Jumat, 11 Juli 2014

Jokowi-JK dan Ketahanan Pangan, Energi, serta Lingkungan

Jokowi-JK dan Ketahanan Pangan,

Energi, serta Lingkungan

Matheos Talakua  ;   Mahasiswa Pascasarjana Biologi (ekologi-konservasi) UGM
SINAR HARAPAN, 10 Juli 2014
                                                


Debat capres-cawapres putaran terakhir yang diselenggarakan KPU dan disiarkan langsung stasiun televisi pada Sabtu (5/7) malam dengan tema “Pangan, Energi, dan Lingkungan” patut diapresiasi.

Pada satu sisi, KPU telah menciptakan atmosfer demokrasi dan pendidikan politik untuk menyampaikan konsep, gagasan, dan strategi pembangunan lima tahunan yang akan dilakukan masing-masing capres-cawapres jika diberikan amanah untuk memimpin bangsa dan negara.

Indonesia termasuk negara kepulauan (archipelago state). Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas dengan jumlah pulau besar dan kecil kurang lebih 14.000 pulau yang membentang dari Sabang, Aceh sampai Merauke, Papua.

Letak wilayahnya sangat strategis, baik dari aspek ekonomi, sosial, ekologi, maupun pertahanan dan militer pada posisi silang antara Benua Asia dan Australia, antara Samudra Hindia dan Smaudra Pasifik. Selain itu, Indonesia merupakan negara megabiodiversitas terbesar nomor dua setelah Brasil dan memiliki jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia dengan jumlah 240 juta jiwa.

Namun, disayangkan potensi yang sangat besar tersebut belum memberikan kontribusi yang maksimal bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia. Cita-cita luhur The founding fathers, yang terurai pada mukadimah UUD 1945.

Gagasan Jokowi-JK tentang ketahanan pangan, energi, dan lingkungan menarik untuk diulas lebih dalam. Konsep dan gagasan yang dipaparkan Jokowi-JK adalah berdasarkan kondisi riil yang ada dalam rakyat dan bangsa Indonesia saat ini.

Ketahanan Pangan

Masalah ketahanan pangan nasional tidaklah parsial, namun terintegrasi dengan pangan daerah dan lokal. Tanpa pangan daerah dan lokal, ketahanan pangan nasional akan terus bermasalah karena sesungguhnya pangan nasional bersumber dari pangan daerah dan lokal.

Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa dan 13 tahun Reformasi, bangsa Indonesia telah dipolakan sedemikian rupa untuk terbiasa makan nasi dan akhirnya menciptakan ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok. Program berasnisasi telah merambah sampai daerah terpencil dan perbatasan.

Pola tersebut membuat rakyat Indonesia mengabaikan pangan lokal sebagai makanan pokok daerah. Pangan daerah dan lokal umumnya dijadikan sebagai makanan sampingan. Apakah kondisi seperti ini harus dipertahankan?

Konsep Jokowi-JK yang akan mencetak 1 juta ha sawah baru, menurut penulis, dapat saja dilakukan. Namun, akan jauh lebih baik jika Jokowi-JK mengembangkan pangan daerah dan lokal untuk ketahanan pangan nasional serta mengubah pola ketergantungan pada nasi (beras).

Ketahanan pangan nasional tidak sama dengan mencetak sawah sebanyak dan seluas mungkin. Ketahanan pangan nasional adalah ketahanan pangan daerah dan lokal. Daerah-daerah di wilayah Indonesia timur, seperti Maluku dan Papua memiliki makanan pokok sagu dan umbi-umbian serta NTT dan Gorotalo memiliki jagung lokal yang sangat baik kualitasnya. Namun ironis, pengembangan sawah dilakukan dengan alih fungsi lahan sagu, umbi, dan jagung menjadi sawah.

Pembukaan areal persawahan di Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Papua tanpa disadari telah mematikan sumber pangan daerah dan lokal. Tidak mengherankan ada kasus di mana ada daerah yang mengalami kelaparan karena tidak ada beras, tetapi sebenarnya daerah tersebut memiliki hasil umbi-umbian.

Wilayah Indonesia memiliki karakteristik daerah yang beragam. Jadi, pembangunan sektor pangan membutuhkan pendekatan khusus yang mengakomodasi pangan daerah dan lokal. Tentunya pendekatan pembangunan pada wilayah daratan yang luas atau pulau besar (continental) akan berbeda dengan pendekatan pembangunan pada wilayah kepulauan.

Ketahanan Energi

Indonesia sudah terlalu lama menggantungkan kehidupan pembangunan pada sektor migas. Pada masa Orde Baru, Indonesia termasuk dalam anggota negara-negara pengekspor minyak. Namun saat ini, Indonesia justru menjadi negara pengimpor minyak terbesar dengan beban anggaran negara yang sangat besar.

Hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah pada sektor energi. Dalam hal penggunaan energi, rakyat Indonesia sudah terpola dengan ketergantungan pada energi minyak bumi dan batu bara yang merupakan bahan bakar fosil hidrokarbon yang tidak dapat pulih (irreversible).

Bahan bakar fosil, minyak bumi dan batu bara mempunyai dampak terhadap kesehatan lingkungan dan ekosistem alam. Begitu banyak industri dan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil tersebut yang akhirnya menghasilkan asap yang mengandung gas karbon dan metana yang dibuang ke atmosfer.

Akumulasi emisi gas di atmosfer dalam konsentrasi yang terus meningkat menimbulkan efek gas rumah kaca (greenhouse effect) yang merupakan penyebab terjadinya pemanasan global (global warming).

Menurut penulis, pola dan perilaku ketergantungan pada bahan bakar fosil harus dikurangi sesegera mungkin saat kita berbicara tentang konsep dan strategi ketahanan energi nasional.

Ketahanan energi nasional tidak semata adalah energi yang bersumber dari bahan bakar fosil. Capres- cawapres Jokowi-K, tentunya sudah memikirkan hal tersebut. Dalam debat capres-cawapres putaran terakhir itu, Jokowi-JK telah menggagas suatu konsep yang mengintegrasikan pola peternakan dengan menciptakan sumber energi yang berasal dari kotoran ternak (biogas) berbasis masyarakat.

Potensi energi yang dimiliki Indonesia tidak hanya bertumpu pada bahan bakar fosil. Ada potensi energi lain yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi bagi masyarakat. Potensi ini, misalnya, potensi energi dari sinar matahari dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.

Wilayah Indonesia yang terletak di kawasan khatulistiwa (ekuator) mendapatkan sinar matahari berlimpah. Sinar matahari yang jatuh pada daerah khatulistiwa dimanfaatkan ekosistem alam hanya 40-45 persen. Sisanya terbuang sebagai energi matahari yang tak terpakai. Energi yang belum dimanfaatkan tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi masyarakat.

Potensi sinar matahari, arus laut dan pasang surut (pasut), serta angin sudah seharusnya ada dalam konsep dan strategi ketahanan energi nasional untuk dikembangkan sebagai sumber energi terbarukan dan dibarukan. Potensi energi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai energi masa kini dan masa depan yang bersifat energi ramah lingkungan dan berbasis masyarakat.

Ketahanan energi nasional sesungguhnya merupakan ketahanan energi daerah dan lokal, yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam (sinar matahari, arus dan pasut air laut, serta angin) daerah dan lokal.

Lingkungan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi-lingkungan, yang menempatkan kepentingan jangka pendek dalam kepentingan jangka panjang.

Paradigma pembangunan antropogenik yang bertumpu hanya pada aspek ekonomi telah menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan. Gagasan Jokowi-JK tentang lingkungan didasari pada kenyataan terjadinya kerusakan hutan tropis dan hutan gambut di Indonesia. Jokowi-JK mengemukakan program reboisasi hutan, termasuk juga akan mengevaluasi izin pengusahaan hutan dan gambut .

Pada debat tersebut Jokowi-JK belum menyinggung masalah ekosistem kota urban. Menurut penulis, ekosistem kota urban perlu mendapat perhatian khusus. Jika terpilih, Jokowi-JK harus menerapkan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 40 persen dari luas wilayah yang dikembangkan untuk sarana dan infrastruktur yang terintegrasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Kabupaten. Peraturan tentang RTH sudah ada, tetapi implementasinya sangat minim karena benturan berbagai kepentingan.

Perlu ketegasan dalam menerapkan RTH. Selain itu, masalah sampah kota atau kabupaten agaknya luput dari perhatian Jokowi-JK. Jokowi-JK perlu mempunyai kebijakan untuk membuat minimal 1 reaktor pengolahan sampah pada setiap kota atau kabupaten. Hal lainnya adalah tetap mengembangkan konsep 3R (reuse, reduce, recycling) pada setiap desa dan kecamatan. Masyarakat tetap diberikan pendidikan dan pemahaman tentang perilaku mencintai lingkungan yang dimulai dari diri sendiri. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar