Jumat, 11 Juli 2014

Pemerintahan Baru dan Utang Kita

                           Pemerintahan Baru dan Utang Kita

Ivan A Hadar  ;   Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for Democracy Education); Ketua Badan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)
SINAR HARAPAN, 08 Juli 2014
                                                


Pada Oktober 2014, masa kerja kabinet Indonesia Bersatu Jilid II akan berakhir. Pemerintahan selanjutnya punya pekerjaan rumah, hasil peninggalan pemerintahan SBY-Boediono. Salah satu yang menjadi sorotan adalah persoalan utang.

Data terbaru yang dirilis Bank Indonesia (BI), pada Maret 2014 porsi utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$ 276,5 miliar, setara Rp 3.156,8 triliun. Besaran utang ini melonjak 8,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Komposisinya, ULN sektor publik mencapai US$ 130,5 miliar dan ULN sektor swasta US$ 146,0 miliar (Kompas.com, 23/5/2014).

Dengan komposisi tersebut, utang pemerintah saat ini mencapai Rp 2.400 triliun. Tahun depan, utang pemerintah diperkirakan membengkak jika defisit anggaran tidak terjaga dengan baik. Bagi BI, membengkaknya utang luar negeri dan besarnya subsidi BBM, menjadi tantangan ekonomi Indonesia terbesar ke depannya.

Dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta harus mencari komposisi yang tepat dalam pengelolaan fiskal, serta solusi untuk menekan utang luar negeri.

 Dalam kampanyenya yang terbilang “berani”, Prabowo-Hatta berjanji akan mengurangi pinjaman luar negeri baru oleh pemerintah, baik multilateral maupun bilateral, dengan target menjadi 0 pada 2019.

Pasangan Jokowi-JK dalam visi-misinya menjanjikan utang baru hanya ditujukan untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang produktif dalam rangka meningkatkan potensi.

Pemanfaatan utang selama ini disinyalir memang sering tidak tepat sasaran, dikorupsi, dan pada masa pemerintahan otoritarian juga digunakan untuk membeli senjata yang dipakai untuk membasmi suara-suara kritis rakyatnya.

Ironisnya, berbagai penyimpangan tersebut tidak menghentikan lembaga keuangan global, seperti IMF dan Bank Dunia, untuk tetap menggelontorkan utang yang ikut memperlebar ketimpangan sosial di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.

Penyelesaian Utang

Pada Juli 2014, Bank Dunia dan IMF genap berusia 70 tahun. Bagi banyak pihak, 70 tahun lembaga Bretton Woods ini dianggap pas untuk mempercepat proses reformasi sistem pengambilan keputusan. Tuntutan lain yang juga gencar dikampanyekan sejak lebih dari satu dekade terakhir, adalah pengurangan atau penghapusan utang luar negeri negara-negara berkembang.

Sebuah postcard yang beredar luas di Eropa dan AS, bertuliskan “2014 is the 70th Birthday of the World Bank and IMF… but… It’s No Time for a Party! It’s Time to Drop the Debt!”

Saat ini, misalnya, setiap tahun negara-negara termiskin Afrika harus membayar US$ 20-25 miliar untuk cicilan utangnya kepada Bank Dunia, IMF, dan negara-negara industri. Sebuah jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan utang baru dan bantuan pembangunan yang diperoleh mereka.

Kritik pun membahana. “Utang membunuh”, teriak aktivis LSM di utara dan selatan berkaitan dengan penghematan anggaran kesehatan dan pendidikan demi membayar utang.

Pada 1999, IMF dan Bank Dunia akhirnya bersedia memberikan pemotongan utang kepada 41 negara miskin pengutang berat, setelah melalui program penyesuaian selama tiga tahun. Meskipun demikian, bagi kebanyakan negara tersebut, pemotongan sebagian utang belumlah cukup untuk memulai kembali pembangunan ekonominya.

Sebenarnya, sejak akhir 1990-an, kritik santer telah dilontarkan “orang dalam” dan politikus konservatif, bahwa selama 50 tahun keberadaannya yang telah menghabiskan dana US$ 470 miliar, Bank Dunia dan IMF belum memperlihatkan hasil nyata yang setimpal. Bahkan, banyak negara yang menjadi korban.

Indonesia bisa menjadi salah satu contoh karena selalu menjadi good boy, Indonesia harus membayar mahal akibat mengikuti resep yang salah dalam penanganan krisis moneter 1997/1998. Dampaknya fatal seperti ditunjukkan data-data berikut.

Sejak krisis hingga akhir 2002, dalam bidang pendidikan, terjadi penurunan murid sekolah sebesar 25 persen, tingkat kemiskinan meningkat tajam dari 11 persen menjadi 40-60 persen. Atas anjuran IMF, pemerintah Indonesia memberikan suntikan dana segar triliunan rupiah kepada bank-bank bermasalah, tanpa menyelesaikan masalah (INFID, 2003).

Dalam sebuah seminar ekonomi regional di Bangkok oleh Asisten Direktur IMF untuk Asia Pasifik, Charles Adam telah mengakui kesalahan yang dibuat IMF dalam menangani krisis di Indonesia (Tempo.co, 13/11/2003).

Dalam paper berjudul Lessons from the Asian Crisis, secara implisit IMF mengakui kesalahannya dalam penutupan 16 bank di awal krisis yang terjadi di Indonesia. Dikatakan, situasi yang terjadi akan berbeda jika langkah penutupan 16 bank itu dilakukan setelah langkah pengamanan, seperti blanket guarantee, sudah diciptakan (Harinowo, Kompas, 23/8/2004).

Dampaknya masih terasa hingga saat ini. Bagi Indonesia, yang belum sepenuhnya beranjak keluar dari krisis, dibutuhkan perbaikan jaringan keamanan sosial serta penghapusan (sebagian) utang luar negeri.

Perekonomian negeri ini dipastikan masih tetap sulit tumbuh dengan sehat, selama paling tidak sebagian utang luar negerinya belum dihapus. Untuk membayar utang, sebagian besar devisa kita kembali mengalir ke negara-negara industri.

Kita berharap usai Pilpres 2014, berbagai kesenjangan ekonomi di negeri ini akan membaik/berkurang. Selain tekad dan janji dari dua pasangan capres-cawapres, terlihat IMF dan Bank Dunia semakin mendukung analisis ekonom Keynesian dan opini ekonom peraih Hadiah Nobel, Joseph Stiglitz, ketimpangan membuat pertumbuhan rawan, menciptakan kondisi yang tidak menentu, dan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Dalam riset terbarunya, IMF dan Bank Dunia yakin pemerataan tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Hal itu dikatakan demikian Max Lawson, Kepala Kebijakan dan Advokasi di Oxfam GB, organisasi kemanusiaan yang hadir pada pertemuan IMF-Bank Dunia tahun ini.

Dalam upaya mengatasi kesenjangan, terbersit harapan meskipun kita telah melunasi utang kepada IMF, belum terlambat dan sangat patut bila bangsa ini menuntut “ganti rugi” dalam bentuk hibah.

Setidaknya, IMF dan Bank Dunia bisa memberikan hibah murni atau mengonversi (debt swap) sebagian utang pemerintah ke dalam upaya pencapaian MDGs atau peningkatan IPM (indeks pembangunan manusia), seperti yang dilakukan beberapa lembaga dan negara donor.

Pada 2012, misalnya, pemerintah Jerman pernah memberikan hibah ratusan miliar rupiah dalam bentuk debt swap untuk pendidikan. Pada saat yang sama, presiden dan wakil presiden terpilih negeri ini diharapkan menepati janjinya untuk mengurangi ketergantungan pembangunan negeri ini kepada utang. Apalagi, utang yang membunuh. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar