Itu adalah paranoid yang sempurna ala rezim fasis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar