Kegalauan Menjelang
Pemungutan Suara Pilpres
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara Direktur Pusat
Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Juli 2014
SECARA
teknis, nyaris tidak ada alasan yang menyebabkan kita galau menjelang
pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada 9 Juli mendatang.
Sejauh ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mendistribusikan surat suara ke
seluruh pelosok Tanah Air. Bahkan, pemilik hak suara di luar negeri telah
menggunakan hak pilih mereka mendahului jadwal di Tanah Air. Karena itu,
secara teknis, kondisi saat ini jelas berbeda dibandingkan menjelang
pemungutan suara Pemilu anggota legislatif 9 April lalu.
Tak
hanya soal teknis, kegalauan banyak pihak ihwal kemungkinan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 akan dilakukan dua putaran pun telah
terjawab. Secara hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) menyudahi perdebatan sekitar
Pasal 159 Ayat (1) UU No 42/2008 tentang Pilpres. Melalui Putusan No
50/PUUXII/2014, Kamis (3/7), MK menyatakan Pasal 159 Ayat (1) bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku bagi pilpres yang
hanya terdiri dari dua pasang calon. Dengan putusan ini, dalam hal pilpres
hanya diikuti dua pasang calon, syarat sebaran minimal 20% suara menjadi
tidak relevan.
Namun
demikian, masalah teknis yang jauh lebih sederhana bila dibandingkan pemilu
anggota legislatif dan berakhirnya perdebatan di sekitar Pasal 159 ayat (1)
UU No 48/2008 tetap saja tidak bisa memupus kegalauan menjelang pemungutan
suara dua hari mendatang. Seperti dinukilkan Mochtar Pabottingi; kontestasi
Pilpres 2014 berlangsung seru pada medan politik yang amat keruh (Kompas, 4/7). Dari pengamatan peneliti
senior LIPI ini, belum pernah bangsa kita memasuki medan kontestasi politik
dengan model pengeruhan sampai empat kali lipat sebagaimana yang terjadi pada
Pilpres 2014. Karena itu, tidak terlalu berlebihan bila kegalauan menggelayuti
sebagian besar masyarakat.
Netralitas aparat
Salah
satu kegalauan yang menjadi keprihatinan sebagian besar masyarakat ialah
banyak mereka yang diberi otoritas pemangku jabatan publik menjadi bagian
dari mesin yang harus memenangkan pasangan calon. Keharusan ini menyebabkan
mereka menjadi kehilangan netralitas dalam pilpres. Paling tidak, ancaman
netralitas aparat negara ini dapat dilacak dari banyaknya kepala daerah dan
wakil kepala daerah bergabung menjadi tim sukses pasangan calon presiden dan
wakil presiden. Hampir dapat dipastikan, upaya melibatkan ini sebagai bagian
dari strategi memenangi pemilu.
Di
tengah arus politik yang ada, pemikiran yang menghendaki kepala daerah dan
wakil kepala daerah netral menjadi sesuatu yang sulit terjadi. Dengan kuasa partai
politik yang begitu besar, nyaris tidak mungkin bagi kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang berasal dari partai politik menolak menjadi bagian dari
tim sukses. Bahkan, bagi sebagian mereka yang memiliki agenda politik
lanjutan, bergabung dengan tim sukses merupakan jalan pintas untuk meraih
target politik berikutnya. Karena itu, mengharapkan netralitas mereka tak
ubahnya seperti pungguk merindukan bulan.
Namun,
yang membuat kita galau, sekalipun mereka mengambil langkah cuti selama masa
kampanye, politisasi birokrasi dan penggunaan fasilitas publik yang mengikuti
jabatan mereka hampir pasti sulit dinihilkan. Boleh jadi, pilihan
memanfaatkan kepala daerah dan wakil kepala daerah karena memang dimaksudkan
demikian. Kecurigaan soal ini bukanlah isapan jempol belaka. Misalnya,
laporan tindak pidana pemilu penggunaan rumah dinas Wali Kota Bukittinggi,
Sumatra Barat, untuk rapat pemenangan pasangan Prabowo-Hatta, menjadi
bentangan empirik betapa rawannya penyalahgunaan fasilitas publik bagi kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang menjadi tim sukses pasangan calon.
Indikasi
lain, misalnya, dapat dilacak dari pembagian insentif Rp1 juta kepada ketua
RT/RW yang diberikan Bupati Karanganyar. Meski membantah tidak terkait dengan
pilpres, sebagai Ketua DPD Partai Golkar sangat mungkin timbul tafsir bahwa
pembagian insentif sebagai bagian strategi kampanye untuk memenangkan
pasangan calon tertentu.
Karena
itu, dalam batas-batas tertentu, insentif ini sangat mirip dengan pembagian
dana bantuan sosial menjelang pemilu kepala daerah. Mestinya, agar tidak
menimbulkan tafsir beragam, Bupati Karanganyar mampu menahan diri dengan cara
pemberian dana insentif dilakukan setelah pemungutan suara.
Di luar
soal berbagai kemungkinan melakukan tindakan tidak terpuji termasuk melakukan
tindak pidana pemilu, dukungan terbuka kepala daerah dan wakil kepala daerah
kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden amat potensial merugikan
kepentingan masyarakat daerah.
Bagaimanapun
sulit dibantah, dengan menjadi bagian dari pertarungan pilpres, sadar atau
tidak, kepala daerah dan wakil kepala daerah juga mempertaruhkan nasib daerah
setelah pilpres. Bagi calon yang mereka dukung berhasil memenangkan
kontestasi pilpres, mungkin tidak akan merugikan daerah. Namun bagi yang
kalah, kepatuhan kepada partai politik dan ambisi pribadi mereka sangat
mungkin akan merugikan daerah.
Kegalauan
soal netralitas tidak hanya menjadi wilayah keprihatinan terhadap sebagian
kepala daerah dan wakil kepala daerah, jauh sebelum ini, kita juga dikagetkan
dengan pelibatan bintara pembina desa (babinsa) TNI-AD untuk mendukung
pasangan calon tertentu. Meski secara institusi TNI telah mengambil tindakan
bagi babinsa yang melanggar disiplin, tidak ada sama sekali jaminan bahwa
perilaku tidak netral ini benar benar telah lenyap.
Padahal,
melihat kian ketatnya peta persaingan menuju 9 Juli, netralitas TNI menjadi
salah satu kunci keberhasilan dan kualitas Pilpres 2014.
Kampanye hitam
Sebenarnya
dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Pilpres 2014
berpotensi menyediakan proses pemilu yang jauh lebih berkualitas. Dengan dua
pasangan calon, pemilih bisa lebih detail menilai kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Tidak hanya itu, riuh-rendah kegaduhan politik di antara pasangan
calon akan dapat dikelola dengan baik. Artinya, dengan dua pasangan calon,
Pilpres 2014 sangat mungkin menghadirkan proses politik yang teduh dan
menggembirakan.
Namun
apa hendak dikata, sejak pasangan calon mendaftar ke KPU dan resmi ditetapkan
menjadi calon, mesin politik berorientasi hasil benar-benar menggilas makna
hakiki proses dalam meraih hasil. Demi sebuah hasil, proses yang penuh keada
ban tidak lagi menjadi pemandu dalam berpolitik. Menyadari kondisi tersebut,
lebih jauh Mochtar Pabottingi mengungkapkan, di kalangan para kontestan
politik selalu ada yang tergoda menghalalkan cara, bahkan memanipulasi fakta
dan menyebarkan fitnah demi merebut kemenangan. Yang terjadi kemudian,
sebagian besar energi terbuang sia-sia di tengah balutan fitnah.
Padahal,
jika mau berpolitik yang penuh keadaban, energi kontestan dengan barisan
pendukungnya dan masyarakat bisa dikelola ke arah yang positif, terutama guna
menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan yang lebih bertanggung jawab
dan rasional. Kegagalan menghasilkan aura positif disebabkan balutan fitnah,
pemilih tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk menilai visi-misi yang
ditawarkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mestinya, dengan
adanya serangkaian debat terbuka, pemilih dapat menilai seberapa konsisten calon
menjaga antara visimisi yang dituliskan dengan yang dikemukakan secara lisan
dalam debat dan kampanye terbuka lain.
Tidak
hanya soal konsistensi, dengan situasi yang lebih positif, pemilih memiliki
energi yang cukup untuk menilai apakah visi-misi yang ditawarkan mampu
menjadi solusi bagi masa depan negeri ini. Tanpa penilaian yang memadai,
visimisi hanya akan menjadi pohon janji yang ujung-ujung menghadirkan
rangkaian kepiluan bagi pemilih. Karena itu, melihat perkembangan yang
terjadi, sangat mungkin, upaya melakukan kampanye hitam memang disengaja (by design) agar pemilih memiliki
kesempatan yang terbatas menilai agenda yang dita warkan dan sekaligus
mengunci rapat-rapat ruang melacak dan membuka rekam jejak (track record) setiap calon, termasuk
sumber dana yang digunakan dalam kontestasi pilpres.
Kalau
memang hal tersebut yang ada di belakang balutan fitnah yang terjadi, kita
memang pantas galau menuju 9 Juli. Meskipun demikian, di atas semua itu,
dalam batas penalaran yang wajar, kampanye hitam biasanya menjadi senjata
ampuh bagi kontestan yang secara faktual sulit bersaing secara sehat dan
terbuka.
Karena itu, di salah satu sisi, kampanye hitam menjadi instrumen
utama untuk meningkatkan elektabilitas, sementara di sisi lain menjadi alat
propaganda guna menurunkan elektabilitas lawan politik. Di atas itu semua,
sesungguhnya, kondisi ini menjadi ujian rasionalitas pemilih.
Pascapemungutan suara
Selain
persoalan yang dikemukakan sebelumnya, kegalauan lain yang menghiasi benak
kita ialah kemungkinan adanya praktik politik uang dan intimidasi yang masif.
Dalam hal politik uang, yang mungkin dikemukakan, semoga pemilih menolak
pemberian uang untuk membeli suara. Syukur-syukur, pemilih mau melaporkan
mereka yang memberi uang. Dalam hal ini, anjuran `tolak uangnya, jangan pilih
calonnya, laporkan pelakunya' menemukan momentum untuk dilaksanakan. Dalam
soal intimidasi, negara tidak boleh kehilangan kemampuan menjaga dan
melindungi rasa aman warga dalam memilih.
Meskipun
yang dibahas adalah menjelang pemungutan suara, kegalauan masih potensial
berlanjut setelah pemilih datang ke bilik suara. Berkaca dari hari-hari
setelah pemungutan suara pemilu legislatif, upaya memanipulasi hasil suara di
tingkat TPS masih potensial terjadi ketika proses rekap di tingkat PPS maupun
di tingkat PPK. Agar manipulasi tidak terjadi, penyelenggara pemilu harus
mampu menjaga dan bersikap netral demi menyelamatkan suara pemilih.
Di
samping itu, pengawasan tidak cukup oleh lembaga pengawas dan saksi partai
politik saja, masyarakat perlu berperan serta menjaga suara di setiap
tahapan. Dengan partisipasi masif dari masyarakat, paling tidak, kita bisa
sedikit mengikis kegalauan dari kemungkinan kecurangan setelah pemungutan
suara.
Bagaimanapun, pilpres harus berlangsung jujur, adil, dan berkualitas.
Di atas semua itu, datanglah ke TPS pada 9 Juli dan jangan sampai salah
menentukan pilihan. Jangan pertaruhkan masa depan kita dan negeri ini dengan
pilihan-pilihan yang tidak rasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar