Kamis, 10 Juli 2014

Mata Ganti Mata

                                                     Mata Ganti Mata

Trias Kuncahyono  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  09 Juli 2014
                                                


EYAL  Yifrach, Naftali Fraenkel, Gilad Shaar, dan Muhammad Abu Khudeir telah mati. Namun, permusuhan antara Israel dan Palestina justru semakin menjadi-jadi. Kematian empat remaja itu—tiga yang pertama warga Yahudi dan seorang Palestina—seakan justru merupakan pengobar api kebencian, permusuhan, dan konflik bersenjata antara Israel dan Palestina.

Kematian dibalas dengan kematian. Ibarat hukum lama, ”Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki....” Begitulah yang terjadi saat ini. Tembakan roket dari wilayah Jalur Gaza ke Sderot, kota bagian barat Negev yang terletak persis di sebelah utara Jalur Gaza, dibalas hujan peluru kendali Israel ke berbagai titik sasaran di Jalur Gaza.

Apa yang terjadi Jalur Gaza saat ini mengingatkan peristiwa yang terjadi mulai 27 Desember 2008 dan berakhir 18 Januari 2009. Saat itulah, Israel melancarkan Operation Cast Lead yang oleh Dunia Arab disebut sebagai ”Pembantaian Gaza” atau ”Pertempuran Al-Furqan”, juga dikenal dengan sebutan Perang Gaza.

Perang selama tiga pekan itu telah menewaskan 1.417 orang Palestina, baik anggota Hamas maupun sipil, dan melukai 5.303 orang lainnya. Sementara Israel hanya kehilangan 13 warganya, 10 orang di antaranya adalah tentara. Sebanyak 120 orang Palestina yang dianggap sebagai anggota Hamas atau mendukung Hamas ditangkap. Sementara sumber Palestinian Center for Human Rights menyatakan, korban tewas mencapai 1.285 orang, dengan 280 korban di antaranya adalah anak-anak dan 111 perempuan. Lalu, 82 persen atau 1.062 korban tewas adalah penduduk sipil (Trias Kuncahyono, Jalur Gaza, Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis).

Memang, pada waktu itu seorang kawan pernah bertanya, ”Apakah ini bagian dari ethnic cleansing, pembersihan etnis yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina?” Sangat wajar pertanyaan itu. Oleh karena, saat itu Israel menggunakan bom fosfor putih yang memiliki daya bunuh sangat tinggi. Hal itu dibenarkan Human Rights Watch dalam laporannya pada Maret 2009 yang diberi judul Rain of Fire, Israel’s Unlawful Use of White Phosphorus in Gaza.

Sungguh sebuah tindakan yang benar-benar melindas begitu saja nilai-nilai kemanusiaan dan rasa kemanusiaan. Bagaimana bisa dengan mudahnya Israel membunuhi orang-orang Palestina. Tentu, Israel akan memberikan jawaban yang tegas terhadap pertanyaan itu. Mereka akan mengatakan tindakan itu terpaksa dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri, sebagai tindakan balasan terhadap yang dilakukan Hamas.

Apa yang terjadi tahun 2008-2009 itu kini berulang lagi meski dengan penyulut yang berbeda. Meskipun demikian, semuanya sama: seluruh tindakan memperlihatkan kebrutalan Israel yang sekarang ini tampaknya ingin ”menghukum” Palestina di bawah pemerintahan Mahmoud Abbas karena melakukan rekonsiliasi dengan Hamas dan menjadi anggota organisasi-organisasi internasional. Tel Aviv sangat tidak menghendaki, Pemerintah Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Abbas rujuk dan bergandeng tangan lagi dengan Hamas.

Terlepas dari semua itu, apa yang tergambar dari konflik antara Israel dan Palestina—seperti sudah disebut di atas—adalah pelaksanaan politik balas dendam. Lingkaran setan balas dendam inilah yang sekarang menjerat kedua belah pihak. Kebencian dan permusuhan Israel terhadap Hamas sepertinya sudah harga mati, demikian sebaliknya. Sulit rasanya mempertemukan keduanya. Para pemimpin Israel bisa bertemu dan duduk berunding dengan para pemimpin Otoritas Palestina, tetapi mereka tidak bisa dengan Hamas, demikian sebaliknya. Situasi seperti inilah yang memberikan andil semakin tak terjangkaunya perdamaian di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar