Rabu, 09 Juli 2014

Buah Simalakama UU Minerba

                                 Buah Simalakama UU Minerba

Prayitno Basuki  ;   Akademisi Universitas Mataram,
Tim Fasilitasi DPRD Provinsi NTB
KOMPAS,  07 Juli 2014
                                                


Gerak cepat Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung untuk menyelesaikan hilirisasi pertambangan mineral belum memenuhi harapan. Pengenaan Bea Keluar pada perusahaan tambang masih berlangsung meski sempat ramai pemberitaan media mengenai upaya revisi BK.

Kenyataannya, arah penyelesaian hilirisasi tambang mineral masih sulit diprediksi. Padahal, harapan masyarakat, −khususnya di sekitar tambang−, sederhana, yaitu kehadiran pertambangan dapat menjamin keberlanjutan hidup keluarganya.
Isu lainnya adalah ketidak-tercapaian target lifting minyak mentah per hari sampai saat ini sehingga pemerintah harus merogoh kantong lagi untuk mengimpor minyak mentah.

Satu masalah belum tuntas, muncul isu tentang dampak diberlakukannya UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 pada pengelola pertambangan mineral. Ketidakjelasan penafsiran dan pemberlakuan UU Minerba No 4/2009 berdampak sangat masif bagi kehidupan masyarakat, khususnya yang terkait sektor pertambangan. Salah satu jurus pemerintah adalah menyiasati kebijakan penetapan BK progresif.

Pemerintah berharap kebijakan BK progresif dapat mereduksi dampak mahadahsyat tersebut, tetapi kenyataannya malah sebaliknya.

Pengenaan BK progresif akan menutup secara alamiah usaha pertambangan mineral di Indonesia dan menguntungkan perusahaan tambang negara lain. Tanpa pengenaan BK progresif saja ekspor mineral telah mengalami kontraksi beberapa tahun terakhir.

Tidak bijak

Konsekuensinya, perusahaan tambang mineral, baik berskala kecil maupun besar, akan kelimpungan. Beberapa kendala yang dihadapi oleh pengenaan BK progresif antara lain hilangnya kemampuan ekspor dan perusahaan tambang terpaksa menumpuk hasilnya.

Padahal, seperti kita ketahui, sebagian besar perusahaan tambang memiliki keterbatasan areal untuk dijadikan tempat penumpukan bahan tambang (stockpile). Selain itu, mineral hasil tambang tidak dapat ditimbun terlalu lama. Untuk menghindari itu semua, otomatis operasional tambang dihentikan atau shutdown.

Apabila selama ini ancaman pemberhentian operasi perusahaan tambang selalu dianggap hanya gertakan oleh pemerintah dan kalangan anti tambang, isu penghentian operasional tambang kali ini tidak dapat disepelekan.

Penghentian operasional tambang bukan saja merugikan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, melainkan juga berdampak lebih luas dan lebih serius.
Dampak awal pemberhentian operasional pertambangan telah banyak kita jumpai di media, yakni pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan pertambangan. Berapa harga atau ongkos sosial yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi dampak sosial ekonomi PHK ini?

Sebagai ilustrasi, rencana penghentian operasional PT NNT dengan jumlah karyawan sekitar 8.000 (4.000 karyawan langsung dan 4.000 karyawan tidak langsung) akan sangat besar dampaknya. Apabila pada tahap awal akan merumahkan 80 persen karyawan, berarti 6.400 orang, berarti ada 19.200 orang yang akan kehilangan sumber penghidupan dengan perhitungan satu orang menghidupi tiga orang termasuk dirinya.

Dalam jangka pendek, PHK terhadap 6.400 karyawan akan menurunkan jumlah uang beredar di Kabupaten Sumbawa Barat dan Provinsi NTB.
Setiap bulan diperkirakan Rp 32 miliar (dengan asumsi penghasilan karyawan per bulan rata-rata Rp 5 juta) akan hilang. Belum lagi trickle down effect-nya, seperti pembantu rumah tangga, warung makan, dan pedagang keliling. PHK 6.400 karyawan harus dicarikan solusi agar tidak menimbulkan efek domino.

Dampak ekonomi lain adalah ancaman kredit macet di perbankan. Tidak sedikit karyawan PT NNT mengandalkan kredit bank untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika rencana PHK menjadi kenyataan, potensi meningkatnya non performance loan (NPL) perbankan akan meningkat dan mengganggu tingkat kepercayaan kepada sektor perbankan.

Dapat dibayangkan betapa paniknya pemimpin daerah di Kabupaten Sumbawa Barat apabila PT NNT benar-benar tutup. Kehilangan potensi pendapatan dari hibah dan pajak daerah yang bersumber dari usaha tambang pasti sulit ditutup dari sumber pendapatan lain.

Solusi bijak

Agar isu pengelolaan sumber daya tambang mineral pasca kebijakan BK progresif tidak berlarut-larut, perlu dibentuk tim independen yang keanggotaannya berbasis kompetensi.

Tim dapat dibentuk bersama antara pemerintah dan Asosiasi Pertambangan Indonesia, terdiri atas para ahli di bidang tambang, ekonomi tambang, dan hukum bisnis yang independen.

Tugas dari tim independen adalah mengkaji plus minus kebijakan pertambangan, khususnya mineral, dan dampak regulasi sebagai turunan UU No 4/2009, sekaligus menghitung kelayakan pembangunan smelter untuk mineral yang berbeda-beda.

Hasil kajian tim independen hendaknya bersifat final dan menjadi acuan bersama bagi semua pihak. Apabila hasil kajian ternyata layak, perusahaan tambang wajib mematuhinya.

Sebaliknya, jika kajian menyimpulkan bahwa pengembangan usaha hilirisasi sektor pertambangan mineral melalui pembangunan smelter tidak layak, pemerintah harus secara penuh menerima keputusan itu dan memberikan kebebasan kepada perusahaan tambang untuk ekspor tanpa pengenaan BK.

Pemerintah juga bertanggung jawab berinvestasi di sektor hilir pertambangan mineral dengan membangun smelter. Apabila solusi ini dapat dilakukan secara konsisten, harapan mendapatkan solusi yang bijak dan independen dapat kita wujudkan secara berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar