Selasa, 08 Juli 2014

Kegalauan Menjelang Pemungutan Suara Pilpres

       Kegalauan Menjelang Pemungutan Suara Pilpres

Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
MEDIA INDONESIA,  07 Juli 2014
                                                


SECARA teknis, nyaris tidak ada alasan yang menyebabkan kita galau menjelang pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada 9 Juli mendatang. Sejauh ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mendistribusikan surat suara ke seluruh pelosok Tanah Air. Bahkan, pemilik hak suara di luar negeri telah menggunakan hak pilih mereka mendahului jadwal di Tanah Air. Karena itu, secara teknis, kondisi saat ini jelas berbeda dibandingkan menjelang pemungutan suara Pemilu anggota legislatif 9 April lalu.

Tak hanya soal teknis, kegalauan banyak pihak ihwal kemungkinan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 akan dilakukan dua putaran pun telah terjawab. Secara hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) menyudahi perdebatan sekitar Pasal 159 Ayat (1) UU No 42/2008 tentang Pilpres. Melalui Putusan No 50/PUUXII/2014, Kamis (3/7), MK menyatakan Pasal 159 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku bagi pilpres yang hanya terdiri dari dua pasang calon. Dengan putusan ini, dalam hal pilpres hanya diikuti dua pasang calon, syarat sebaran minimal 20% suara menjadi tidak relevan.

Namun demikian, masalah teknis yang jauh lebih sederhana bila dibandingkan pemilu anggota legislatif dan berakhirnya perdebatan di sekitar Pasal 159 ayat (1) UU No 48/2008 tetap saja tidak bisa memupus kegalauan menjelang pemungutan suara dua hari mendatang. Seperti dinukilkan Mochtar Pabottingi; kontestasi Pilpres 2014 berlangsung seru pada medan politik yang amat keruh (Kompas, 4/7). Dari pengamatan peneliti senior LIPI ini, belum pernah bangsa kita memasuki medan kontestasi politik dengan model pengeruhan sampai empat kali lipat sebagaimana yang terjadi pada Pilpres 2014. Karena itu, tidak terlalu berlebihan bila kegalauan menggelayuti sebagian besar masyarakat.

Netralitas aparat

Salah satu kegalauan yang menjadi keprihatinan sebagian besar masyarakat ialah banyak mereka yang diberi otoritas pemangku jabatan publik menjadi bagian dari mesin yang harus memenangkan pasangan calon. Keharusan ini menyebabkan mereka menjadi kehilangan netralitas dalam pilpres. Paling tidak, ancaman netralitas aparat negara ini dapat dilacak dari banyaknya kepala daerah dan wakil kepala daerah bergabung menjadi tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hampir dapat dipastikan, upaya melibatkan ini sebagai bagian dari strategi memenangi pemilu.

Di tengah arus politik yang ada, pemikiran yang menghendaki kepala daerah dan wakil kepala daerah netral menjadi sesuatu yang sulit terjadi. Dengan kuasa partai politik yang begitu besar, nyaris tidak mungkin bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik menolak menjadi bagian dari tim sukses. Bahkan, bagi sebagian mereka yang memiliki agenda politik lanjutan, bergabung dengan tim sukses merupakan jalan pintas untuk meraih target politik berikutnya. Karena itu, mengharapkan netralitas mereka tak ubahnya seperti pungguk merindukan bulan.

Namun, yang membuat kita galau, sekalipun mereka mengambil langkah cuti selama masa kampanye, politisasi birokrasi dan penggunaan fasilitas publik yang mengikuti jabatan mereka hampir pasti sulit dinihilkan. Boleh jadi, pilihan memanfaatkan kepala daerah dan wakil kepala daerah karena memang dimaksudkan demikian. Kecurigaan soal ini bukanlah isapan jempol belaka. Misalnya, laporan tindak pidana pemilu penggunaan rumah dinas Wali Kota Bukittinggi, Sumatra Barat, untuk rapat pemenangan pasangan Prabowo-Hatta, menjadi bentangan empirik betapa rawannya penyalahgunaan fasilitas publik bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang menjadi tim sukses pasangan calon.

Indikasi lain, misalnya, dapat dilacak dari pembagian insentif Rp1 juta kepada ketua RT/RW yang diberikan Bupati Karanganyar. Meski membantah tidak terkait dengan pilpres, sebagai Ketua DPD Partai Golkar sangat mungkin timbul tafsir bahwa pembagian insentif sebagai bagian strategi kampanye untuk memenangkan pasangan calon tertentu.

Karena itu, dalam batas-batas tertentu, insentif ini sangat mirip dengan pembagian dana bantuan sosial menjelang pemilu kepala daerah. Mestinya, agar tidak menimbulkan tafsir beragam, Bupati Karanganyar mampu menahan diri dengan cara pemberian dana insentif dilakukan setelah pemungutan suara.

Di luar soal berbagai kemungkinan melakukan tindakan tidak terpuji termasuk melakukan tindak pidana pemilu, dukungan terbuka kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden amat potensial merugikan kepentingan masyarakat daerah.

Bagaimanapun sulit dibantah, dengan menjadi bagian dari pertarungan pilpres, sadar atau tidak, kepala daerah dan wakil kepala daerah juga mempertaruhkan nasib daerah setelah pilpres. Bagi calon yang mereka dukung berhasil memenangkan kontestasi pilpres, mungkin tidak akan merugikan daerah. Namun bagi yang kalah, kepatuhan kepada partai politik dan ambisi pribadi mereka sangat mungkin akan merugikan daerah.

Kegalauan soal netralitas tidak hanya menjadi wilayah keprihatinan terhadap sebagian kepala daerah dan wakil kepala daerah, jauh sebelum ini, kita juga dikagetkan dengan pelibatan bintara pembina desa (babinsa) TNI-AD untuk mendukung pasangan calon tertentu. Meski secara institusi TNI telah mengambil tindakan bagi babinsa yang melanggar disiplin, tidak ada sama sekali jaminan bahwa perilaku tidak netral ini benar benar telah lenyap.

Padahal, melihat kian ketatnya peta persaingan menuju 9 Juli, netralitas TNI menjadi salah satu kunci keberhasilan dan kualitas Pilpres 2014.

Kampanye hitam

Sebenarnya dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Pilpres 2014 berpotensi menyediakan proses pemilu yang jauh lebih berkualitas. Dengan dua pasangan calon, pemilih bisa lebih detail menilai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak hanya itu, riuh-rendah kegaduhan politik di antara pasangan calon akan dapat dikelola dengan baik. Artinya, dengan dua pasangan calon, Pilpres 2014 sangat mungkin menghadirkan proses politik yang teduh dan menggembirakan.

Namun apa hendak dikata, sejak pasangan calon mendaftar ke KPU dan resmi ditetapkan menjadi calon, mesin politik berorientasi hasil benar-benar menggilas makna hakiki proses dalam meraih hasil. Demi sebuah hasil, proses yang penuh keada ban tidak lagi menjadi pemandu dalam berpolitik. Menyadari kondisi tersebut, lebih jauh Mochtar Pabottingi mengungkapkan, di kalangan para kontestan politik selalu ada yang tergoda menghalalkan cara, bahkan memanipulasi fakta dan menyebarkan fitnah demi merebut kemenangan. Yang terjadi kemudian, sebagian besar energi terbuang sia-sia di tengah balutan fitnah.

Padahal, jika mau berpolitik yang penuh keadaban, energi kontestan dengan barisan pendukungnya dan masyarakat bisa dikelola ke arah yang positif, terutama guna menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan yang lebih bertanggung jawab dan rasional. Kegagalan menghasilkan aura positif disebabkan balutan fitnah, pemilih tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk menilai visi-misi yang ditawarkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mestinya, dengan adanya serangkaian debat terbuka, pemilih dapat menilai seberapa konsisten calon menjaga antara visimisi yang dituliskan dengan yang dikemukakan secara lisan dalam debat dan kampanye terbuka lain.

Tidak hanya soal konsistensi, dengan situasi yang lebih positif, pemilih memiliki energi yang cukup untuk menilai apakah visi-misi yang ditawarkan mampu menjadi solusi bagi masa depan negeri ini. Tanpa penilaian yang memadai, visimisi hanya akan menjadi pohon janji yang ujung-ujung menghadirkan rangkaian kepiluan bagi pemilih. Karena itu, melihat perkembangan yang terjadi, sangat mungkin, upaya melakukan kampanye hitam memang disengaja (by design) agar pemilih memiliki kesempatan yang terbatas menilai agenda yang dita warkan dan sekaligus mengunci rapat-rapat ruang melacak dan membuka rekam jejak (track record) setiap calon, termasuk sumber dana yang digunakan dalam kontestasi pilpres.

Kalau memang hal tersebut yang ada di belakang balutan fitnah yang terjadi, kita memang pantas galau menuju 9 Juli. Meskipun demikian, di atas semua itu, dalam batas penalaran yang wajar, kampanye hitam biasanya menjadi senjata ampuh bagi kontestan yang secara faktual sulit bersaing secara sehat dan terbuka. 

Karena itu, di salah satu sisi, kampanye hitam menjadi instrumen utama untuk meningkatkan elektabilitas, sementara di sisi lain menjadi alat propaganda guna menurunkan elektabilitas lawan politik. Di atas itu semua, sesungguhnya, kondisi ini menjadi ujian rasionalitas pemilih.

Pascapemungutan suara

Selain persoalan yang dikemukakan sebelumnya, kegalauan lain yang menghiasi benak kita ialah kemungkinan adanya praktik politik uang dan intimidasi yang masif. Dalam hal politik uang, yang mungkin dikemukakan, semoga pemilih menolak pemberian uang untuk membeli suara. Syukur-syukur, pemilih mau melaporkan mereka yang memberi uang. Dalam hal ini, anjuran `tolak uangnya, jangan pilih calonnya, laporkan pelakunya' menemukan momentum untuk dilaksanakan. Dalam soal intimidasi, negara tidak boleh kehilangan kemampuan menjaga dan melindungi rasa aman warga dalam memilih.

Meskipun yang dibahas adalah menjelang pemungutan suara, kegalauan masih potensial berlanjut setelah pemilih datang ke bilik suara. Berkaca dari hari-hari setelah pemungutan suara pemilu legislatif, upaya memanipulasi hasil suara di tingkat TPS masih potensial terjadi ketika proses rekap di tingkat PPS maupun di tingkat PPK. Agar manipulasi tidak terjadi, penyelenggara pemilu harus mampu menjaga dan bersikap netral demi menyelamatkan suara pemilih.

Di samping itu, pengawasan tidak cukup oleh lembaga pengawas dan saksi partai politik saja, masyarakat perlu berperan serta menjaga suara di setiap tahapan. Dengan partisipasi masif dari masyarakat, paling tidak, kita bisa sedikit mengikis kegalauan dari kemungkinan kecurangan setelah pemungutan suara. 

Bagaimanapun, pilpres harus berlangsung jujur, adil, dan berkualitas. Di atas semua itu, datanglah ke TPS pada 9 Juli dan jangan sampai salah menentukan pilihan. Jangan pertaruhkan masa depan kita dan negeri ini dengan pilihan-pilihan yang tidak rasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar