Senin, 14 Juli 2014

“Groupthink” dan Kritik Diri

                                   “Groupthink” dan Kritik Diri

Kristi Poerwandari  ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 13 Juli 2014
                                                


Hampir semua keputusan di dunia ini merupakan hasil dari proses pengambilan keputusan kolektif. Karena itu, kita perlu memahami, bukan saja bagaimana sistem keyakinan para individu pemimpin, melainkan juga matriks hubungan sosial dan dinamika yang melingkupi para tokoh kunci itu dalam mengambil keputusan.

Mencoba lebih memahami berbagai halangan bagi proses pengambilan keputusan kelompok secara efektif dan etis, berbagai bacaan mengarahkan saya pada konsep groupthink. Istilah groupthink pertama kali ditelurkan Irving Janis (1972, 1982). Istilah itu menunjuk pada situasi ketika kelompok mengambil keputusan secara salah karena tekanan dalam kelompok telah sedemikian rupa mengarahkan kelompok pada menurunnya ”efisiensi mental, kemampuan menguji realitas, dan penilaian moral” dari anggota-anggotanya.

Groupthink adalah fenomena psikologis di mana tekanan dalam kelompok telah sedemikian rupa menyebabkan individu-individu mengesampingkan keyakinan personalnya sendiri dan kemudian mengadopsi opini dari kelompok. Individu yang berpandangan berbeda akan berusaha diam, memilih menjaga kedamaian dalam kelompok daripada mengganggu kesepakatan atau keseragaman yang diciptakan kelompok.

Janis menjelaskan bahwa tuntutan keseragaman dan loyalitas dapat ditumbuhkan dalam kelompok sedemikian rupa sehingga hal tersebut mengganggu efisiensi kognitif dan penalaran moral. Janis meneliti beberapa kasus pengambilan keputusan politik dan menemukan dalam kasus-kasus tersebut, anggota kelompok dimotivasi untuk mempertahankan kehormatan kelompok sehingga menjadi sulit untuk melontarkan pandangan berbeda dan kritis terhadap satu sama lain.

Proses dalam kelompok menciptakan situasi sedemikian rupa sehingga anggota kelompok terhalang untuk berhubungan dengan pihak-pihak luar yang kompeten dan berkualifikasi baik. Karena itu, kelompok gagal mengembangkan prosedur yang sistematis untuk mencari dan mengevaluasi fakta-fakta baru. Pemimpin-pemimpin kelompok mempromosikan pandangan mereka saja dan kurang memotivasi analisis terbuka terhadap situasi. Keputusan diambil dalam tekanan yang menyulitkan hadirnya proses berpikir yang jernih sehingga para anggota meragukan ada pilihan lain yang lebih baik selain daripada yang dipikirkan kelompok secara tertutup.

Janis mendokumentasi beberapa gambaran gejala groupthink, antara lain ilusi mengenai kehebatan kelompok yang akan menciptakan optimisme berlebihan, rasionalisasi kolektif di mana anggota-anggota tidak mempertanyakan kembali asumsinya dan tidak peduli pada petunjuk mengenai fakta yang berbeda. Sering pula tampil keyakinan bahwa kelompok secara inheren (dari awalnya) lebih benar atau bermoral dan karena itu berhak mengambil tindakan-tindakan tertentu, sementara kelompok lain lebih negatif. Dengan cara pandang hitam-putih tersebut, tuntutan untuk selalu mengambil keputusan dengan mempertimbangkan sisi etis jadi berkurang, bahkan mungkin terlupakan. Ada penekanan terhadap anggota kelompok yang menunjukkan sikap dan pandangan berbeda, mereka dipaksa atau memaksa diri untuk diam karena anggota kelompok diharuskan berpandangan seragam.

Terakhir yang juga penting, ada self-appointed mindguards, yakni anggota-anggota kelompok yang mengambil sikap untuk menutup atau melindungi kelompok dan pemimpinnya dari informasi yang problematik atau bertentangan dari pandangan atau keyakinan kelompok. Maka, yang terjadi adalah meski fakta berbicara berbeda, yang diyakini dan dianggap sebagai kebenaran adalah opini kelompok.

Kritik diri dan sikap etis

Knowledge is power, pengetahuan adalah kekuasaan. Sayangnya, sekarang yang dianggap sebagai pengetahuan dan kebenaran sudah tidak jelas lagi akibat kecanggihan pemanfaatan teknologi informasi. Media memegang kendali sangat besar mengenai apa yang dapat diberitakan, di mana fakta dan opini dapat dicampur aduk sedemikian rupa sehingga menyulitkan kita mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Rekayasa dapat disusun bertumpuk-tumpuk sedemikian rupa sehingga untuk menelusur yang aslinya diperlukan upaya yang luar biasa.

Semua kelompok rentan terhadap berkembangnya groupthink. Untuk menghindarinya, diperlukan keterbukaan dan kritik diri. Pemimpin perlu menugaskan anggota kelompok yang pekerjaannya adalah menjadi evaluator kritis terhadap kelompok. Pemimpin perlu mendengarkan suara anggota-anggotanya, tidak hanya menetapkan preferensinya sendiri. Untuk menghindari blunder dari groupthink, perlu ada mekanisme di dalam kelompok untuk secara rutin mengevaluasi kebijakan dan programnya, dalam perbandingan dengan fakta empiris yang terus dikumpulkan di lapangan, dan dengan menyimak narasumber dari luar yang kompeten dan tepercaya untuk memperoleh masukan kritis terhadap kelompok.

Kita mengasumsikan dan harus terus memperjuangkan agar sikap etis menjadi panglima utama, justru karena itu sikap kritis pada diri sendiri merupakan hal sangat penting. Apabila kelompok telah menggiring kita untuk berbuat tidak etis dan membahayakan masyarakat, biarlah kita keluar dari kelompok itu. Biarlah orangtua memberikan teladan bagi anak-anaknya, guru menjadi teladan bagi murid-muridnya, pemimpin menghadirkan contoh bagi anak buahnya untuk menjadi manusia yang menjunjung tinggi etika dan integritas diri.

Biarlah kita membawa diri sendiri dan kelompok agar dalam persaingan dapat menjadi pemenang yang rendah hati dan santun. Apabila gagal, tetap tersenyum tegak menatap ke depan karena telah menjunjung etika dan integritas diri. Pada akhirnya, ketika semua mengambil sikap kritis pada diri sendiri dan menjunjung integritas diri dan kelompok, sesungguhnya tidak ada yang kalah, semua adalah pemenang, semua bekerja sama untuk hal yang lebih penting daripada kotak-kotak kelompok. Semoga Yang Maha Kuasa memberkati kita semua dan memberkati negara kita tercinta, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar