Hutan
dan Hak Masyarakat Adat
Rikardo Simarmata ; Pengajar
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
19 Juli 2014
PADA
16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan menanggapi permohonan
uji materi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Putusan
MK yang disambut gempita sejumlah komunitas adat itu menetapkan status hutan
adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pelanggaran terhadap UUD
1945, yaitu Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Argumen
yang dipakai MK: ketentuan-ketentuan mengenai status hutan adat dalam UU
Kehutanan potensial bahkan secara faktual telah membuat masyarakat adat
kehilangan hak konstitusionalnya dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber
daya hutan. Hak konstitusional itu antara lain hak bertempat tinggal, hak
mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, serta hak milik pribadi.
Lebih
lanjut MK menyatakan bahwa akibat konkret dari kehilangan hak dasar itu ialah
kesulitan masyarakat adat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari sumber
daya hutan. Masyarakat adat tak dapat mengelola dan memanfaatkan potensi
sumber daya hutan yang berada di wilayah adatnya. Dalam kacamata MK, terhalangnya
masyarakat adat memenuhi hak konstitusionalnya dari pemanfaatan hutan
disebabkan berlakunya norma hukum yang tak menyediakan kepastian hukum yang
berkeadilan.
Argumen
yang dipakai MK dalam putusan itu terbilang signifikan sekaligus perlu
dipahami. Signifikan karena sejak Ketetapan MPR No IX/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, putusan MK itu
merupakan dokumen hukum kedua yang menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam telah mendatangkan
ketakadilan. Putusan itu perlu dipahami karena mengemukakan dua hal yang
dijadikan alasan menerima sebagian permohonan pemohon.
Kedua
hal itu, pertama, situasi faktual yang menyebabkan masyarakat adat sulit
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari pemanfaatan hutan. Kedua, norma
hukum yang tak menyediakan kepastian hukum berkeadilan sehingga membuat
masyarakat adat kehilangan sejumlah hak konstitusionalnya.
Kekerasan
Yang
dikatakan dalam putusan MK mengenai situasi faktual kesulitan masyarakat adat
memenuhi kebutuhan hidupnya dari memanfaatkan hutan sejatinya bermula dari
keputusan politik akhir dasawarsa 1960-an sampai awal dasawarsa 1970-an.
Keputusan itu mengenai bagaimana sumber daya hutan akan diurus. Keputusan
politiknya adalah menetapkan teritori tertentu sebagai kawasan hutan yang di
dalamnya yurisdiksi negara diberlakukan.
Nancy
Lee Peluso dan Peter Vandergeest (Genealogies
of the Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and
Thailand, 2001) menyebut kawasan hutan yang ditetapkan dengan proses
demikian sebagai political forest.
Sebagai yurisdiksi negara, di atas kawasan hutan tersebut diberlakukan
ketentuan mengenai siapa yang boleh memanfaatkan hutan dan bagaimana
pemanfaatan hutan itu harus dilakukan.
Political forest yang
secara konsep memang menegasikan fakta mengenai praktik dan kemampuan
masyarakat adat dalam mengelola hutan segera mendatangkan dampak nyata.
Tindakan aparatus pemerintah memaksakan berlakunya yurisdiksi negara dalam
kawasan hutan diikuti dengan tindakan kekerasan terhadap masyarakat adat. Di
kawasan hutan lindung dan konservasi, tindakan kekerasan itu berupa
pengusiran paksa keluar dari kawasan.
Kekerasan
dalam bentuk pengusiran dari hutan lindung pernah dialami masyarakat di
Kabupaten Flores Timur, NTT. Sementara pengusiran paksa dari kawasan
konservasi pernah dialami orang Morenene dari Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai di Sulawesi Tenggara, nelayan dari Taman Nasional Komodo, dan
masyarakat lokal dari Taman Nasional Kutai di Kalimantan Timur. Pada kasus
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Taman Nasional Komodo, pengusiran
paksa itu diikuti dengan kekerasan lain berupa penembakan dan penghancuran
permukiman dan tanaman.
Di
sejumlah tempat, tindakan aparatus pemerintah mengusir atau melarang masyarakat
adat memanfaatkan hutan direspons dengan pembangkangan. Masyarakat adat tetap
melakukan aktivitas pemanfaatan dengan risiko mengalami kekerasan. Pada taraf
tertentu, masyarakat tak bisa menenggang tindakan kekerasan itu lalu melawan.
Apabila pengusiran dan pelarangan itu berlangsung dalam kawasan hutan yang
dibebani hak pengusahaan hutan, perlawanan itu berupa pengambilalihan
alat-alat berat atau perusakan fasilitas bangunan perusahaan.
Tindakan
perlawanan dari masyarakat menyulut aparatus negara melakukan kekerasan lain
berupa kriminalisasi. Kekerasan jenis ini dilakukan lembaga penegak hukum.
Para penegak hukum, polisi, jaksa, ataupun hakim, biasanya menyangkakan dan
menghukum masyarakat karena melakukan tindak pidana melawan petugas dan
merusak milik orang lain.
Sekalipun
kedua tindakan itu sudah dikategorikan sebagai tindak pidana, pemidanaan
terhadap masyarakat tetap dapat diklasifikasi sebagai kriminalisasi.
Argumennya: hakim tak mempersoalkan siapa yang jadi pemilik sah kawasan hutan
yang dipersoalkan sebelum menentukan apakah terdapat tindak pidana atau
tidak.
Rentetan
kekerasan fisik tentu saja membatasi bahkan menutup akses masyarakat adat
terhadap sumber daya hutan. Di kawasan hutan yang di atasnya diberlakukan
yurisdiksi negara, masyarakat adat tak mudah atau tak bisa lagi memungut
hasil hutan seperti rotan, madu, dan damar.
Penambahan
lahan baru menjawab pertambahan penduduk tak mudah lagi dilakukan karena
larangan berladang dalam kawasan hutan. Batasan dan larangan itu tentu saja
mempersulit masyarakat adat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari
kegiatan memanfaatkan hutan.
Di
daerah-daerah yang lahan pertanian dan perkebunan relatif tak luas, perubahan
di mana sumber daya hutan tak lagi bisa jadi sumber penghidupan mendatangkan
kemiskinan. Hal ini diindikasikan dengan data yang dirilis Kementerian
Kehutanan pada awal tahun ini.
Data
itu mengatakan bahwa 18,46 juta jiwa (63,43 persen) dari total 29,13 juta
penduduk miskin tinggal dan hidup di daerah perdesaan, di dalam dan sekitar
kawasan hutan. Senada dengan itu, desa-desa yang terdapat di sekitar kawasan
hutan merupakan kantong kemiskinan. Kemiskinan akan berlangsung cepat dan
berstadium tinggi apabila lahan-lahan kebun tersisa dijual secara sukarela
atau paksa kepada perusahaan perkebunan dan pertambangan.
Tak berkepastian yang adil
Dalam
putusan No 35/2012 sebagaimana dikatakan di atas, MK berkeyakinan bahwa
norma-norma hukum yang tak berkeadilan yang pasti telah berada di belakang
situasi yang membatasi masyarakat adat memanfaatkan hutan memenuhi
kehidupannya. Apabila UU Kehutanan dijadikan contoh, hukum tidak berkepastian
yang adil menunjuk pada tindakan diskriminasi terhadap masyarakat adat dalam
pemanfaatan hutan. UU itu cukup jelas menentukan hak negara dan perorangan
atau badan terhadap tanah dan hutan. Namun, UU itu tidak memiliki ketentuan
serupa pada masyarakat adat. Tak seperti negara dan perorangan atau badan
hukum, UU itu tidak merumuskan secara jelas hak masyarakat adat atas tanah
dan hutan.
Karena
tidak tegas diakui sebagai subyek hukum yang memiliki hak atas tanah dan
hutan, pemerintah memberi izin atau hak kepada pihak lain di atas hutan
ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat. Perbuatan pemerintah yang demikian
tentu saja mendatangkan ketidakadilan karena masyarakat adat yang tinggal dan
merawat hutan dari generasi ke generasi mendapat manfaat yang kecil.
Sementara
itu, pihak lain yang tidak memiliki ikatan kesejarahan dengan hutan itu dan
berdomisili di tempat lain mendapat manfaat yang besar. Padahal, masyarakat
adat akan menanggung beban yang lahir dari aktivitas pemanfaatan hutan oleh
pihak lain. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa UU Kehutanan tidak adil
dalam mengatur keseimbangan antara manfaat yang didapatkan oleh suatu pihak
dan beban yang akan ditanggung pihak lain.
Inkuiri Nasional
Sekalipun
akan berlaku secara nasional, harus diakui bahwa proses menuju pengambilan
putusan MK di atas hanya melibatkan segelintir orang, yaitu para pemohon, pemerintah,
dan DPR. Mayoritas pihak atau kelompok yang akan melaksanakan dan terkena
dampak dari putusan itu tidak terlibat. Proses yang tak didasarkan pada
konsensus bersama itu kemungkinan besar akan menghadapi masalah keefektifan
pemberlakuan karena banyak pihak tidak merasa bagian dari putusan itu.
Sebuah
proses lain diperlukan untuk memastikan sebanyak mungkin pihak atau golongan
terlibat untuk memahami problem-problem faktual berkenaan dengan pemanfaatan
hutan. Proses lain yang bersifat masif dan komprehensif itu bisa dinamakan
sebagai Inkuiri Nasional. Dengan metode tertentu, nantinya inkuiri itu dapat
menjadi semacam momentum membentuk pengalaman dan kesadaran kolektif mengenai
problem-problem pemanfaatan hutan sekaligus jalan keluarnya.
Apabila
akan memainkan peran demikian, Inkuiri Nasional dapat menjadi pendorong
menuju keefektifan pemberlakuan putusan MK No 35/2012. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar