Golden
Period
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 08 Juli 2014
MASING-masing periode punya masa keemasan. Pada periode itulah biasanya
produktivitas mencapai masa puncak. Di situ pula biasanya prestasi tertinggi
kita raih. Setelah itu, tibalah saatnya segala sesuatunya mulai menurun.
Masa keemasan tim sepak bola Spanyol terjadi pada ajang Piala Eropa
2008 dan 2012 serta Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Karena itu, banyak
orang yang terheran-heran ketika dalam ajang Piala Dunia 2014 pelatih tim
Spanyol Vicente del Bosque masih memakai pemain stok lama, seperti Iker
Casillas, Xavi Hernandes, dan Fernando Torres, sebagai pemain utama. Padahal,
periode keemasan mereka sudah berlalu. Kita kemudian menyaksikannya. Tim
Spanyol menjadi tim pertama yang pulang kandang.
Istilah periode keemasan sebetulnya terjadi tidak hanya dalam dunia
olahraga, tetapi pada seluruh lini kehidupan. Pada manusia, pada sumber daya
alam, dan bahkan negara.
Dulu industri kayu kita sangat berjaya. Hutan kita berlimpah. Asyik
menebangi dan menjual kayunya, namun lupa membangun industri furnitur.
Akibatnya kini, kita tidak punya industri furnitur yang tangguh dengan
merek-merek yang berjaya di pasar internasional.
Industri minyak kita juga pernah berjaya. Pada 1970-an dan 1980-an,
ekspor kita didominasi minyak. Sayangnya, uang dari ekspor minyak tidak kita
pakai untuk membangun industri perminyakan seperti kilang atau untuk mencari
sumur-sumur minyak baru.
Kini setelah cadangan minyak menipis dan produksi terus menurun, kita
baru terbangun dari mimpi. Rupanya, kilang kita sangat terbatas. Kita juga
sulit menemukan sumur minyak baru. Padahal, permintaan minyak dan BBM kita
terus meningkat. Akhirnya, kini kita menjadi salah satu negara importer
minyak dan BBM terbesar di Asia.
Di industri mineral, kita juga terlalu asyik mengekspornya dalam bentuk
mentah. Lalai mengonversi kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui sebagai
modal untuk membangun smelter, infrastruktur, dan membangun SDM-nya.
Akibatnya, di lokasi-lokasi pertambangan, kondisi infrastrukturnya sangat
buruk dan warganya miskin.
Kini setelah cadangan mineral terkuras, kita tergopoh-gopoh membangun
smelter, tetapi belum sempat mengurus SDM-nya. Mudah-mudahan kita belum
terlambat.
Anak-Anak
Kita
Itulah beberapa akibat kalau kita lalai memanfaatkan masa keemasan.
Kini saya ajak Anda masuk ke dunia pendidikan. Kita belakangan sangat risau
dengan anak-anak sekolah yang kerap tawuran. Sekolah bentrok hanya karena
satu dua siswa saling ejek, lalu melibatkan teman-temannya, dan terjadilah
tawuran masal.
Kita juga risau dengan aksi siswa senior yang menganiaya adik-adik
kelasnya. Bahkan sampai meninggal.
Mengapa itu semua sampai bisa terjadi?
Ada yang menyebut, inilah potret perilaku buruk orang tua yang suka
menyuap, korupsi, serta memburu kekayaan dengan menghalalkan segala cara.
Etika, moral, dan sopan santun sudah tidak ada.
Semua lalu menengok ke pendidikan. Di sanalah dulu etika, moral, dan
budi pekerti diajarkan. Tapi, semua itu kini menghilang. Dunia pendidikan
kita terlalu sibuk menyuapi anak-anak dengan ilmu dan pengetahuan, tetapi
kurang mengajarkan pentingnya budi pekerti. Dunia pendidikan kita lebih
mementingkan kognisi ketimbang akhlak susila. Kita ingin anak-anak kita
pintar, tetapi kurang mendidik mereka agar berperilaku mulia.
Kini semua merasakan kembali pentingnya pendidikan budi pekerti yang
seakan-akan hilang dari sekolah-sekolah kita. Mereka ingin pendidikan budi pekerti
kembali.
Negara
dan Periode Emas
Sebagaimana yang terjadi dalam dunia olahraga, dalam mendidik anak agar
memiliki budi pekerti mulia pun ada periode emasnya. Masa-masa itu terjadi
pada usia kurang dari 5 tahun.
Di sinilah saya merasa risau. Sebab, justru pada usia tersebut negara
tidak hadir. Cobalah Anda amati, pernahkah kita mendengar TK negeri? Adakah
sekolah batita (bawah tiga tahun) negeri? Adakah playgroup negeri? Adakah pendidikan anak usia dini (PAUD) yang
didirikan dan dikelola negara? Semua justru didirikan dan dikelola swasta.
Padahal, kita punya SD negeri sampai SMA negeri, bahkan perguruan tinggi
negeri. Tetapi, pendidikan anak usia dini yang negeri, tidak ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar