Karnaval
Demokrasi 2014
Ari Pradhanawati ; Sekretaris Program Doktor Ilmu Sosial FISIP
Universitas
Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 09 Juli 2014
HARI ini rakyat Indonesia melalui Pilpres 2014 menggunakan hak
politiknya secara langsung untuk kali ketiga. Antusiasme pemilih meningkat
tajam dilihat dari motivasi dan partisipasi yang berusaha terdaftar di DPT,
pemilih yang pindah mencoblos dengan surat undangan C5, pemilih yang menggunakan
KTP, dan pemilih di luar negeri dengan memakai paspor.
Ini menandakan sepanjang sejarah pemilu, Pilpres 2014 terasa sangat
berbeda, terutama bila menelusuri pergerakan pemilih yang sangat tinggi untuk
mencoblos, terutama masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Dalam waktu 30 tahun belum pernah ada antrean panjang, pemilih rela
antre berjam- jam, terkena panas matahari dan tempias hujan tanpa sedikit pun
bergeser dari barisan. Itu semua demi perubahan yang sudah lama ditunggu.
Terlepas dari antusiasme itu, ada beberapa hal yang perlu dikaji sehubungan
euforia politik semasa kampanye. Rakyat diberi sajian mirip gosip politik (politic infotainment) yang lebih
mengarah ke pribadi capres-cawapres.
Sajian itu disampaikan lewat kampanye hitam seperti fitnah atau
informasi lain yang tidak rasional, sebagian besar melalui media sosial.
Intensitasnya bahkan lebih masif ketimbang membicarakan substansi (visi,
misi, dan program). Sajian masif gosip politik tersebut mau tak mau menjadi
porsi utama.
Kendati suguhan itu cukup mengganggu, rakyat tidak bisa menghindari dan
terpaksa menikmati. Kemerebakan buying
vote (pemberian sembako, pembangunan fasilitas umum untuk masyarakat) dan
praktik politik uang tampak dibiarkan dan dilegalkan sehingga suara yang tidak
rasional dibeli dengan cara tidak rasional pula.
Tidak
Mendidik
Lembaga survei juga memberi kontribusi cukup signifikan karena
keberpihakannya kepada salah satu kandidat. Penegakan hukum pun bersifat kaku
dan saling menunggu, termasuk Bawaslu yang seakan-akan tak bisa berbuat
apa-apa dan tidak mampu mengawasi secara maksimal berkait banyaknya serangan
dari berbagai pihak.
Euforia tersebut mengakibatkan pendidikan politik dalam era Pilpres
2014 menjadi tidak mendidik, dengan banyaknya intimidasi kepada rakyat untuk
memilih kandidat tertentu, atau intimidasi akan ada kerusuhan seusai pilpres.
Termasuk intimidasi kepada pejabat di pemerintahan, terutama perangkat
desa, untuk mendukung salah satu kandidat. Padahal posisi mereka sebagai PNS
seharusnya bersikap netral. Di balik euforia politik tersebut, ada fenomena
baru yang perlu dicatat sepanjang sejarah demokratisasi di Indonesia, yaitu
semangat gotong royong yang merupakan kerja sama demi kebaikan guna
memperkecil buying vote dan money politics.
Hal itu ternyata mendapat apresiasi dan antusiasme dari rakyat, bahkan
menjadi sebuah bangunan yang terpilin-pilin dengan kemunculan sukarelawan.
Fenomena baru mengenai sukarelawan ini sejalan dengan pendapat David F Roth
dan Frank L Wilson dalam Miriam Budihardjo (1981:6 dan 2008:373) tentang piramida partisipasi politik.
Bahwa ada pergeseran partisipasi dari apolitis (golput) ke penonton
(aktif dalam perkembangan politik) kemudian menjadi partisipan (sukarelawan
dan tidak ada konsesi/transaksi). Semua lapisan masyarakat bergerak tanpa
dikomando/dimobilisasi dengan membuat kegiatan yang cukup kreatif.
Hal itu tampak terutama pada kalangan anak muda, yang awalnya tidak
peduli menjadi sangat peduli, melalui akses media sosial, sehingga membentuk
sebuah karnaval demokrasi: peserta datang untuk menghias diri sendiri, dan
datang untuk memeriahkan event ”karnaval” tersebut.
Mereka aktif meramaikan karnaval, tidak lagi sebagai penonton tapi
aktor aktif. Tak bisa dimungkiri, pilpres kali ini berbeda dari pesta demokrasi
yang biasanya hanya mengundang publik untuk menonton (bagi-bagi kaos dan yang
tampil performe kandidat). Kini semua sajian dalam karnaval demokrasi
dilakukan dan dibiayai dari, oleh, dan untuk rakyat.
Contohnya pembagian kaos/atribut kandidat yang disediakan oleh
partisipan, pembuatan video ”jangan golput”, jalan sehat, car free day,
konser musik, poster online, profile picture/display profile, atraksi bola
”tolak golput”, dan sebagainya. Selain itu, di media sosial berkembang sharing dan forwading konten-konten politik melalui gambar-gambar lucu yang
sudah dimodifikasi tapi mengandung pesan politik sangat kuat. Ini menunjukkan
semangat partisipan politik yang kuat walaupun mereka tidak termasuk tim
sukses.
Fenomena baru itu menjadi magnet tersendiri dan punya daya sedot luar
biasa karena dapat meningkatkan partisipasi politik pemilih sekaligus
menurunkan angka golput. Namun kemeningkatan partisipasi politik berisiko
menimbulkan beberapa persoalan baru menyangkut ketersediaan surat suara. Hal
itu juga sudah diantisipasi dengan cadangan 2% di tiap TPS, dan andai tak
mencukupi akan diambilkan dari TPS lain yang terdekat.
Tetapi surat suara harus tetap mencukupi guna mengantisipasi pemilih
yang menggunakan KTP. Kasus di Hong Kong dapat menjadi referensi bahwa banyak
pemilih tak dapat menggunakan hak pilihnya karena jumlah cadangan surat suara
tidak mencukupi, termasuk di Konjen Los Angeles Amerika Serikat banyak turis
(orang Indonesia) yang sedang berlibur menggunakan hak pilihnya, dan di
Auckland Selandia Baru yang kehabisan surat suara dan harus menunggu surat
suara cadangan sisa dari kota lain.
Antisipasi
Kecurangan
Karena hanya ada dua kandidat capres-cawapres maka risiko kecurangan
harus diantisipasi, misalnya mengawal penghitungan suara dari TPS, PPS hingga
minimal PPK karena perbaikan rekapitulasi penghitungan suara hanya dapat
dilakukan setingkat di bawahnya. Form C1 di TPS harus dikawal ketat oleh
saksi karena merupakan muara dari suara rakyat. Cara lain mencegah kecurangan
dapat mengunggah aplikasi iWitness Pilpres atau memotret form C1.
Awasi surat suara yang tidak terpakai supaya jangan sampai dicoblos
oleh penyelenggara. KPU perlu menginformasikan berapa banyak surat suara yang
dicetak mengingat data itu penting untuk mengetahui peredaran surat suara
dengan hasil akhir penghitungan suara di tingkat nasional.
Ke depan, sudah waktunya paradigma pemilu konvensional berubah menjadi
pemilu kreatif guna mengantisipasi karnaval demokrasi. Partisipan pun harus
dewasa dalam berpolitik. Akhirnya, selamat mencoblos. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar