Senin, 14 Juli 2014

Zaman Baru

                                                             Zaman Baru

Bre Redana  ;   Penulis Kolom “Udar Rasa” di Kompas
KOMPAS, 13 Juli 2014
                                                


Saya terhenyak ketika teman saya, pengajar filsafat, Tommy Awuy, menyebut konser besar oleh ratusan musisi dan seniman di Gelora Bung Karno (GBK) akhir pekan sebelum pemilihan presiden yang baru lalu sebagai Woodstock. Woodstock, ”3 Days of Peace & Music” bulan Agustus 1969 di Bethel, New York, adalah tonggak bermutasinya politik menjadi gerakan kebudayaan. Menampilkan ratusan pemusik yang tidak dibayar dengan penonton mencapai 500.000 orang, Woodstock dianggap penanda lahirnya zaman baru alias new age.

Saat itu, terutama dipuncaki invasi Amerika ke Vietnam, anak-anak muda merasa ada yang salah dengan negerinya. Mereka merasa perlunya perubahan. Gagasan-gagasan dan institusi-institusi mapan mereka lawan, dengan gerakan yang disebut Theodore Roszak sebagai counter culture.

Untuk pertama kalinya waktu itu, dunia kemudian menyaksikan bagaimana kebudayaan massa—dalam hal ini musik— secara total berkoneksi dengan segala hal yang berhubungan dengan perubahan. Orang jenuh dengan politik lama. Mereka merasa tak bisa lagi hidup dengan kebobrokan yang biasa mengiringi kehidupan sehari-hari waktu itu. Mereka membutuhkan momentum perubahan, juga harapan baru.

Bukankah itu pula yang terjadi pada konser dua jari di GBK? Dunia politik bermutasi menjadi gerakan kebudayaan, didorong oleh semangat yang tidak lagi menghendaki kekerasan, rasisme, radikalisme, korupsi, kebohongan: pendeknya semua hal buruk yang seakan dijustifikasi belaka oleh penguasa selama ini. Ketika kebudayaan telah menjadi daya perubahan seperti ini, sungguh aneh ada beberapa orang bahkan mengaku budayawan, seniman, mengingini formalisme pengertian kebudayaan dengan undang-undang kebudayaan. Tentang pikiran orang ngelindur itu akan saya bahas sendiri dalam tulisan lain nanti.

Kami ingin perubahan. Kami ingin keberadaban. Kami ingin perdamaian. Konser di GBK itu baiknya diberi nama ”An Afternoon of Peace & Music”. Bagi sebagian yang hadir, lagu Raja oleh /rif barangkali nanti akan dikenang sebagaimana Generasi Bunga mengenang Black Magic Woman oleh Santana di Woodstock. Lalu, di pagi hari waktu itu, Jimi Hendrix melengkingkan lagu kebangsaan Amerika The Star-Spangled Banner dengan gitarnya.

Momen historik yang dikenang sepanjang masa. Sama seperti terjadi di GBK yang dipenuhi ratusan ribu manusia. Tak akan bisa dilupakan, bagaimana sejumlah orang menitikkan air mata ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan.

Semangat seperti ini, mustahil bisa diungkap oleh yang namanya lembaga survei. Hanya saja, selama ini orang serta lembaga-lembaga, telanjur mudah diperdaya angka-angka. Dengan angka-angka, ditambah kicauan orang berjulukan pengamat, seolah seluruh aspek kehidupan bisa terbaca, bisa terdeteksi. Lalu resep dicari. Ah, alangkah praktis kehidupan seandainya cinta, rindu, dan semacamnya juga bisa dikuantifikasi menjadi angka-angka....

Manusia yang telah teralienasi angka-angka inilah mangsa empuk lembaga survei. Lembaga-lembaga survei kagetan muncul, bersedia menerima pesanan siapa saja, partai apa saja, sanggup menyenangkan pihak mana saja. Validitas tak dijamin. Namanya juga pasar kaget.

Sebuah koran Jakarta misalnya, di halaman depan memajang grafis belasan lembaga survei. Semua memenangkan calon presiden yang kemudian menjadi pecundang. Kalau saya pemesannya dan bayaran belum lunas, tak sudi saya melunasi. Bahkan mereka akan saya suruh mengembalikan uang, karena saya anggap penipuan.

Dulu, di Woodstock, anak-anak muda juga terbius oleh mistik tertentu. Bukan angka-angka, melainkan halusinasi zat yang populer kala itu, antara lain ganja dan mariyuana. Sisi yang lain lagi: filsafat Timur (Beatles, Rolling Stones, semua belajar ke India), buku-buku metafisika, psikadelia, dan tentu saja Stairway to Heaven. Revolusi yang menyenangkan.

Kini zaman telah berubah. Biarlah para hippies yang kini mbah-mbah menyepi di gunung-gunung. Anak-anak muda sekarang tidak berilusi ala kaum hippies. Mereka menggelar musik damai, di tengah kekhusyukan Ramadhan.

Kalau Anda terlatih membaca gelagat, barangkali Anda akan sependapat dengan saya: kita tengah menyongsong zaman baru. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar