Mata
Ganti Mata
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
09 Juli 2014
EYAL Yifrach, Naftali Fraenkel,
Gilad Shaar, dan Muhammad Abu Khudeir telah mati. Namun, permusuhan antara
Israel dan Palestina justru semakin menjadi-jadi. Kematian empat remaja
itu—tiga yang pertama warga Yahudi dan seorang Palestina—seakan justru
merupakan pengobar api kebencian, permusuhan, dan konflik bersenjata antara
Israel dan Palestina.
Kematian dibalas dengan kematian. Ibarat hukum lama, ”Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan
ganti tangan, kaki ganti kaki....” Begitulah yang terjadi saat ini.
Tembakan roket dari wilayah Jalur Gaza ke Sderot, kota bagian barat Negev
yang terletak persis di sebelah utara Jalur Gaza, dibalas hujan peluru
kendali Israel ke berbagai titik sasaran di Jalur Gaza.
Apa yang terjadi Jalur Gaza saat ini mengingatkan peristiwa yang
terjadi mulai 27 Desember 2008 dan berakhir 18 Januari 2009. Saat itulah,
Israel melancarkan Operation Cast Lead
yang oleh Dunia Arab disebut sebagai ”Pembantaian Gaza” atau ”Pertempuran
Al-Furqan”, juga dikenal dengan sebutan Perang Gaza.
Perang selama tiga pekan itu telah menewaskan 1.417 orang Palestina,
baik anggota Hamas maupun sipil, dan melukai 5.303 orang lainnya. Sementara
Israel hanya kehilangan 13 warganya, 10 orang di antaranya adalah tentara.
Sebanyak 120 orang Palestina yang dianggap sebagai anggota Hamas atau
mendukung Hamas ditangkap. Sementara sumber Palestinian Center for Human Rights menyatakan, korban tewas
mencapai 1.285 orang, dengan 280 korban di antaranya adalah anak-anak dan 111
perempuan. Lalu, 82 persen atau 1.062 korban tewas adalah penduduk sipil (Trias Kuncahyono, Jalur Gaza, Tanah
Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis).
Memang, pada waktu itu seorang kawan pernah bertanya, ”Apakah ini bagian dari ethnic cleansing,
pembersihan etnis yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina?”
Sangat wajar pertanyaan itu. Oleh karena, saat itu Israel menggunakan bom
fosfor putih yang memiliki daya bunuh sangat tinggi. Hal itu dibenarkan Human
Rights Watch dalam laporannya pada Maret 2009 yang diberi judul Rain of Fire, Israel’s Unlawful Use of
White Phosphorus in Gaza.
Sungguh sebuah tindakan yang benar-benar melindas begitu saja
nilai-nilai kemanusiaan dan rasa kemanusiaan. Bagaimana bisa dengan mudahnya
Israel membunuhi orang-orang Palestina. Tentu, Israel akan memberikan jawaban
yang tegas terhadap pertanyaan itu. Mereka akan mengatakan tindakan itu
terpaksa dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri, sebagai tindakan balasan
terhadap yang dilakukan Hamas.
Apa yang terjadi tahun 2008-2009 itu kini berulang lagi meski dengan
penyulut yang berbeda. Meskipun demikian, semuanya sama: seluruh tindakan
memperlihatkan kebrutalan Israel yang sekarang ini tampaknya ingin
”menghukum” Palestina di bawah pemerintahan Mahmoud Abbas karena melakukan
rekonsiliasi dengan Hamas dan menjadi anggota organisasi-organisasi
internasional. Tel Aviv sangat tidak menghendaki, Pemerintah Otoritas
Palestina di bawah kepemimpinan Abbas rujuk dan bergandeng tangan lagi dengan
Hamas.
Terlepas dari semua itu, apa yang tergambar dari konflik antara Israel
dan Palestina—seperti sudah disebut di atas—adalah pelaksanaan politik balas
dendam. Lingkaran setan balas dendam inilah yang sekarang menjerat kedua
belah pihak. Kebencian dan permusuhan Israel terhadap Hamas sepertinya sudah
harga mati, demikian sebaliknya. Sulit rasanya mempertemukan keduanya. Para
pemimpin Israel bisa bertemu dan duduk berunding dengan para pemimpin
Otoritas Palestina, tetapi mereka tidak bisa dengan Hamas, demikian
sebaliknya. Situasi seperti inilah yang memberikan andil semakin tak
terjangkaunya perdamaian di sana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar