Senin, 21 Juli 2014

Hutan dan Hak Masyarakat Adat

                              Hutan dan Hak Masyarakat Adat

Rikardo Simarmata ;   Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
KOMPAS,  19 Juli 2014
                                                


PADA 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan menanggapi permohonan uji materi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Putusan MK yang disambut gempita sejumlah komunitas adat itu menetapkan status hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945, yaitu Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

Argumen yang dipakai MK: ketentuan-ketentuan mengenai status hutan adat dalam UU Kehutanan potensial bahkan secara faktual telah membuat masyarakat adat kehilangan hak konstitusionalnya dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber daya hutan. Hak konstitusional itu antara lain hak bertempat tinggal, hak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, serta hak milik pribadi.

Lebih lanjut MK menyatakan bahwa akibat konkret dari kehilangan hak dasar itu ialah kesulitan masyarakat adat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari sumber daya hutan. Masyarakat adat tak dapat mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya hutan yang berada di wilayah adatnya. Dalam kacamata MK, terhalangnya masyarakat adat memenuhi hak konstitusionalnya dari pemanfaatan hutan disebabkan berlakunya norma hukum yang tak menyediakan kepastian hukum yang berkeadilan.

Argumen yang dipakai MK dalam putusan itu terbilang signifikan sekaligus perlu dipahami. Signifikan karena sejak Ketetapan MPR No IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, putusan MK itu merupakan dokumen hukum kedua yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam telah mendatangkan ketakadilan. Putusan itu perlu dipahami karena mengemukakan dua hal yang dijadikan alasan menerima sebagian permohonan pemohon.

Kedua hal itu, pertama, situasi faktual yang menyebabkan masyarakat adat sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari pemanfaatan hutan. Kedua, norma hukum yang tak menyediakan kepastian hukum berkeadilan sehingga membuat masyarakat adat kehilangan sejumlah hak konstitusionalnya.

Kekerasan

Yang dikatakan dalam putusan MK mengenai situasi faktual kesulitan masyarakat adat memenuhi kebutuhan hidupnya dari memanfaatkan hutan sejatinya bermula dari keputusan politik akhir dasawarsa 1960-an sampai awal dasawarsa 1970-an. Keputusan itu mengenai bagaimana sumber daya hutan akan diurus. Keputusan politiknya adalah menetapkan teritori tertentu sebagai kawasan hutan yang di dalamnya yurisdiksi negara diberlakukan.

Nancy Lee Peluso dan Peter Vandergeest (Genealogies of the Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and Thailand, 2001) menyebut kawasan hutan yang ditetapkan dengan proses demikian sebagai political forest. Sebagai yurisdiksi negara, di atas kawasan hutan tersebut diberlakukan ketentuan mengenai siapa yang boleh memanfaatkan hutan dan bagaimana pemanfaatan hutan itu harus dilakukan.

Political forest yang secara konsep memang menegasikan fakta mengenai praktik dan kemampuan masyarakat adat dalam mengelola hutan segera mendatangkan dampak nyata. Tindakan aparatus pemerintah memaksakan berlakunya yurisdiksi negara dalam kawasan hutan diikuti dengan tindakan kekerasan terhadap masyarakat adat. Di kawasan hutan lindung dan konservasi, tindakan kekerasan itu berupa pengusiran paksa keluar dari kawasan.

Kekerasan dalam bentuk pengusiran dari hutan lindung pernah dialami masyarakat di Kabupaten Flores Timur, NTT. Sementara pengusiran paksa dari kawasan konservasi pernah dialami orang Morenene dari Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi Tenggara, nelayan dari Taman Nasional Komodo, dan masyarakat lokal dari Taman Nasional Kutai di Kalimantan Timur. Pada kasus Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan Taman Nasional Komodo, pengusiran paksa itu diikuti dengan kekerasan lain berupa penembakan dan penghancuran permukiman dan tanaman.

Di sejumlah tempat, tindakan aparatus pemerintah mengusir atau melarang masyarakat adat memanfaatkan hutan direspons dengan pembangkangan. Masyarakat adat tetap melakukan aktivitas pemanfaatan dengan risiko mengalami kekerasan. Pada taraf tertentu, masyarakat tak bisa menenggang tindakan kekerasan itu lalu melawan. Apabila pengusiran dan pelarangan itu berlangsung dalam kawasan hutan yang dibebani hak pengusahaan hutan, perlawanan itu berupa pengambilalihan alat-alat berat atau perusakan fasilitas bangunan perusahaan.

Tindakan perlawanan dari masyarakat menyulut aparatus negara melakukan kekerasan lain berupa kriminalisasi. Kekerasan jenis ini dilakukan lembaga penegak hukum. Para penegak hukum, polisi, jaksa, ataupun hakim, biasanya menyangkakan dan menghukum masyarakat karena melakukan tindak pidana melawan petugas dan merusak milik orang lain.

Sekalipun kedua tindakan itu sudah dikategorikan sebagai tindak pidana, pemidanaan terhadap masyarakat tetap dapat diklasifikasi sebagai kriminalisasi. Argumennya: hakim tak mempersoalkan siapa yang jadi pemilik sah kawasan hutan yang dipersoalkan sebelum menentukan apakah terdapat tindak pidana atau tidak.

Rentetan kekerasan fisik tentu saja membatasi bahkan menutup akses masyarakat adat terhadap sumber daya hutan. Di kawasan hutan yang di atasnya diberlakukan yurisdiksi negara, masyarakat adat tak mudah atau tak bisa lagi memungut hasil hutan seperti rotan, madu, dan damar.

Penambahan lahan baru menjawab pertambahan penduduk tak mudah lagi dilakukan karena larangan berladang dalam kawasan hutan. Batasan dan larangan itu tentu saja mempersulit masyarakat adat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari kegiatan memanfaatkan hutan.

Di daerah-daerah yang lahan pertanian dan perkebunan relatif tak luas, perubahan di mana sumber daya hutan tak lagi bisa jadi sumber penghidupan mendatangkan kemiskinan. Hal ini diindikasikan dengan data yang dirilis Kementerian Kehutanan pada awal tahun ini.

Data itu mengatakan bahwa 18,46 juta jiwa (63,43 persen) dari total 29,13 juta penduduk miskin tinggal dan hidup di daerah perdesaan, di dalam dan sekitar kawasan hutan. Senada dengan itu, desa-desa yang terdapat di sekitar kawasan hutan merupakan kantong kemiskinan. Kemiskinan akan berlangsung cepat dan berstadium tinggi apabila lahan-lahan kebun tersisa dijual secara sukarela atau paksa kepada perusahaan perkebunan dan pertambangan.

Tak berkepastian yang adil

Dalam putusan No 35/2012 sebagaimana dikatakan di atas, MK berkeyakinan bahwa norma-norma hukum yang tak berkeadilan yang pasti telah berada di belakang situasi yang membatasi masyarakat adat memanfaatkan hutan memenuhi kehidupannya. Apabila UU Kehutanan dijadikan contoh, hukum tidak berkepastian yang adil menunjuk pada tindakan diskriminasi terhadap masyarakat adat dalam pemanfaatan hutan. UU itu cukup jelas menentukan hak negara dan perorangan atau badan terhadap tanah dan hutan. Namun, UU itu tidak memiliki ketentuan serupa pada masyarakat adat. Tak seperti negara dan perorangan atau badan hukum, UU itu tidak merumuskan secara jelas hak masyarakat adat atas tanah dan hutan.

Karena tidak tegas diakui sebagai subyek hukum yang memiliki hak atas tanah dan hutan, pemerintah memberi izin atau hak kepada pihak lain di atas hutan ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat. Perbuatan pemerintah yang demikian tentu saja mendatangkan ketidakadilan karena masyarakat adat yang tinggal dan merawat hutan dari generasi ke generasi mendapat manfaat yang kecil.

Sementara itu, pihak lain yang tidak memiliki ikatan kesejarahan dengan hutan itu dan berdomisili di tempat lain mendapat manfaat yang besar. Padahal, masyarakat adat akan menanggung beban yang lahir dari aktivitas pemanfaatan hutan oleh pihak lain. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa UU Kehutanan tidak adil dalam mengatur keseimbangan antara manfaat yang didapatkan oleh suatu pihak dan beban yang akan ditanggung pihak lain.

Inkuiri Nasional

Sekalipun akan berlaku secara nasional, harus diakui bahwa proses menuju pengambilan putusan MK di atas hanya melibatkan segelintir orang, yaitu para pemohon, pemerintah, dan DPR. Mayoritas pihak atau kelompok yang akan melaksanakan dan terkena dampak dari putusan itu tidak terlibat. Proses yang tak didasarkan pada konsensus bersama itu kemungkinan besar akan menghadapi masalah keefektifan pemberlakuan karena banyak pihak tidak merasa bagian dari putusan itu.

Sebuah proses lain diperlukan untuk memastikan sebanyak mungkin pihak atau golongan terlibat untuk memahami problem-problem faktual berkenaan dengan pemanfaatan hutan. Proses lain yang bersifat masif dan komprehensif itu bisa dinamakan sebagai Inkuiri Nasional. Dengan metode tertentu, nantinya inkuiri itu dapat menjadi semacam momentum membentuk pengalaman dan kesadaran kolektif mengenai problem-problem pemanfaatan hutan sekaligus jalan keluarnya.

Apabila akan memainkan peran demikian, Inkuiri Nasional dapat menjadi pendorong menuju keefektifan pemberlakuan putusan MK No 35/2012. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar