Buah
Simalakama UU Minerba
Prayitno Basuki ; Akademisi Universitas Mataram,
Tim Fasilitasi DPRD Provinsi NTB
|
KOMPAS,
07 Juli 2014
Gerak
cepat Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung untuk menyelesaikan
hilirisasi pertambangan mineral belum memenuhi harapan. Pengenaan Bea Keluar
pada perusahaan tambang masih berlangsung meski sempat ramai pemberitaan
media mengenai upaya revisi BK.
Kenyataannya,
arah penyelesaian hilirisasi tambang mineral masih sulit diprediksi. Padahal,
harapan masyarakat, −khususnya di sekitar tambang−, sederhana, yaitu
kehadiran pertambangan dapat menjamin keberlanjutan hidup keluarganya.
Isu
lainnya adalah ketidak-tercapaian target lifting
minyak mentah per hari sampai saat ini sehingga pemerintah harus merogoh
kantong lagi untuk mengimpor minyak mentah.
Satu
masalah belum tuntas, muncul isu tentang dampak diberlakukannya UU Minerba
Nomor 4 Tahun 2009 pada pengelola pertambangan mineral. Ketidakjelasan
penafsiran dan pemberlakuan UU Minerba No 4/2009 berdampak sangat masif bagi
kehidupan masyarakat, khususnya yang terkait sektor pertambangan. Salah satu
jurus pemerintah adalah menyiasati kebijakan penetapan BK progresif.
Pemerintah
berharap kebijakan BK progresif dapat mereduksi dampak mahadahsyat tersebut,
tetapi kenyataannya malah sebaliknya.
Pengenaan
BK progresif akan menutup secara alamiah usaha pertambangan mineral di
Indonesia dan menguntungkan perusahaan tambang negara lain. Tanpa pengenaan
BK progresif saja ekspor mineral telah mengalami kontraksi beberapa tahun
terakhir.
Tidak bijak
Konsekuensinya,
perusahaan tambang mineral, baik berskala kecil maupun besar, akan
kelimpungan. Beberapa kendala yang dihadapi oleh pengenaan BK progresif antara
lain hilangnya kemampuan ekspor dan perusahaan tambang terpaksa menumpuk
hasilnya.
Padahal,
seperti kita ketahui, sebagian besar perusahaan tambang memiliki keterbatasan
areal untuk dijadikan tempat penumpukan bahan tambang (stockpile). Selain itu, mineral hasil tambang tidak dapat
ditimbun terlalu lama. Untuk menghindari itu semua, otomatis operasional
tambang dihentikan atau shutdown.
Apabila
selama ini ancaman pemberhentian operasi perusahaan tambang selalu dianggap
hanya gertakan oleh pemerintah dan kalangan anti tambang, isu penghentian
operasional tambang kali ini tidak dapat disepelekan.
Penghentian
operasional tambang bukan saja merugikan masyarakat di sekitar wilayah
pertambangan, melainkan juga berdampak lebih luas dan lebih serius.
Dampak
awal pemberhentian operasional pertambangan telah banyak kita jumpai di
media, yakni pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan pertambangan. Berapa
harga atau ongkos sosial yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat
untuk menghadapi dampak sosial ekonomi PHK ini?
Sebagai
ilustrasi, rencana penghentian operasional PT NNT dengan jumlah karyawan
sekitar 8.000 (4.000 karyawan langsung dan 4.000 karyawan tidak langsung)
akan sangat besar dampaknya. Apabila pada tahap awal akan merumahkan 80
persen karyawan, berarti 6.400 orang, berarti ada 19.200 orang yang akan
kehilangan sumber penghidupan dengan perhitungan satu orang menghidupi tiga
orang termasuk dirinya.
Dalam
jangka pendek, PHK terhadap 6.400 karyawan akan menurunkan jumlah uang
beredar di Kabupaten Sumbawa Barat dan Provinsi NTB.
Setiap
bulan diperkirakan Rp 32 miliar (dengan asumsi penghasilan karyawan per bulan
rata-rata Rp 5 juta) akan hilang. Belum lagi trickle down effect-nya, seperti
pembantu rumah tangga, warung makan, dan pedagang keliling. PHK 6.400
karyawan harus dicarikan solusi agar tidak menimbulkan efek domino.
Dampak
ekonomi lain adalah ancaman kredit macet di perbankan. Tidak sedikit karyawan
PT NNT mengandalkan kredit bank untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika
rencana PHK menjadi kenyataan, potensi meningkatnya non performance loan
(NPL) perbankan akan meningkat dan mengganggu tingkat kepercayaan kepada
sektor perbankan.
Dapat
dibayangkan betapa paniknya pemimpin daerah di Kabupaten Sumbawa Barat
apabila PT NNT benar-benar tutup. Kehilangan potensi pendapatan dari hibah
dan pajak daerah yang bersumber dari usaha tambang pasti sulit ditutup dari
sumber pendapatan lain.
Solusi bijak
Agar isu
pengelolaan sumber daya tambang mineral pasca kebijakan BK progresif tidak
berlarut-larut, perlu dibentuk tim independen yang keanggotaannya berbasis
kompetensi.
Tim
dapat dibentuk bersama antara pemerintah dan Asosiasi Pertambangan Indonesia,
terdiri atas para ahli di bidang tambang, ekonomi tambang, dan hukum bisnis
yang independen.
Tugas
dari tim independen adalah mengkaji plus minus kebijakan pertambangan,
khususnya mineral, dan dampak regulasi sebagai turunan UU No 4/2009,
sekaligus menghitung kelayakan pembangunan smelter untuk mineral yang
berbeda-beda.
Hasil
kajian tim independen hendaknya bersifat final dan menjadi acuan bersama bagi
semua pihak. Apabila hasil kajian ternyata layak, perusahaan tambang wajib
mematuhinya.
Sebaliknya,
jika kajian menyimpulkan bahwa pengembangan usaha hilirisasi sektor
pertambangan mineral melalui pembangunan smelter tidak layak, pemerintah
harus secara penuh menerima keputusan itu dan memberikan kebebasan kepada
perusahaan tambang untuk ekspor tanpa pengenaan BK.
Pemerintah
juga bertanggung jawab berinvestasi di sektor hilir pertambangan mineral
dengan membangun smelter. Apabila solusi ini dapat dilakukan secara
konsisten, harapan mendapatkan solusi yang bijak dan independen dapat kita
wujudkan secara berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar