Rasa
Hormat untuk KPU
dan
Anak-Anak Muda yang Terpanggil
AS Laksana ;
Sastrawan, Pengarang, Wartawan
|
JAWA
POS, 19 Juli 2014
BIASANYA
saya akan merasa sedih berkepanjangan jika kesebelasan Brasil kalah di Piala
Dunia. Seolah-olah kesebelasan itu berasal dari kampung saya. Menjelang Piala
Dunia 1978 di Argentina, saya kelas III SD waktu itu, orang-orang dewasa di
kampung saya begitu bergairah menceritakan kehebatan Brasil dengan Pele-nya
dan saya jatuh cinta kepada Brasil melalui cerita-cerita yang saya dengar
dari mereka. Saya sedih ketika Brasil gagal melaju ke babak final karena
kalah selisih gol dari Argentina dan akhirnya hanya keluar sebagai juara
ketiga mengalahkan Italia.
Tahun
itu kaus tim Argentina, dengan garis-garis warna apa saja (biru, cokelat,
atau merah), laris di pasaran karena mereka keluar sebagai juara Piala Dunia.
Saya tidak pernah meminta dibelikan kaus seperti itu. Ketika kawan-kawan
kecil saya memakai kaus Argentina dan membayangkan diri mereka adalah Mario
Kempes, sang pencetak gol terbanyak, saya diam-diam membayangkan diri sebagai
Zico setiap kami bermain bola.
Baru
pada Piala Dunia sekarang ini saya tidak merasa sedih, bahkan ketika Brasil
dihajar Jerman, yang kemudian keluar sebagai juara, dengan skor telak 1-7.
Ada kegembiraan lain di dalam negeri yang mampu menggeser perhatian saya dari
Piala Dunia, yakni pemilihan umum presiden (pilpres) yang pencoblosannya
sudah kita lakukan pada 9 Juli lalu.
Ini
pemilihan presiden yang paling dramatis sejak era pemilihan langsung. Mungkin
ia merupakan pilpres terburuk dalam hal begitu gencarnya fitnah disemburkan
dan dijadikan alat utama untuk menjatuhkan salah satu kandidat: mulai fitnah
tentang agama, asal usul, bangkitnya komunisme, dan lain-lain. Ketika
komunisme sudah dijadikan materi kampanye untuk menjatuhkan lawan, saya
mengatakan kepada seorang kawan bahwa ini sudah keterlaluan. Apa saja
digunakan untuk menyerang lawan.
Namun,
kawan saya dengan ringan berkelakar, ”Saya justru kagum jika Indonesia
berhasil membangkitkan komunisme. Hebat sekali kita. Di negara-negara
dedengkotnya saja komunisme sudah sekarat atau mati, berarti kita lebih hebat
daripada negara mana pun di dunia ini.”
Masa
keriuhan kampanye sudah berlalu. Sekarang kita sedang menunggu tanggal 22
Juli tiba. Menunggu pengumuman KPU rasanya seperti seorang suami muda yang
menunggu kelahiran anak pertama. Ini pengalaman baru bagi saya. Tidak pernah
di waktu-waktu sebelumnya saya begitu peduli dengan pemilihan umum dan
benar-benar menantikan pengumuman oleh KPU.
Ada
perasaan tegang, perasaan waswas, mengenai proses yang berlangsung di KPU.
Sejauh ini kita tidak punya cukup pengalaman untuk memercayai institusi apa
pun di negara ini. Dan kita dihantui rasa cemas bahwa di setiap lembaga apa
pun akan selalu ada kejadian yang tidak kita inginkan. Demikian pula dengan
KPU. Karena itu, kita selalu merasa khawatir akan ada kongkalikong dalam
proses di mana kita tidak bisa campur tangan sama sekali.
Kita
mencurigai akan ada pencurian suara; kita mencurigai akan terjadi
sulap-menyulap angka; kita mencurigai akan ada intervensi oleh pihak-pihak
luar terhadap kerja KPU. Kita cemas oleh ketakutan kita sendiri; kita cemas
oleh pikiran kita sendiri. Bahkan, ketika KPU menunjukkan kerja yang
transparan, kita tetap cemas. Dan rasa cemas, jika proporsional, membuat kita
waspada.
Saya
kira itulah yang tengah berlangsung kali ini: orang-orang merasa perlu
waspada dan kemudian terpanggil untuk ikut mengawasi proses yang berlangsung
di KPU. Pada hari-hari pertama ketika KPU menampilkan hasil pemindaian
(scanning) formulir penghitungan suara dari tiap-tiap tempat pemungutan
suara, saya punya hasrat yang nyaris tak masuk akal untuk mengunduh semua
hasil pemindaian itu dari situs KPU. Untunglah, saya segera tersadar dari
tindakan gila tersebut sehingga tidak sampai terserang encok atau sembelit
gara-gara duduk berhari-hari di depan komputer untuk melakukan pengunduhan
semua data. Baru beberapa puluh kali pengunduhan, saya menyerah.
Kabar
menyenangkan datang tak lama kemudian dengan munculnya situs kawalpemilu.org,
yang dibikin anak-anak muda yang peduli dan dibantu ratusan relawan yang
bekerja sukarela untuk memudahkan kita mengikuti perkembangan penghitungan
suara di KPU. Kita patut berterima kasih kepada siapa pun yang merasa
terpanggil untuk mengawal proses penghitungan di KPU. Mereka anak-anak muda
yang memutuskan untuk ikut bertanggung jawab demi kebaikan negeri mereka. Dan
rasa hormat yang tinggi patut disampaikan kepada KPU yang berikhtiar
menyediakan informasi transparan. Situs macam kawalpemilu.org hanya mungkin
ada karena transparansi pihak KPU.
Apakah
mereka pro-Jokowi atau pro-Prabowo? Saya yakin mereka pro-Indonesia. Mereka
merasa perlu berbuat sesuatu, sesuai dengan bidang keahlian mereka, untuk
mengawal proses penghitungan suara di KPU.
Memang
kerewelan demi kerewelan belum berakhir. Sesaat sebelum menuliskan kolom ini,
saya membaca berita bahwa kubu Prabowo meminta pengumuman rekapitulasi
nasional 22 Juli ditunda saja. Ini terasa seperti permintaan yang lebay,
mengingat kubu Prabowo sejauh ini selalu menampakkan kepercayaan diri yang
tinggi atas kemenangan mereka.
Kita
tidak bisa memastikan bahwa di semua TPS pemungutan suara berjalan mulus
sebagaimana yang kita harapkan. Namun, mempertontonkan kekalapan, dengan cara
menyanggah apa saja, mempersoalkan segala urusan, serta mengeluh dan
menggugat terus-menerus, hanyalah memberikan teladan yang tidak baik kepada
orang banyak. Seolah-olah kita sedang diberi tahu bahwa jika situasi kita
sedang sulit, kita harus rewel dan melakukan tindakan-tindakan yang
merepotkan.
Sabtu
kemarin dilakukan pencoblosan ulang di 13 TPS di DKI atas permintaan kubu Pak
Prabowo. Dan –astaga!– setelah permintaan dikabulkan, malam harinya dimunculkan
lagi kerepotan lanjutan: Pak Prabowo meminta pencoblosan ulang di 5.800 TPS
di DKI.
Saya
tidak tahu apakah situasi di pertandingan pilpres ada kesamaannya dengan
situasi di ring tinju. Jika di ring tinju, saya tahu bagaimana cara Muhammad
Ali menjatuhkan lawan –sebagaimana yang saya baca di otobiografinya, The Greatest.
Ali,
juara tinju yang dulu saya pikir dia orang Indonesia, selalu tahu bagaimana
membuat lawannya kalap di ring tinju. Orang yang kalap memang tampaknya saja
brutal dan menyeramkan, tetapi sesungguhnya dia rapuh karena menjadikan
dirinya preman jalanan. Dia akan menyerang membabi buta, mengamuk
serampangan, dan pukulan-pukulannya ngawur. Dia akan mudah dijatuhkan petinju
yang tetap memiliki ketenangan. Ketenangan semacam itu juga yang saya
harapkan dimiliki KPU, Bawaslu, atau siapa pun dalam menghadapi siapa pun
yang rewel dan kalap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar