Sportivitas
dalam Pilpres
A Zaini Bisri ;
Wartawan Suara Merdeka,
Mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 05 Juli 2014
PILPRES 2014 berlangsung bersamaan dengan Piala Dunia Brasil. Ada
semangat dalam pesta sepak bola sejagat itu yang bisa ditansformasikan ke
dalam situasi kontestasi dalam pilpres. Pilpres yang hanya diikuti dua
pasangan capres-cawapres hampir analog dengan situasi pertandingan di Piala
Dunia.
Sportivitas adalah istilah yang lazim dalam jenis olahraga kompetisi.
Sportivitas merupakan bagian dari isu etika dalam olahraga. Nilai utama dari
sportivitas adalah kesadaran tentang hasil suatu pertandingan, yaitu menang
atau kalah.
Usaha untuk memenangi pertandingan itulah yang membuat situasi
persaingan atau kompetisi dalam olahraga menjadi menonjol. Etika yang kurang
bermoral, seperti berbuat curang atau melukai lawan demi kemenangan, acapkali
muncul.
Menurut Albert Camus, pakar yang mendalami etika dalam olahraga, dunia
olahraga mengajarkan sejumlah etika seperti kerja sama tim, fair play, dan
sikap sportif. Etika ini bisa ditanamkan melalui keikutsertaan secara teratur
dalam kegiatan olahraga.
Secara empiris, kompetisi dalam olahraga lebih menumbuhkan persahabatan
daripada alienasi (perselisihan). Alienasi bukanlah konsekuensi yang secara
alamiah muncul karena kompetisi, melainkan karena telah terjadi kerusakan (defective mode) dalam kompetisi (Juliantine, 2003). Alienasi jarang
terjadi jika kompetisi berlangsung baik.
Potensi terjadinya alienasi, misalnya, kecurigaan terhadap sang
pengadil. Seperti sikap pelatih Amerika Serikat, Juergen Klinsmann, atas
pemilihan wasit pertandingan AS melawan Belgia di perdelapan final Piala
Dunia, Diamel Haimoudi dari Aljazair. Alasannya, Haimoudi yang berbahasa Prancis
lebih mudah berkomunikasi dengan pemain Belgia dan AS mengalahkan Aljazair di
Piala Dunia 2010.
Unsur
Kompetisi
Analogi Piala Dunia dengan pilpres terutama dalam unsur-unsur
kompetisinya. Suatu pertandingan sepak bola melibatkan penyelenggara, wasit,
penonton, dan favoritisme atau nasionalisme dengan segala atributnya (kostum,
bendera, lagu kebangsaan, emblem, berbagai ragam merchandise untuk suporter).
Pilpres juga melibatkan penyelenggara (KPU), wasit (Bawaslu), dan
favoritisme terhadap pasangan calon. Bedanya, dalam pertandingan sepak bola,
penonton tidak menentukan hasil pertandingan. Dalam pilpres, penonton atau
suporter ikut menentukan hasil pemilu.
Status ìsuporterî dalam pemilu telah memicu diskusi dan perdebatan yang
panjang seputar teori demokrasi. Demokrasi yang berasal dari istilah Yunani
kuno, demos (rakyat) dan kratos/cratein (pemerintahan), berarti pemerintahan
oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Kini demokrasi juga diartikan
sebagai sistem politik atau sikap hidup.
Aristoteles bahkan sudah mempersoalkan peran demos dalam kerangka
sistem demokrasi. Dia mempertanyakan, apakah rakyat awam yang tidak tahu
menahu soal politik boleh mendapatkan mandat untuk memerintah? Dari
pertanyaan inilah kemudian muncul sistem demokrasi perwakilan.
Demokrasi perwakilan sebagai model sistem liberal kemudian dikritik
oleh banyak ahli, termasuk pemikir Jerman, Juergen Habermas. Menurut
Habermas, globalisasi telah membuat konsep kedaulatan rakyat yang terwakili
oleh negara menjadi kompleks dan problematik. Ada kekuatan bisnis (pasar)
yang mengurangi peran kedaulatan negara.
Kehidupan bernegara harus dilihat sebagai suatu sistem jaringan sosial
dengan interaksi yang kompleks antara negara, pasar, dan rakyat. Dalam relasi
ini, komunikasi menjadi penting dan strategis untuk mendamaikan peran negara,
pasar, dan rakyat (Habermas, 2007).
Alienasi
Pilpres
Mengacu pada analogi kompetisi dalam sepak bola, sportivitas dalam
pilpres akan terjamin jika unsur-unsur kompetisinya terjaga. Batas antara
partisan dan nonpartisan harus jelas. Pihak partisan adalah kontestan dan
kompartemennya. Dalam hal ini, pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa dan
Joko Widodo - Jusuf Kalla beserta koalisi partai pengusungnya, tim sukses,
dan kelompok relawan. Di luar itu, semua harus diposisikan sebagai pihak
nonpartisan.
Unsur utama yang menjamin kontestasi berlangsung adil dan jujur adalah
penyelenggara dan pengadil. KPU dan Bawaslu harus independen, tidak boleh
bermain mata dengan kontestan. Bawaslu sebagai wasit akan dihormati dan
ditaati sepanjang mampu bersikap tegas, adil, dan konstitusional.
Lalu, bagaimanakah peran pendukung? Seperti suporter bola, pendukung
capres-cawapres bisa menjadi pemicu alienasi dalam pilpres. Sikap berlebihan
untuk meraih kemenangan dapat mendorong kecurangan, pelanggaran aturan main,
dan menghalalkan segala cara.
Dalam pilpres kali ini, dua pasangan calon yang berhadapan secara head
to head dengan mengadu jargon nasionalisme dan kerakyatan, menimbulkan
polarisasi dukungan. Termasuk tokoh-tokoh politik dalam barisan sakit hati
tidak punya pilihan lain kecuali memihak salah satu pasangan.
Sementara itu, partisipasi politik massa meluas akibat perubahan
struktur kelas sosial, konflik politik, dan komunikasi massa modern.
Partisipasi yang tinggi atau dikenal sebagai ”paradoks pluralis” (Apter,
1996) meningkatkan demokrasi tapi melemahkan koordinasi dan kontrol. Eksesnya
berupa perilaku pendukung yang ekstrem.
Karena itu, untuk mencegah alienasi dalam pilpres, semua pihak patut
menjunjung tinggi sportivitas dengan menghargai lawan politik dan menghormati
hasil akhir pilpres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar