Pemerintahan
Baru dan Utang Kita
Ivan A Hadar ; Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for Democracy Education);
Ketua Badan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)
|
SINAR
HARAPAN, 08 Juli 2014
Pada Oktober 2014, masa kerja kabinet Indonesia Bersatu Jilid II akan
berakhir. Pemerintahan selanjutnya punya pekerjaan rumah, hasil peninggalan
pemerintahan SBY-Boediono. Salah satu yang menjadi sorotan adalah persoalan
utang.
Data terbaru yang dirilis Bank Indonesia (BI), pada Maret 2014 porsi
utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$ 276,5 miliar, setara Rp
3.156,8 triliun. Besaran utang ini melonjak 8,7 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Komposisinya, ULN sektor publik mencapai US$ 130,5 miliar dan ULN
sektor swasta US$ 146,0 miliar (Kompas.com,
23/5/2014).
Dengan komposisi tersebut, utang pemerintah saat ini mencapai Rp 2.400
triliun. Tahun depan, utang pemerintah diperkirakan membengkak jika defisit
anggaran tidak terjaga dengan baik. Bagi BI, membengkaknya utang luar negeri
dan besarnya subsidi BBM, menjadi tantangan ekonomi Indonesia terbesar ke
depannya.
Dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres)
Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta harus mencari komposisi yang tepat dalam
pengelolaan fiskal, serta solusi untuk menekan utang luar negeri.
Dalam kampanyenya yang terbilang
“berani”, Prabowo-Hatta berjanji akan mengurangi pinjaman luar negeri baru
oleh pemerintah, baik multilateral maupun bilateral, dengan target menjadi 0
pada 2019.
Pasangan Jokowi-JK dalam visi-misinya menjanjikan utang baru hanya
ditujukan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang produktif dalam rangka
meningkatkan potensi.
Pemanfaatan utang selama ini disinyalir memang sering tidak tepat
sasaran, dikorupsi, dan pada masa pemerintahan otoritarian juga digunakan
untuk membeli senjata yang dipakai untuk membasmi suara-suara kritis
rakyatnya.
Ironisnya, berbagai penyimpangan tersebut tidak menghentikan lembaga
keuangan global, seperti IMF dan Bank Dunia, untuk tetap menggelontorkan
utang yang ikut memperlebar ketimpangan sosial di berbagai negara berkembang,
termasuk Indonesia.
Penyelesaian
Utang
Pada Juli 2014, Bank Dunia dan IMF genap berusia 70 tahun. Bagi banyak
pihak, 70 tahun lembaga Bretton Woods ini dianggap pas untuk mempercepat
proses reformasi sistem pengambilan keputusan. Tuntutan lain yang juga gencar
dikampanyekan sejak lebih dari satu dekade terakhir, adalah pengurangan atau
penghapusan utang luar negeri negara-negara berkembang.
Sebuah postcard yang beredar luas di Eropa dan AS, bertuliskan “2014 is the 70th Birthday of the World
Bank and IMF… but… It’s No Time for a Party! It’s Time to Drop the Debt!”
Saat ini, misalnya, setiap tahun negara-negara termiskin Afrika harus
membayar US$ 20-25 miliar untuk cicilan utangnya kepada Bank Dunia, IMF, dan
negara-negara industri. Sebuah jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan
utang baru dan bantuan pembangunan yang diperoleh mereka.
Kritik pun membahana. “Utang
membunuh”, teriak aktivis LSM di utara dan selatan berkaitan dengan
penghematan anggaran kesehatan dan pendidikan demi membayar utang.
Pada 1999, IMF dan Bank Dunia akhirnya bersedia memberikan pemotongan
utang kepada 41 negara miskin pengutang berat, setelah melalui program
penyesuaian selama tiga tahun. Meskipun demikian, bagi kebanyakan negara
tersebut, pemotongan sebagian utang belumlah cukup untuk memulai kembali
pembangunan ekonominya.
Sebenarnya, sejak akhir 1990-an, kritik santer telah dilontarkan “orang
dalam” dan politikus konservatif, bahwa selama 50 tahun keberadaannya yang
telah menghabiskan dana US$ 470 miliar, Bank Dunia dan IMF belum
memperlihatkan hasil nyata yang setimpal. Bahkan, banyak negara yang menjadi
korban.
Indonesia bisa menjadi salah satu contoh karena selalu menjadi good boy, Indonesia harus membayar
mahal akibat mengikuti resep yang salah dalam penanganan krisis moneter
1997/1998. Dampaknya fatal seperti ditunjukkan data-data berikut.
Sejak krisis hingga akhir 2002, dalam bidang pendidikan, terjadi
penurunan murid sekolah sebesar 25 persen, tingkat kemiskinan meningkat tajam
dari 11 persen menjadi 40-60 persen. Atas anjuran IMF, pemerintah Indonesia
memberikan suntikan dana segar triliunan rupiah kepada bank-bank bermasalah,
tanpa menyelesaikan masalah (INFID,
2003).
Dalam sebuah seminar ekonomi regional di Bangkok oleh Asisten Direktur
IMF untuk Asia Pasifik, Charles Adam telah mengakui kesalahan yang dibuat IMF
dalam menangani krisis di Indonesia (Tempo.co,
13/11/2003).
Dalam paper berjudul Lessons from
the Asian Crisis, secara implisit IMF mengakui kesalahannya dalam
penutupan 16 bank di awal krisis yang terjadi di Indonesia. Dikatakan,
situasi yang terjadi akan berbeda jika langkah penutupan 16 bank itu
dilakukan setelah langkah pengamanan, seperti blanket guarantee, sudah
diciptakan (Harinowo, Kompas, 23/8/2004).
Dampaknya masih terasa hingga saat ini. Bagi Indonesia, yang belum
sepenuhnya beranjak keluar dari krisis, dibutuhkan perbaikan jaringan
keamanan sosial serta penghapusan (sebagian) utang luar negeri.
Perekonomian negeri ini dipastikan masih tetap sulit tumbuh dengan
sehat, selama paling tidak sebagian utang luar negerinya belum dihapus. Untuk
membayar utang, sebagian besar devisa kita kembali mengalir ke negara-negara
industri.
Kita berharap usai Pilpres 2014, berbagai kesenjangan ekonomi di negeri
ini akan membaik/berkurang. Selain tekad dan janji dari dua pasangan
capres-cawapres, terlihat IMF dan Bank Dunia semakin mendukung analisis
ekonom Keynesian dan opini ekonom peraih Hadiah Nobel, Joseph Stiglitz,
ketimpangan membuat pertumbuhan rawan, menciptakan kondisi yang tidak
menentu, dan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam riset terbarunya, IMF dan Bank Dunia yakin pemerataan tidak akan
mengganggu pertumbuhan ekonomi. Hal itu dikatakan demikian Max Lawson, Kepala
Kebijakan dan Advokasi di Oxfam GB, organisasi kemanusiaan yang hadir pada
pertemuan IMF-Bank Dunia tahun ini.
Dalam upaya mengatasi kesenjangan, terbersit harapan meskipun kita
telah melunasi utang kepada IMF, belum terlambat dan sangat patut bila bangsa
ini menuntut “ganti rugi” dalam
bentuk hibah.
Setidaknya, IMF dan Bank Dunia bisa memberikan hibah murni atau
mengonversi (debt swap) sebagian
utang pemerintah ke dalam upaya pencapaian MDGs atau peningkatan IPM (indeks
pembangunan manusia), seperti yang dilakukan beberapa lembaga dan negara
donor.
Pada 2012, misalnya, pemerintah Jerman pernah memberikan hibah ratusan
miliar rupiah dalam bentuk debt swap
untuk pendidikan. Pada saat yang sama, presiden dan wakil presiden terpilih
negeri ini diharapkan menepati janjinya untuk mengurangi ketergantungan pembangunan
negeri ini kepada utang. Apalagi, utang yang membunuh. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar