Senin, 14 Juli 2014

Kedaluwarsa

                                                            Kedaluwarsa

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 13 Juli 2014
                                                


MENURUT KAMUS  Besar Bahasa Indonesia, kedaluwarsa berarti tidak model lagi (baju, kendaraan); tidak sesuai dengan zaman; sudah lewat (habis) jangka waktunya (tuntutan dsb); habis tempo; terlewat dr batas waktu berlakunya sebagaimana yang ditetapkan (makanan).

Balas jasa

Pada Jumat pagi menjelang tengah hari, saya menengok teman di sebuah rumah sakit yang suasananya saja makin membuat yang sakit bertambah sakit. Dalam obrolan yang singkat itu, saya menanyakan kepadanya, apakah orangtuanya tahu bahwa ia sedang dirawat di rumah sakit?

Ia menjelaskan, kalau ia tidak memberi tahu mereka dengan alasan seperti ini. ”Kasihan, Mas. Aku enggak tega merepotkan mereka dan membuat panik mereka.” Saya sempat terdiam sejenak dan teringat kepada beberapa teman lain yang melakukan hal yang sama. Mereka menyembunyikan penderitaan dengan sejuta alasan, hanya untuk tidak membuat orangtua yang dicintai makin menderita.

Kejadian di atas melahirkan berjuta pertanyaan. Dan, pertanyaan pertama yang timbul adalah apakah cinta kepada orangtua itu bentuknya melindungi orangtua dari merasa terganggu dan kepanikan?

Apakah dengan cinta itu, teman-teman saya telah menciptakan masa kedaluwarsa sebuah tanggung jawab orangtua terhadap anak seperti makanan kaleng? Masa yang menurut saya tak pernah ada selama mereka hidup dan disebut orangtua.

Apakah benar yang namanya orangtua itu, apalagi memang sudah tua, dan anak juga sudah dianggap tua dan dewasa, tidak selayaknya merepotkan dan membuat mereka panik? Apalagi kalau anaknya menjadi begitu kaya dan rayanya. Bagaimana kalau anaknya tidak kaya dan tidak raya? Apakah orangtua merasa menyesal karena masa kedaluwarsanya diperpanjang? Begitu?

Artinya mereka mengharap bahwa anaknya memiliki pengertian yang begitu dalamnya untuk tidak mengkhawatirkan mereka sebagai sebuah imbal jasa dari semua pengorbanan yang telah mereka lakukan berpuluh tahun lamanya? Apakah ketika orangtua memutuskan memiliki anak, itu dengan tujuan untuk sebuah balas jasa?

Apakah jawaban dan tindakan teman-teman saya itu didasari oleh perasaan hormat, atau kasihan, atau pengertian mereka sendiri untuk mengasihi orangtuanya, atau itu sebuah cermin dari hasil pendidikan orangtua, yang membuat anak selalu merasa perlu bertanggung jawab atas kehidupan orangtua di suatu hari kelak?

Tanggung jawab

Bagaimana kalau seandainya teman-teman saya tidak berpikir demikian? Apakah itu akan mengundang kekecewaan yang sangat sebagai orangtua? Bukankah kalau dua orang bersepakat menjadi orangtua, itu berarti mereka bersepakat mengundang masalah dan kebahagiaan datang dalam hidup mereka?

Itu berarti, mereka telah menyadari sepenuhnya dari sejak awal bahwa ada tanggung jawab tanpa masa kedaluwarsa dari apa yang mereka sepakati itu, bukan? Bahwa ada kemungkinan yang mereka sepakati itu bisa jadi tidak sesuai seperti yang mereka dambakan dan mengecewakan.

Apakah hal-hal semacam ini terbesit di benak mereka sebelum anak hadir dalam kehidupan mereka? Kalau mereka menyadari, mengapa ada anak sampai bisa memberi pernyataan seperti teman saya itu? Apakah itu hanya anaknya yang sok bijak?

Bagaimana cara dan dasar apa yang dipakai orangtua untuk mengeksekusi kesepakatan yang sejak awal tak pernah melibatkan anak? Pengertian, egoisme, kasih sayang, atau campuran ketiganya atau ada unsur lainnya yang tak saya ketahui?

Kalau saya kembali kepada kasus di atas, apakah pernyataan teman-teman saya untuk tidak berkeinginan membuat orangtua panik dan merepotkan adalah sebuah bukti kekuasaan yang dieksekusi dengan tiga unsur di atas? Atau hanya salah satunya?

Apakah membungkam kepanikan dan kerepotan dari orangtua akan menjadikan seorang anak itu saleh, bijaksana, dan menjauhkan mereka dari predikat anak kurang ajar, tak tahu diri, dan menjadikannya sebagai anak idaman orangtua, dan idaman orang lain seperti saya yang mendengar pernyataan di atas? Apakah itu yang artinya menghormati orangtua?

Kalau teman saya tidak menceritakan kondisi sesungguhnya karena itu akan mengkhawatirkan orangtua, apakah itu berarti bahwa ada masanya kebohongan itu dianggap sebuah kebenaran? Jadi berbohong untuk sebuah kebaikan tidak dianggap keliru, apalagi kalau bersangkut paut dengan orangtua. Begitu?

Sambil melangkah keluar dari rumah yang sungguh menyakitkan itu, saya berpikir keras, sungguh keras. Kalau teman-teman saya memiliki pengertian yang begitu dalamnya terhadap orangtua, apakah itu sebuah tindakan mengambil alih predikat orangtua?

Jadi predikat orangtua itu bisa digilir seperti piala, tak perlu harus ayah dan ibu, tetapi anak pun suatu hari bisa menjadi orangtuanya orangtua. Saya sungguh tak tahu karena tak pernah menjadi orangtua, maka saya mengajukan sejuta tanya, tanpa berniat menghakimi.

Satu pertanyaan lagi yang tersisa. Apakah menjadi orangtua itu memang seyogianya tidak untuk semua orang? Sehingga mereka yang terpaksa, mampu melahirkan dan mendidik anak seperti teman saya itu? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar