Senin, 07 Juli 2014

Sportivitas dalam Pilpres

                                          Sportivitas dalam Pilpres

A Zaini Bisri  ;   Wartawan Suara Merdeka,
Mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA,  05 Juli 2014
                                       


PILPRES 2014 berlangsung bersamaan dengan Piala Dunia Brasil. Ada semangat dalam pesta sepak bola sejagat itu yang bisa ditansformasikan ke dalam situasi kontestasi dalam pilpres. Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan capres-cawapres hampir analog dengan situasi pertandingan di Piala Dunia.

Sportivitas adalah istilah yang lazim dalam jenis olahraga kompetisi. Sportivitas merupakan bagian dari isu etika dalam olahraga. Nilai utama dari sportivitas adalah kesadaran tentang hasil suatu pertandingan, yaitu menang atau kalah.

Usaha untuk memenangi pertandingan itulah yang membuat situasi persaingan atau kompetisi dalam olahraga menjadi menonjol. Etika yang kurang bermoral, seperti berbuat curang atau melukai lawan demi kemenangan, acapkali muncul.

Menurut Albert Camus, pakar yang mendalami etika dalam olahraga, dunia olahraga mengajarkan sejumlah etika seperti kerja sama tim, fair play, dan sikap sportif. Etika ini bisa ditanamkan melalui keikutsertaan secara teratur dalam kegiatan olahraga.

Secara empiris, kompetisi dalam olahraga lebih menumbuhkan persahabatan daripada alienasi (perselisihan). Alienasi bukanlah konsekuensi yang secara alamiah muncul karena kompetisi, melainkan karena telah terjadi kerusakan (defective mode) dalam kompetisi (Juliantine, 2003). Alienasi jarang terjadi jika kompetisi berlangsung baik.

Potensi terjadinya alienasi, misalnya, kecurigaan terhadap sang pengadil. Seperti sikap pelatih Amerika Serikat, Juergen Klinsmann, atas pemilihan wasit pertandingan AS melawan Belgia di perdelapan final Piala Dunia, Diamel Haimoudi dari Aljazair. Alasannya, Haimoudi yang berbahasa Prancis lebih mudah berkomunikasi dengan pemain Belgia dan AS mengalahkan Aljazair di Piala Dunia 2010.

Unsur Kompetisi

Analogi Piala Dunia dengan pilpres terutama dalam unsur-unsur kompetisinya. Suatu pertandingan sepak bola melibatkan penyelenggara, wasit, penonton, dan favoritisme atau nasionalisme dengan segala atributnya (kostum, bendera, lagu kebangsaan, emblem, berbagai ragam merchandise untuk suporter).

Pilpres juga melibatkan penyelenggara (KPU), wasit (Bawaslu), dan favoritisme terhadap pasangan calon. Bedanya, dalam pertandingan sepak bola, penonton tidak menentukan hasil pertandingan. Dalam pilpres, penonton atau suporter ikut menentukan hasil pemilu.

Status ìsuporterî dalam pemilu telah memicu diskusi dan perdebatan yang panjang seputar teori demokrasi. Demokrasi yang berasal dari istilah Yunani kuno, demos (rakyat) dan kratos/cratein (pemerintahan), berarti pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Kini demokrasi juga diartikan sebagai sistem politik atau sikap hidup.

Aristoteles bahkan sudah mempersoalkan peran demos dalam kerangka sistem demokrasi. Dia mempertanyakan, apakah rakyat awam yang tidak tahu menahu soal politik boleh mendapatkan mandat untuk memerintah? Dari pertanyaan inilah kemudian muncul sistem demokrasi perwakilan.

Demokrasi perwakilan sebagai model sistem liberal kemudian dikritik oleh banyak ahli, termasuk pemikir Jerman, Juergen Habermas. Menurut Habermas, globalisasi telah membuat konsep kedaulatan rakyat yang terwakili oleh negara menjadi kompleks dan problematik. Ada kekuatan bisnis (pasar) yang mengurangi peran kedaulatan negara.

Kehidupan bernegara harus dilihat sebagai suatu sistem jaringan sosial dengan interaksi yang kompleks antara negara, pasar, dan rakyat. Dalam relasi ini, komunikasi menjadi penting dan strategis untuk mendamaikan peran negara, pasar, dan rakyat (Habermas, 2007).

Alienasi Pilpres

Mengacu pada analogi kompetisi dalam sepak bola, sportivitas dalam pilpres akan terjamin jika unsur-unsur kompetisinya terjaga. Batas antara partisan dan nonpartisan harus jelas. Pihak partisan adalah kontestan dan kompartemennya. Dalam hal ini, pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa dan Joko Widodo - Jusuf Kalla beserta koalisi partai pengusungnya, tim sukses, dan kelompok relawan. Di luar itu, semua harus diposisikan sebagai pihak nonpartisan.

Unsur utama yang menjamin kontestasi berlangsung adil dan jujur adalah penyelenggara dan pengadil. KPU dan Bawaslu harus independen, tidak boleh bermain mata dengan kontestan. Bawaslu sebagai wasit akan dihormati dan ditaati sepanjang mampu bersikap tegas, adil, dan konstitusional.

Lalu, bagaimanakah peran pendukung? Seperti suporter bola, pendukung capres-cawapres bisa menjadi pemicu alienasi dalam pilpres. Sikap berlebihan untuk meraih kemenangan dapat mendorong kecurangan, pelanggaran aturan main, dan menghalalkan segala cara.

Dalam pilpres kali ini, dua pasangan calon yang berhadapan secara head to head dengan mengadu jargon nasionalisme dan kerakyatan, menimbulkan polarisasi dukungan. Termasuk tokoh-tokoh politik dalam barisan sakit hati tidak punya pilihan lain kecuali memihak salah satu pasangan.

Sementara itu, partisipasi politik massa meluas akibat perubahan struktur kelas sosial, konflik politik, dan komunikasi massa modern. Partisipasi yang tinggi atau dikenal sebagai ”paradoks pluralis” (Apter, 1996) meningkatkan demokrasi tapi melemahkan koordinasi dan kontrol. Eksesnya berupa perilaku pendukung yang ekstrem.

Karena itu, untuk mencegah alienasi dalam pilpres, semua pihak patut menjunjung tinggi sportivitas dengan menghargai lawan politik dan menghormati hasil akhir pilpres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar