Menyoal
Reformasi di Tubuh Polri
Edi
Saputra Hasibuan ; Anggota Kompolnas RI
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Juli 2014
REFORMASI birokrasi Polri
gelombang II (2011-2014) akan berakhir pada tahun ini. Ada tiga sasaran reformasi
yang ingin dicapai, yaitu terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN,
peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan meningkatnya
kapabilitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
Kiranya menarik untuk melihat
capaian dari reformasi birokrasi tersebut sebagai masukan bagi Polri yang
pada 1 Juli 2014 berusia 68 tahun. Persoalan bersih dan bebas KKN tampaknya
hal yang masih krusial di tubuh Korps Bhayangkara. Walau kita lihat kampanye
anti-KKN banyak dipajang di Mabes Polri hingga kantor polsek, tetap saja
persepsi masyarakat terhadap Polri hingga saat ini masih belum baik. Bahkan
ada beberapa lembaga negara memberikan penilaian Polri sebagai institusi yang
paling korup dan belum sepenuhnya berubah.
Selama ini setiap masyarakat
yang berhubungan dengan polisi, masih banyak yang memiliki kesan ada uang,
urusan cepat selesai. Pemeo yang tidak sedap ini hingga reformasi birokrasi
gelombang II akan berakhir tampaknya belum berkurang. Artinya, kepercayaan masyarakat
terhadap Polri masih belum sepenuhnya baik. Berdasarkan sumber data dari
Kompolnas, selama 2014 jumlah pengaduan masyarakat sebanyak 535 kasus. Jumlah
pengaduan yang paling besar dikeluhkan ialah masa lah penanganan reserse,
yakni 488 pengaduan.
Sisanya masalah lalu lintas dan perilaku polisi sabara.
Dalam berbagai pengaduan
masyarakat yang disampaikan, masyarakat menilai urusan dengan Polri masih
banyak diwarnai buruknya penanganan masalah hukum. Ada kesan di mata masyarakat,
polisi banyak melakukan diskriminasi dan sering kali terkait penyalagunaan
kewenangan.
Kemudian, masalah lain yang juga
banyak dikeluhkan ialah banyaknya kolusi yang terjadi antara penyidik dan
pelapor atau sebaliknya penyidik dan terlapor di tingkat penyidikan dalam merekayasa
kasus. Tentunya di balik situasi itu mengalir sejumlah uang yang masuk ke
kocek penyidik. Akibatnya, lagi-lagi masyarakat yang ingin mendapatkan
keadilan jadi kandas.
Pelayanan publik
Pelayanan publik yang dilakukan
institusi Polri juga masih dinilai masyarakat belum berubah, masih lamban.
Masyarakat yang pernah berurusan dengan polisi harus berulang kali bertemu
polisi agar kasusnya cepat diproses, meskipun tidak ada jaminan pula kasusnya
akan diproses lebih lanjut.
Penilaian itu mengemuka karena
kinerja Polri dalam penanganan kasus korupsi yang tidak signifikan, perilaku
polisi lalu lintas yang tidak berubah, dan penanganan proses hukum yang tidak
tuntas dan ada pula yang direkayasa. Semua ini berimplikasi terhadap makin
merosotnya penilaian masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan Polri
selama ini. Hal itu tampaknya berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang oleh
oknum Polri, terutama kolusi dalam penetapan SP3. Kolaborasi ini juga
berimplikasi pada pelayanan. Bagi pelapor yang memberi imbalan, pelayanan
terhadap pelapor relatif baik dan persoalannya menjadi cepat selesai.
Sementara bagi pelapor yang tidak membawa buah tangan, permasalahannya
menjadi lama dan tidak jelas progres penyelesaiannya. Bahkan kolaborasi
tersebut dapat menyebabkan kasus korupsi yang ditangani Polri hanya sampai
tahap klarifikasi.
Sebagian masyarakat masih sering
kecewa karena saat dibutuhkan, aparat polisi tidak ada di tempat. Padahal,
peran polisi sebagai pengayom, pelindung, dan penolong masyarakat telah
menjadi salah satu program unggulan Jenderal Sutarman sejak dilantik menjadi
Kapolri sekitar satu tahun yang lalu. Buruknya pelayanan publik dan belum
bersihnya institusi Polri dari KKN setidaknya berkaitan dengan kapabilitas
dan akuntabilitas aparat Polri. Kapabilitas tidak hanya sebatas memiliki
keterampilan, tapi juga harus lebih paham secara detail sehingga benar-benar
menguasai kemampuannya dari titik kelemahan hingga cara mengatasinya.
Sementara asas akuntabilitas meminta setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Dari sisi kapabilitas, suka
tidak suka, masih banyak anggota Polri yang belum memenuhinya. Sebagian
aparat Polri memang sudah memenuhi sisi terampil dalam bekerja, tetapi belum
sampai pada keahlian dalam mengatasi persoalan bila berhadapan dengan
masalah. Jadi, kemampuan yang dimiliki baru sebatas melaksanakan kegiatan
yang sifatnya rutinitas.
Masalah kapabilitas ini juga
banyak dikeluhkan masyarakat terhadap penyidik Polri yang hanya memiliki
pendidikan setingkat SLTA dalam menangani pengaduan masyarakat. Adapun yang
dilayani penyidik banyak memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
termasuk pengacara dan jaksa yang memiliki pendi dikan minimal sarjana.
Selama ini, masalah biaya
penanganan kasus yang dilaporkan masyarakat sulit dipertanggungjawabkan
polisi. Hal ini terjadi mengingat jumlah kasus yang ditangani polisi yang
dibiayai negara maksimal 20%, sedangkan kasus yang lainnnya tidak dibayar
dengan alasan dananya tidak cukup. Tidak jelas, apakah ini karena ketidakmampuan
Polri mengatur anggaran atau karena ketidakmampuan negara memberikan
anggaran.
Kendati demikian, Polri tetap harus
profesional dan tidak bermain di ranah politik. Penyelidikan kasus yang
bernuansa politik pun harus mendapat perhatian serius. Contoh terbaru ialah
tentang beredarnya tabloid Obor Rakyat. Bila memang sudah ditemukan alat
bukti yang cukup, tidak boleh Polri menunda-nunda penyelidikan. Jangan sampai
ada kesan di masyarkat bahwa Polri menunggu dulu pilpres 9 Juli.
Belum optimalnya hasil reformasi
birokrasi di tubuh Polri tentu membuat pekerjaan rumah bagi Kapolri dan
jajarannya untuk terus-menerus berbenah diri. Untuk bebas dari KKN menuntut
adanya revolusi mental semua aparat Polri. Mentalitas itu terkait tekad untuk
melaksanakan tugas dan fungsi Polri secara taat asas, tanpa adanya intervensi
dari mana pun. Semoga Polri di masa
mendatang makin dicintai masyarakat. Dirgahayu
Polri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar