Minggu, 20 Juli 2014

Rasa Hormat untuk KPU dan Anak-Anak Muda yang Terpanggil

Rasa Hormat untuk KPU

dan Anak-Anak Muda yang Terpanggil

AS Laksana  ;   Sastrawan, Pengarang, Wartawan
JAWA POS,  19 Juli 2014
                                                


BIASANYA saya akan merasa sedih berkepanjangan jika kesebelasan Brasil kalah di Piala Dunia. Seolah-olah kesebelasan itu berasal dari kampung saya. Menjelang Piala Dunia 1978 di Argentina, saya kelas III SD waktu itu, orang-orang dewasa di kampung saya begitu bergairah menceritakan kehebatan Brasil dengan Pele-nya dan saya jatuh cinta kepada Brasil melalui cerita-cerita yang saya dengar dari mereka. Saya sedih ketika Brasil gagal melaju ke babak final karena kalah selisih gol dari Argentina dan akhirnya hanya keluar sebagai juara ketiga mengalahkan Italia.

Tahun itu kaus tim Argentina, dengan garis-garis warna apa saja (biru, cokelat, atau merah), laris di pasaran karena mereka keluar sebagai juara Piala Dunia. Saya tidak pernah meminta dibelikan kaus seperti itu. Ketika kawan-kawan kecil saya memakai kaus Argentina dan membayangkan diri mereka adalah Mario Kempes, sang pencetak gol terbanyak, saya diam-diam membayangkan diri sebagai Zico setiap kami bermain bola.

Baru pada Piala Dunia sekarang ini saya tidak merasa sedih, bahkan ketika Brasil dihajar Jerman, yang kemudian keluar sebagai juara, dengan skor telak 1-7. Ada kegembiraan lain di dalam negeri yang mampu menggeser perhatian saya dari Piala Dunia, yakni pemilihan umum presiden (pilpres) yang pencoblosannya sudah kita lakukan pada 9 Juli lalu.

Ini pemilihan presiden yang paling dramatis sejak era pemilihan langsung. Mungkin ia merupakan pilpres terburuk dalam hal begitu gencarnya fitnah disemburkan dan dijadikan alat utama untuk menjatuhkan salah satu kandidat: mulai fitnah tentang agama, asal usul, bangkitnya komunisme, dan lain-lain. Ketika komunisme sudah dijadikan materi kampanye untuk menjatuhkan lawan, saya mengatakan kepada seorang kawan bahwa ini sudah keterlaluan. Apa saja digunakan untuk menyerang lawan.

Namun, kawan saya dengan ringan berkelakar, ”Saya justru kagum jika Indonesia berhasil membangkitkan komunisme. Hebat sekali kita. Di negara-negara dedengkotnya saja komunisme sudah sekarat atau mati, berarti kita lebih hebat daripada negara mana pun di dunia ini.”

Masa keriuhan kampanye sudah berlalu. Sekarang kita sedang menunggu tanggal 22 Juli tiba. Menunggu pengumuman KPU rasanya seperti seorang suami muda yang menunggu kelahiran anak pertama. Ini pengalaman baru bagi saya. Tidak pernah di waktu-waktu sebelumnya saya begitu peduli dengan pemilihan umum dan benar-benar menantikan pengumuman oleh KPU.

Ada perasaan tegang, perasaan waswas, mengenai proses yang berlangsung di KPU. Sejauh ini kita tidak punya cukup pengalaman untuk memercayai institusi apa pun di negara ini. Dan kita dihantui rasa cemas bahwa di setiap lembaga apa pun akan selalu ada kejadian yang tidak kita inginkan. Demikian pula dengan KPU. Karena itu, kita selalu merasa khawatir akan ada kongkalikong dalam proses di mana kita tidak bisa campur tangan sama sekali.

Kita mencurigai akan ada pencurian suara; kita mencurigai akan terjadi sulap-menyulap angka; kita mencurigai akan ada intervensi oleh pihak-pihak luar terhadap kerja KPU. Kita cemas oleh ketakutan kita sendiri; kita cemas oleh pikiran kita sendiri. Bahkan, ketika KPU menunjukkan kerja yang transparan, kita tetap cemas. Dan rasa cemas, jika proporsional, membuat kita waspada.

Saya kira itulah yang tengah berlangsung kali ini: orang-orang merasa perlu waspada dan kemudian terpanggil untuk ikut mengawasi proses yang berlangsung di KPU. Pada hari-hari pertama ketika KPU menampilkan hasil pemindaian (scanning) formulir penghitungan suara dari tiap-tiap tempat pemungutan suara, saya punya hasrat yang nyaris tak masuk akal untuk mengunduh semua hasil pemindaian itu dari situs KPU. Untunglah, saya segera tersadar dari tindakan gila tersebut sehingga tidak sampai terserang encok atau sembelit gara-gara duduk berhari-hari di depan komputer untuk melakukan pengunduhan semua data. Baru beberapa puluh kali pengunduhan, saya menyerah.

Kabar menyenangkan datang tak lama kemudian dengan munculnya situs kawalpemilu.org, yang dibikin anak-anak muda yang peduli dan dibantu ratusan relawan yang bekerja sukarela untuk memudahkan kita mengikuti perkembangan penghitungan suara di KPU. Kita patut berterima kasih kepada siapa pun yang merasa terpanggil untuk mengawal proses penghitungan di KPU. Mereka anak-anak muda yang memutuskan untuk ikut bertanggung jawab demi kebaikan negeri mereka. Dan rasa hormat yang tinggi patut disampaikan kepada KPU yang berikhtiar menyediakan informasi transparan. Situs macam kawalpemilu.org hanya mungkin ada karena transparansi pihak KPU.

Apakah mereka pro-Jokowi atau pro-Prabowo? Saya yakin mereka pro-Indonesia. Mereka merasa perlu berbuat sesuatu, sesuai dengan bidang keahlian mereka, untuk mengawal proses penghitungan suara di KPU.

Memang kerewelan demi kerewelan belum berakhir. Sesaat sebelum menuliskan kolom ini, saya membaca berita bahwa kubu Prabowo meminta pengumuman rekapitulasi nasional 22 Juli ditunda saja. Ini terasa seperti permintaan yang lebay, mengingat kubu Prabowo sejauh ini selalu menampakkan kepercayaan diri yang tinggi atas kemenangan mereka.

Kita tidak bisa memastikan bahwa di semua TPS pemungutan suara berjalan mulus sebagaimana yang kita harapkan. Namun, mempertontonkan kekalapan, dengan cara menyanggah apa saja, mempersoalkan segala urusan, serta mengeluh dan menggugat terus-menerus, hanyalah memberikan teladan yang tidak baik kepada orang banyak. Seolah-olah kita sedang diberi tahu bahwa jika situasi kita sedang sulit, kita harus rewel dan melakukan tindakan-tindakan yang merepotkan.

Sabtu kemarin dilakukan pencoblosan ulang di 13 TPS di DKI atas permintaan kubu Pak Prabowo. Dan –astaga!– setelah permintaan dikabulkan, malam harinya dimunculkan lagi kerepotan lanjutan: Pak Prabowo meminta pencoblosan ulang di 5.800 TPS di DKI.

Saya tidak tahu apakah situasi di pertandingan pilpres ada kesamaannya dengan situasi di ring tinju. Jika di ring tinju, saya tahu bagaimana cara Muhammad Ali menjatuhkan lawan –sebagaimana yang saya baca di otobiografinya, The Greatest.

Ali, juara tinju yang dulu saya pikir dia orang Indonesia, selalu tahu bagaimana membuat lawannya kalap di ring tinju. Orang yang kalap memang tampaknya saja brutal dan menyeramkan, tetapi sesungguhnya dia rapuh karena menjadikan dirinya preman jalanan. Dia akan menyerang membabi buta, mengamuk serampangan, dan pukulan-pukulannya ngawur. Dia akan mudah dijatuhkan petinju yang tetap memiliki ketenangan. Ketenangan semacam itu juga yang saya harapkan dimiliki KPU, Bawaslu, atau siapa pun dalam menghadapi siapa pun yang rewel dan kalap. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar