Senin, 07 Juli 2014

Nazi, Fasisme, dan Pilpres 2014

                                Nazi, Fasisme, dan Pilpres 2014

Triyono Lukmantoro  ;   Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro, Semarang
SINAR HARAPAN,  04 Juli 2014
                                                


Awalnya adalah sebuah klip video untuk pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dalam video itu dilantunkan ajakan memilih calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 1. Irama yang benar-benar persis lagu “We Will Rock You” dari Queen menghentak. Hal yang membuat dunia perpolitikan geger dan terhenyak adalah tampilan Ahmad Dhani yang mengenakan seragam militer guna menunjukkan makna kegagahan.

Kalau orang lekas tanggap, itu bukan seragam tentara biasa. Itulah jenis pakaian yang dikenakan komandan pasukan khusus Nazi Jerman, Heinrich Himmler. Ada ikon Nazi dan fasisme dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Kecaman bertubi-tubi muncul. Berbagai media massa menyoroti intensif video itu. Der Spiegel yang berbasis di Jerman dan Time yang berakar di Amerika Serikat (AS) pun mengecam video tersebut.

Sejumlah pihak mengkritik keras bergulirnya sosok yang menyuarakan spirit Nazi dan fasisme. Tapi, Ahmad Dhani bergeming. Tanpa rasa bersalah, apalagi meminta maaf, Dhani ganti menyerang para pengecamnya sambil mengenakan seragam ala Heinrich Himmler. Apakah ia tidak paham siapa Nazi dan apa pula fasisme? Kalau Dhani selalu mencibir pengetahuan kaum awam yang dianggapnya rendah, alangkah ajaib pula ia tidak paham tentang Nazi dan fasisme serta bahaya yang dibawanya.

Berlainan masalahnya dengan pemain dari kesebelasan AEK Athens Yunani, Giogios Katidis, yang memberikan salut ala Nazi setelah mencetak gol pada 2013. Katidis secara jujur menyatakan tidak paham arti salut itu. Tapi, bangsa Yunani secara tegas mengecam tindakan Katidis. Ia dihukum seumur hidup, tidak boleh memperkuat tim nasional Yunani. Bangsa Yunani paham siapa Nazi dan apa saja perbuatan terkutuk yang telah ditimbulkannya. Tidak ada ampun bagi Katidis.

Tentu saja, Dhani bukanlah Katidis. Ia selalu mengklaim diri sebagai orang yang lebih unggul dan pintar dari siapa pun, termasuk ketika mendukung Prabowo-Hatta.

Namun, dampak video itu tidak sekadar berurusan dengan masalah dalam lingkungan gosip para selebritas. Karena video itu menyuarakan kepentingan politik dari Prabowo-Hatta, dengan mudah diasosiasikan bahwa yang diungkapkan Dhani telah disetujui Prabowo-Hatta. Bahkan dapat pula diberikan penegasan, video itu merupakan teknik menggelorakan semangat ideologis Prabowo-Hatta dan partai-partai yang menyokongnya.

Kalaupun kemudian capres-cawapres nomor urut 1 itu menyatakan video itu berasal dari relawan, apakah ada koordinasi yang tidak baik di sana? Satu hal yang jelas, video yang benar-benar menjiplak irama lagu “We Will Rock You” tanpa mendapatkan otorisasi dari gitaris Queen, Brian May, itu telah mengumandangkan spirit Nazi dan fasisme. Apakah pembuatan video itu dilandasi ketidakpemahaman tentang Nazi dan fasisme atau cuma kegenitan gaya berpakaian ala tentara. Itu adalah problem sekunder belaka.

Propaganda Canggih

Nazi dan fasisme adalah dua hal yang saling mengandaikan. Nazi merupakan partai politik (parpol) dari kalangan pekerja yang terdapat di Jerman, muncul antara 1919-1945. Dalam pandangan politik Nazi ketika itu, Jerman sedang mengalami pembusukan. Program untuk mengatasi kemerosotan derajat itu adalah membuat sebuah ciptaan “manusia baru”.

Konstruksi mitos yang digulirkan secara deras oleh Partai Nazi adalah aryanisme, antiliberalisme, antikomunisme, rasisme biologis, dan paternalisme sosial yang ketat (Matt Fieldman, “Nazism”, dalam Cyprian P Balmires [ed], World Fascism: A Historical Encyclopedia, 2006). Tentu saja, Himmler terlibat program-program penciptaan “manusia baru” itu dengan menjalankan teror dan pembantaian terhadap manusia jenis lain yang tidak termasuk ke imajinasi Nazi.

Sadar atau tidak, atau akibat terlalu bersemangat, slogan kemunculan atau kebangkitan Indonesia yang berada dalam kebusukan dan keterpurukan gampang dicuatkan. Itulah propaganda canggih yang secara radikal menyemburkan semangat nasionalisme yang membara.
Tipe “manusia baru” pun digambarkan lahir sebagai figur yang mampu menandingi bangsa-bangsa lain, setidaknya di kawasan Asia. Namun, ada yang luput dari perhatian dalam spirit ideologis yang serbamembakar itu. Program kebangkitan dari kehancuran atau kehadiran “manusia baru” yang lahir dari kebusukan, itu tidak lebih mitos belaka. Mitos itu setidaknya lahir dari suatu paranoid (rasa takut kepada sesuatu yang tidak ada) bahwa Indonesia sedang menjadi bangsa paria.

Mitos selalu menunjukkan kesadaran palsu yang membius massa. Sementara itu, yang disebut sebagai kesadaran palsu adalah kepentingan segelintir elite yang mampu disuarakan secara membahana dan menikam kejernihan berpikir kebanyakan manusia.

Partai-partai berhimpun dalam koalisi dan membentuk demagogi, bersuara seakan-akan berselaras dengan aspirasi mayoritas masyarakat. Rakyat berjingkrak dan bergembira karena mereka seakan mampu dibangkitkan dari tidur panjang. Lebih dari itu, rakyat seolah mampu digugah karena mereka hendak diformat ulang sebagai “manusia baru”.

Tapi, itu semua mitos ala Partai Nazi yang diciptakan oleh kehebatan musikus. Indonesia saat ini bukanlah bangsa yang sedang mengalami kehancuran dan pembusukan. Indonesia saat ini adalah bangsa yang memiliki banyak prestasi dan berbagai kehebatan. Indonesia tidak memerlukan sekumpulan partai yang hanya bisa menyuarakan kebangkitan, namun ternyata hanya memuat kepalsuan.

Menyelubungi Otoritarianisme

Mitos tentang “manusia baru” yang bangkit dari kehancuran dan kebusukan di bawah kepemimpinan tegas adalah ekspresi fasisme. Formula yang dihadirkan memang halus dan sangat membius. Tapi, itulah topeng fasisme yang lihai dalam menyelubungi watak otoritarianismenya.

Fasisme selalu memompakan isu kesatuan. Fasisme berasal dari kata Latin fasces, berarti ikatan serpihan-serpihan yang ujungnya adalah kepala kapak.

Fasces adalah penanda otoritas Negara Roma. Fasces lantas diadopsi sebagai simbol kesatuan sosial (ikatan) yang berada di bawah kepemimpinan politik (kapak). Karakteristik-karakteristik yang terdapat dalam fasisme adalah kultus kepada pemimpin, hormat terhadap organisasi kolektif, kecintaan kepada simbol-simbol yang diasosiasikan dengan seragam, parade, dan suatu kedisiplinan tentara (Roger Scruton, The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought: Third Edition, 2007).

Fasisme itu demikian pintar menimbulkan pesona. Hasratnya memang amat mudah bertaut dengan kehendak massa. Pemimpin yang tegas, berani, berdisiplin, dan disertai aura berkilauan tentang kehebatan sebarisan pasukan benar-benar telah dihadirkan dalam fasisme.

Kebebasan rela ditundukkan guna mendapatkan panggung tentang kebersamaan. Apalagi, parade tentara berkuda telah disodorkan bertubi-tubi di hadapan massa yang hanya bisa bersetuju dengannya. Semua itu adalah aneka simbol fasisme yang telah dipertontonkan. Lebih menggelegar pula suaranya ketika fasisme menggaet para selebritas, terlebih lagi kalangan penyanyi yang memiliki jutaan penggemar. Fasisme mendapatkan sokongan yang sempurna karena berhasil membius massa dari segi rona ideologi dan tontonan yang mengagumkan.

Namun, massa harus menyadari, fasisme adalah ideologi yang menunjukkan perwatakan otokratis. Kalangan penganut fasisme tidak sudi mendengar berbagai suara yang berbeda dengan kehendaknya. Inilah rezim otoriter yang bisa memanfaatkan segala kedok untuk menindas rakyat.

Fasisme bisa membungkam aspirasi kebanyakan masyarakat atas nama keutuhan bangsa. Paham ini juga bisa membunuh daya kritis atas nama sang pemimpin yang harus dijaga nama baiknya.

Fasisme dapat pula mencengkeram leher rakyat atas nama kemurnian ajaran agama. Lebih dari itu semua, fasisme adalah musuh sejati demokrasi.

Siapa pun yang bangga dan malahan rela menyerahkan kemerdekaannya kepada pemimpin fasis, berarti telah membodohi diri dan mengerdilkan akal sehatnya. Lebih buruk lagi jika masyarakat sengaja memilih pemimpin bertipe fasis yang menjanjikan kebangkitan bangsa dari yang disebut sebagai kebusukan. Itu adalah paranoid yang sempurna ala rezim fasis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar