Jokowi-JK
dan Ketahanan Pangan,
Energi,
serta Lingkungan
Matheos Talakua ; Mahasiswa Pascasarjana Biologi (ekologi-konservasi) UGM
|
SINAR
HARAPAN, 10 Juli 2014
Debat capres-cawapres putaran terakhir yang diselenggarakan KPU dan
disiarkan langsung stasiun televisi pada Sabtu (5/7) malam dengan tema
“Pangan, Energi, dan Lingkungan” patut diapresiasi.
Pada satu sisi, KPU telah menciptakan atmosfer demokrasi dan pendidikan
politik untuk menyampaikan konsep, gagasan, dan strategi pembangunan lima
tahunan yang akan dilakukan masing-masing capres-cawapres jika diberikan
amanah untuk memimpin bangsa dan negara.
Indonesia termasuk negara kepulauan (archipelago state). Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas
dengan jumlah pulau besar dan kecil kurang lebih 14.000 pulau yang membentang
dari Sabang, Aceh sampai Merauke, Papua.
Letak wilayahnya sangat strategis, baik dari aspek ekonomi, sosial,
ekologi, maupun pertahanan dan militer pada posisi silang antara Benua Asia
dan Australia, antara Samudra Hindia dan Smaudra Pasifik. Selain itu,
Indonesia merupakan negara megabiodiversitas terbesar nomor dua setelah
Brasil dan memiliki jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia dengan
jumlah 240 juta jiwa.
Namun, disayangkan potensi yang sangat besar tersebut belum memberikan
kontribusi yang maksimal bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan bangsa
Indonesia. Cita-cita luhur The founding
fathers, yang terurai pada mukadimah UUD 1945.
Gagasan Jokowi-JK tentang ketahanan pangan, energi, dan lingkungan
menarik untuk diulas lebih dalam. Konsep dan gagasan yang dipaparkan
Jokowi-JK adalah berdasarkan kondisi riil yang ada dalam rakyat dan bangsa
Indonesia saat ini.
Ketahanan
Pangan
Masalah ketahanan pangan nasional tidaklah parsial, namun terintegrasi
dengan pangan daerah dan lokal. Tanpa pangan daerah dan lokal, ketahanan
pangan nasional akan terus bermasalah karena sesungguhnya pangan nasional
bersumber dari pangan daerah dan lokal.
Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa dan 13 tahun Reformasi, bangsa
Indonesia telah dipolakan sedemikian rupa untuk terbiasa makan nasi dan
akhirnya menciptakan ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok. Program
berasnisasi telah merambah sampai daerah terpencil dan perbatasan.
Pola tersebut membuat rakyat Indonesia mengabaikan pangan lokal sebagai
makanan pokok daerah. Pangan daerah dan lokal umumnya dijadikan sebagai
makanan sampingan. Apakah kondisi seperti ini harus dipertahankan?
Konsep Jokowi-JK yang akan mencetak 1 juta ha sawah baru, menurut
penulis, dapat saja dilakukan. Namun, akan jauh lebih baik jika Jokowi-JK
mengembangkan pangan daerah dan lokal untuk ketahanan pangan nasional serta
mengubah pola ketergantungan pada nasi (beras).
Ketahanan pangan nasional tidak sama dengan mencetak sawah sebanyak dan
seluas mungkin. Ketahanan pangan nasional adalah ketahanan pangan daerah dan
lokal. Daerah-daerah di wilayah Indonesia timur, seperti Maluku dan Papua
memiliki makanan pokok sagu dan umbi-umbian serta NTT dan Gorotalo memiliki
jagung lokal yang sangat baik kualitasnya. Namun ironis, pengembangan sawah
dilakukan dengan alih fungsi lahan sagu, umbi, dan jagung menjadi sawah.
Pembukaan areal persawahan di Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan
Papua tanpa disadari telah mematikan sumber pangan daerah dan lokal. Tidak
mengherankan ada kasus di mana ada daerah yang mengalami kelaparan karena
tidak ada beras, tetapi sebenarnya daerah tersebut memiliki hasil
umbi-umbian.
Wilayah Indonesia memiliki karakteristik daerah yang beragam. Jadi,
pembangunan sektor pangan membutuhkan pendekatan khusus yang mengakomodasi
pangan daerah dan lokal. Tentunya pendekatan pembangunan pada wilayah daratan
yang luas atau pulau besar (continental)
akan berbeda dengan pendekatan pembangunan pada wilayah kepulauan.
Ketahanan
Energi
Indonesia sudah terlalu lama menggantungkan kehidupan pembangunan pada
sektor migas. Pada masa Orde Baru, Indonesia termasuk dalam anggota
negara-negara pengekspor minyak. Namun saat ini, Indonesia justru menjadi
negara pengimpor minyak terbesar dengan beban anggaran negara yang sangat
besar.
Hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah pada sektor energi. Dalam hal
penggunaan energi, rakyat Indonesia sudah terpola dengan ketergantungan pada
energi minyak bumi dan batu bara yang merupakan bahan bakar fosil hidrokarbon
yang tidak dapat pulih (irreversible).
Bahan bakar fosil, minyak bumi dan batu bara mempunyai dampak terhadap
kesehatan lingkungan dan ekosistem alam. Begitu banyak industri dan kendaraan
bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil tersebut yang akhirnya
menghasilkan asap yang mengandung gas karbon dan metana yang dibuang ke
atmosfer.
Akumulasi emisi gas di atmosfer dalam konsentrasi yang terus meningkat
menimbulkan efek gas rumah kaca (greenhouse
effect) yang merupakan penyebab terjadinya pemanasan global (global warming).
Menurut penulis, pola dan perilaku ketergantungan pada bahan bakar
fosil harus dikurangi sesegera mungkin saat kita berbicara tentang konsep dan
strategi ketahanan energi nasional.
Ketahanan energi nasional tidak semata adalah energi yang bersumber
dari bahan bakar fosil. Capres- cawapres Jokowi-K, tentunya sudah memikirkan
hal tersebut. Dalam debat capres-cawapres putaran terakhir itu, Jokowi-JK
telah menggagas suatu konsep yang mengintegrasikan pola peternakan dengan
menciptakan sumber energi yang berasal dari kotoran ternak (biogas) berbasis
masyarakat.
Potensi energi yang dimiliki Indonesia tidak hanya bertumpu pada bahan
bakar fosil. Ada potensi energi lain yang dapat dikembangkan sebagai sumber
energi bagi masyarakat. Potensi ini, misalnya, potensi energi dari sinar
matahari dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi.
Wilayah Indonesia yang terletak di kawasan khatulistiwa (ekuator)
mendapatkan sinar matahari berlimpah. Sinar matahari yang jatuh pada daerah
khatulistiwa dimanfaatkan ekosistem alam hanya 40-45 persen. Sisanya terbuang
sebagai energi matahari yang tak terpakai. Energi yang belum dimanfaatkan
tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi masyarakat.
Potensi sinar matahari, arus laut dan pasang surut (pasut), serta angin
sudah seharusnya ada dalam konsep dan strategi ketahanan energi nasional
untuk dikembangkan sebagai sumber energi terbarukan dan dibarukan. Potensi
energi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai energi masa kini dan masa depan
yang bersifat energi ramah lingkungan dan berbasis masyarakat.
Ketahanan energi nasional sesungguhnya merupakan ketahanan energi
daerah dan lokal, yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam (sinar
matahari, arus dan pasut air laut, serta angin) daerah dan lokal.
Lingkungan
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan
aspek ekonomi, sosial, dan ekologi-lingkungan, yang menempatkan kepentingan
jangka pendek dalam kepentingan jangka panjang.
Paradigma pembangunan antropogenik yang bertumpu hanya pada aspek
ekonomi telah menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan. Gagasan Jokowi-JK
tentang lingkungan didasari pada kenyataan terjadinya kerusakan hutan tropis
dan hutan gambut di Indonesia. Jokowi-JK mengemukakan program reboisasi
hutan, termasuk juga akan mengevaluasi izin pengusahaan hutan dan gambut .
Pada debat tersebut Jokowi-JK belum menyinggung masalah ekosistem kota
urban. Menurut penulis, ekosistem kota urban perlu mendapat perhatian khusus.
Jika terpilih, Jokowi-JK harus menerapkan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar
40 persen dari luas wilayah yang dikembangkan untuk sarana dan infrastruktur
yang terintegrasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Kabupaten. Peraturan
tentang RTH sudah ada, tetapi implementasinya sangat minim karena benturan
berbagai kepentingan.
Perlu ketegasan dalam menerapkan RTH. Selain itu, masalah sampah kota
atau kabupaten agaknya luput dari perhatian Jokowi-JK. Jokowi-JK perlu
mempunyai kebijakan untuk membuat minimal 1 reaktor pengolahan sampah pada
setiap kota atau kabupaten. Hal lainnya adalah tetap mengembangkan konsep 3R
(reuse, reduce, recycling) pada
setiap desa dan kecamatan. Masyarakat tetap diberikan pendidikan dan
pemahaman tentang perilaku mencintai lingkungan yang dimulai dari diri
sendiri. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar