Rabu, 09 Juli 2014

Golden Period

                                                          Golden Period

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan
JAWA POS,  08 Juli 2014



MASING-masing periode punya masa keemasan. Pada periode itulah biasanya produktivitas mencapai masa puncak. Di situ pula biasanya prestasi tertinggi kita raih. Setelah itu, tibalah saatnya segala sesuatunya mulai menurun.

Masa keemasan tim sepak bola Spanyol terjadi pada ajang Piala Eropa 2008 dan 2012 serta Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Karena itu, banyak orang yang terheran-heran ketika dalam ajang Piala Dunia 2014 pelatih tim Spanyol Vicente del Bosque masih memakai pemain stok lama, seperti Iker Casillas, Xavi Hernandes, dan Fernando Torres, sebagai pemain utama. Padahal, periode keemasan mereka sudah berlalu. Kita kemudian menyaksikannya. Tim Spanyol menjadi tim pertama yang pulang kandang.

Istilah periode keemasan sebetulnya terjadi tidak hanya dalam dunia olahraga, tetapi pada seluruh lini kehidupan. Pada manusia, pada sumber daya alam, dan bahkan negara.

Dulu industri kayu kita sangat berjaya. Hutan kita berlimpah. Asyik menebangi dan menjual kayunya, namun lupa membangun industri furnitur. Akibatnya kini, kita tidak punya industri furnitur yang tangguh dengan merek-merek yang berjaya di pasar internasional.

Industri minyak kita juga pernah berjaya. Pada 1970-an dan 1980-an, ekspor kita didominasi minyak. Sayangnya, uang dari ekspor minyak tidak kita pakai untuk membangun industri perminyakan seperti kilang atau untuk mencari sumur-sumur minyak baru.

Kini setelah cadangan minyak menipis dan produksi terus menurun, kita baru terbangun dari mimpi. Rupanya, kilang kita sangat terbatas. Kita juga sulit menemukan sumur minyak baru. Padahal, permintaan minyak dan BBM kita terus meningkat. Akhirnya, kini kita menjadi salah satu negara importer minyak dan BBM terbesar di Asia.

Di industri mineral, kita juga terlalu asyik mengekspornya dalam bentuk mentah. Lalai mengonversi kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui sebagai modal untuk membangun smelter, infrastruktur, dan membangun SDM-nya. Akibatnya, di lokasi-lokasi pertambangan, kondisi infrastrukturnya sangat buruk dan warganya miskin.

Kini setelah cadangan mineral terkuras, kita tergopoh-gopoh membangun smelter, tetapi belum sempat mengurus SDM-nya. Mudah-mudahan kita belum terlambat.

Anak-Anak Kita

Itulah beberapa akibat kalau kita lalai memanfaatkan masa keemasan. Kini saya ajak Anda masuk ke dunia pendidikan. Kita belakangan sangat risau dengan anak-anak sekolah yang kerap tawuran. Sekolah bentrok hanya karena satu dua siswa saling ejek, lalu melibatkan teman-temannya, dan terjadilah tawuran masal.

Kita juga risau dengan aksi siswa senior yang menganiaya adik-adik kelasnya. Bahkan sampai meninggal.

Mengapa itu semua sampai bisa terjadi?

Ada yang menyebut, inilah potret perilaku buruk orang tua yang suka menyuap, korupsi, serta memburu kekayaan dengan menghalalkan segala cara. Etika, moral, dan sopan santun sudah tidak ada.

Semua lalu menengok ke pendidikan. Di sanalah dulu etika, moral, dan budi pekerti diajarkan. Tapi, semua itu kini menghilang. Dunia pendidikan kita terlalu sibuk menyuapi anak-anak dengan ilmu dan pengetahuan, tetapi kurang mengajarkan pentingnya budi pekerti. Dunia pendidikan kita lebih mementingkan kognisi ketimbang akhlak susila. Kita ingin anak-anak kita pintar, tetapi kurang mendidik mereka agar berperilaku mulia.

Kini semua merasakan kembali pentingnya pendidikan budi pekerti yang seakan-akan hilang dari sekolah-sekolah kita. Mereka ingin pendidikan budi pekerti kembali.

Negara dan Periode Emas

Sebagaimana yang terjadi dalam dunia olahraga, dalam mendidik anak agar memiliki budi pekerti mulia pun ada periode emasnya. Masa-masa itu terjadi pada usia kurang dari 5 tahun.

Di sinilah saya merasa risau. Sebab, justru pada usia tersebut negara tidak hadir. Cobalah Anda amati, pernahkah kita mendengar TK negeri? Adakah sekolah batita (bawah tiga tahun) negeri? Adakah playgroup negeri? Adakah pendidikan anak usia dini (PAUD) yang didirikan dan dikelola negara? Semua justru didirikan dan dikelola swasta. Padahal, kita punya SD negeri sampai SMA negeri, bahkan perguruan tinggi negeri. Tetapi, pendidikan anak usia dini yang negeri, tidak ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar