Jumat, 11 Juli 2014

Karnaval Demokrasi 2014

Karnaval Demokrasi 2014

Ari Pradhanawati  ;   Sekretaris Program Doktor Ilmu Sosial FISIP
 Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 09 Juli 2014
                                                


HARI ini rakyat Indonesia melalui Pilpres 2014 menggunakan hak politiknya secara langsung untuk kali ketiga. Antusiasme pemilih meningkat tajam dilihat dari motivasi dan partisipasi yang berusaha terdaftar di DPT, pemilih yang pindah mencoblos dengan surat undangan C5, pemilih yang menggunakan KTP, dan pemilih di luar negeri dengan memakai paspor.

Ini menandakan sepanjang sejarah pemilu, Pilpres 2014 terasa sangat berbeda, terutama bila menelusuri pergerakan pemilih yang sangat tinggi untuk mencoblos, terutama masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri.

Dalam waktu 30 tahun belum pernah ada antrean panjang, pemilih rela antre berjam- jam, terkena panas matahari dan tempias hujan tanpa sedikit pun bergeser dari barisan. Itu semua demi perubahan yang sudah lama ditunggu. Terlepas dari antusiasme itu, ada beberapa hal yang perlu dikaji sehubungan euforia politik semasa kampanye. Rakyat diberi sajian mirip gosip politik (politic infotainment) yang lebih mengarah ke pribadi capres-cawapres.

Sajian itu disampaikan lewat kampanye hitam seperti fitnah atau informasi lain yang tidak rasional, sebagian besar melalui media sosial. Intensitasnya bahkan lebih masif ketimbang membicarakan substansi (visi, misi, dan program). Sajian masif gosip politik tersebut mau tak mau menjadi porsi utama.

Kendati suguhan itu cukup mengganggu, rakyat tidak bisa menghindari dan terpaksa menikmati. Kemerebakan buying vote (pemberian sembako, pembangunan fasilitas umum untuk masyarakat) dan praktik politik uang tampak dibiarkan dan dilegalkan sehingga suara yang tidak rasional dibeli dengan cara tidak rasional pula.

Tidak Mendidik

Lembaga survei juga memberi kontribusi cukup signifikan karena keberpihakannya kepada salah satu kandidat. Penegakan hukum pun bersifat kaku dan saling menunggu, termasuk Bawaslu yang seakan-akan tak bisa berbuat apa-apa dan tidak mampu mengawasi secara maksimal berkait banyaknya serangan dari berbagai pihak.

Euforia tersebut mengakibatkan pendidikan politik dalam era Pilpres 2014 menjadi tidak mendidik, dengan banyaknya intimidasi kepada rakyat untuk memilih kandidat tertentu, atau intimidasi akan ada kerusuhan seusai pilpres.

Termasuk intimidasi kepada pejabat di pemerintahan, terutama perangkat desa, untuk mendukung salah satu kandidat. Padahal posisi mereka sebagai PNS seharusnya bersikap netral. Di balik euforia politik tersebut, ada fenomena baru yang perlu dicatat sepanjang sejarah demokratisasi di Indonesia, yaitu semangat gotong royong yang merupakan kerja sama demi kebaikan guna memperkecil buying vote dan money politics.

Hal itu ternyata mendapat apresiasi dan antusiasme dari rakyat, bahkan menjadi sebuah bangunan yang terpilin-pilin dengan kemunculan sukarelawan. Fenomena baru mengenai sukarelawan ini sejalan dengan pendapat David F Roth dan Frank L Wilson dalam Miriam Budihardjo (1981:6 dan 2008:373) tentang piramida partisipasi politik.

Bahwa ada pergeseran partisipasi dari apolitis (golput) ke penonton (aktif dalam perkembangan politik) kemudian menjadi partisipan (sukarelawan dan tidak ada konsesi/transaksi). Semua lapisan masyarakat bergerak tanpa dikomando/dimobilisasi dengan membuat kegiatan yang cukup kreatif.

Hal itu tampak terutama pada kalangan anak muda, yang awalnya tidak peduli menjadi sangat peduli, melalui akses media sosial, sehingga membentuk sebuah karnaval demokrasi: peserta datang untuk menghias diri sendiri, dan datang untuk memeriahkan event ”karnaval” tersebut.

Mereka aktif meramaikan karnaval, tidak lagi sebagai penonton tapi aktor aktif. Tak bisa dimungkiri, pilpres kali ini berbeda dari pesta demokrasi yang biasanya hanya mengundang publik untuk menonton (bagi-bagi kaos dan yang tampil performe kandidat). Kini semua sajian dalam karnaval demokrasi dilakukan dan dibiayai dari, oleh, dan untuk rakyat.

Contohnya pembagian kaos/atribut kandidat yang disediakan oleh partisipan, pembuatan video ”jangan golput”, jalan sehat, car free day, konser musik, poster online, profile picture/display profile, atraksi bola ”tolak golput”, dan sebagainya. Selain itu, di media sosial berkembang sharing dan forwading konten-konten politik melalui gambar-gambar lucu yang sudah dimodifikasi tapi mengandung pesan politik sangat kuat. Ini menunjukkan semangat partisipan politik yang kuat walaupun mereka tidak termasuk tim sukses.

Fenomena baru itu menjadi magnet tersendiri dan punya daya sedot luar biasa karena dapat meningkatkan partisipasi politik pemilih sekaligus menurunkan angka golput. Namun kemeningkatan partisipasi politik berisiko menimbulkan beberapa persoalan baru menyangkut ketersediaan surat suara. Hal itu juga sudah diantisipasi dengan cadangan 2% di tiap TPS, dan andai tak mencukupi akan diambilkan dari TPS lain yang terdekat.

Tetapi surat suara harus tetap mencukupi guna mengantisipasi pemilih yang menggunakan KTP. Kasus di Hong Kong dapat menjadi referensi bahwa banyak pemilih tak dapat menggunakan hak pilihnya karena jumlah cadangan surat suara tidak mencukupi, termasuk di Konjen Los Angeles Amerika Serikat banyak turis (orang Indonesia) yang sedang berlibur menggunakan hak pilihnya, dan di Auckland Selandia Baru yang kehabisan surat suara dan harus menunggu surat suara cadangan sisa dari kota lain.

Antisipasi Kecurangan

Karena hanya ada dua kandidat capres-cawapres maka risiko kecurangan harus diantisipasi, misalnya mengawal penghitungan suara dari TPS, PPS hingga minimal PPK karena perbaikan rekapitulasi penghitungan suara hanya dapat dilakukan setingkat di bawahnya. Form C1 di TPS harus dikawal ketat oleh saksi karena merupakan muara dari suara rakyat. Cara lain mencegah kecurangan dapat mengunggah aplikasi iWitness Pilpres atau memotret form C1.

Awasi surat suara yang tidak terpakai supaya jangan sampai dicoblos oleh penyelenggara. KPU perlu menginformasikan berapa banyak surat suara yang dicetak mengingat data itu penting untuk mengetahui peredaran surat suara dengan hasil akhir penghitungan suara di tingkat nasional.

Ke depan, sudah waktunya paradigma pemilu konvensional berubah menjadi pemilu kreatif guna mengantisipasi karnaval demokrasi. Partisipan pun harus dewasa dalam berpolitik. Akhirnya, selamat mencoblos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar