Empat
Cara Menanggapi Kekalahan
Seno
Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
30 Juni 2014
Dalam
ilmu kesempurnaan Jawa, terdapat istilah menang
tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan) yang seperti tidak mungkin
dilakukan, tetapi yang jika dicari padanannya dalam kehidupan sehari-hari,
mungkin setara pendekatan persuasif dalam mencapai tujuan, dengan hasil akhir
win-win solution-yang kadang
terdengar rada-rada munafik itu.
Ini
menandakan makna kalah itu lebih dari sekadar artinya. Taufiq Ismail menulis
lirik pada 1973: Dalam badminton kalah menang tidak jadi soal. Yang jadi soal
adalah/bagaimana supaya selalu dapat angka 15 lebih dahulu.
Namun
telah diketahui bersama, betapa seperti hubungan Brasil dengan sepak bola,
kekalahan tim bulu tangkis nasional bagi Indonesia diterima sebagai kekalahan
bangsa. Kalah, bukan mengalah, adalah tetap kalah. Jika mengalah memiliki
segi kemenangan, seperti dalam kalimat sing waras ngalah (yang waras
mengalah); atau mengalah seperti dalam propaganda Mao Zedong: mundur
selangkah untuk maju beberapa langkah, maka dalam kekalahan yang
sebenar-benarnya kalah, yakni kekalahan telak, tak ada wilayah penafsiran
bagi kemenangan, karena-apakah itu perang, sepak bola, atau cinta-peraturan
permainannya mengatakan demikian. Maka yang tersisa adalah cara dalam
menerima kekalahan itu.
Dalam
cerita wayang, terdapat sejumlah cara menerima kekalahan. Pertama, kekalahan
Sumantri. Tokoh ini tercatat dua kali mengalami kekalahan dalam adu
kesaktian, pertama adalah kekalahan dari Arjuna Sasrabahu, kedua dari
Dasamuka. Kekalahan pertama adalah justru kekalahan yang diharapkannya,
karena Sumantri hanya bersedia mengabdi kepada raja yang mampu mengalahkannya-jadi,
dalam kekalahannya, ia tak sekadar rela, tetapi seperti menemukan apa yang
dicarinya. Kekalahan kedua, meskipun tentu tidak diharapkannya, dapat
dikatakan juga direlakannya, karena sebagai Patih Suwanda yang bahkan
Ranggawarsita menjadikannya teladan, seorang kesatria memberikan raga maupun
jiwanya dalam pengabdian. Dengan begitu, keduanya adalah kekalahan yang
direlakan.
Kedua,
kekalahan Yudhistira. Kekalahan paling terkenal dari maharaja terbijak ini
berlangsung di meja judi, dapat dikatakan sebagai kekalahan terkonyol dalam
sejarah peradaban, karena sungguh-sungguh tidak perlu terjadi. Kekalahan yang
mempertaruhkan kerajaan, Pandawa Lima, dan Drupadi, istrinya sendiri, layak
disebut konyol bukan sekadar karena berlangsung di meja judi, melainkan
karena dilakukan penjudi yang seumur hidupnya belum pernah menang sama
sekali! Sebegitu jauh mereka relakan kekalahan terkonyol ini.
Ketiga,
kekalahan Suyudana. Dalam akhir Perang Bharatayudha, Prabu Hastina itu tidak
dapat dicari di perkemahannya, karena merendam diri di dalam kolam. Ia
tinggal sendiri, tanpa prajurit dan tanpa punggawa, tidak bersedia
melanjutkan peperangan, karena semangatnya sudah tidak ada lagi. Jika seorang
Bhisma, Gatotkaca, dan Karna dalam kekalahannya tetap mendapat penghormatan
tinggi, sampai titik ini Suyudana mengalami kekalahan ganda, sebagai prajurit
yang wajib berperang maupun sebagai kesatria yang tidak mementingkan kalah
dan menang. Memang kemudian Yudhistira berhasil mengingatkannya, dan Suyudana
bersedia menyelesaikan kewajiban melawan Bima. Namun sebetulnya Suyudana
sudah kalah segalanya.
Keempat,
kekalahan Aswatama. Dalam Bharatayudha, putra Begawan Durna ini tercatat
hanya berperang setelah ayahnya gugur. Namun, setelah mengamuk sebentar, dan
terdesak, Aswatawa bahkan melarikan diri. Menerima kecaman Suyudana, ia
melepaskan diri dari keterlibatan perang, tetapi masih menyimpan dendam.
Setelah Bharatayudha selesai dengan kekalahan Kurawa, barulah suatu malam ia
menyusup seperti ninja ke dalam perkemahan Pandawa, membunuh Drestajumena,
Srikandi (atau Sikhandi yang pria dalam versi India), dan putra Drupadi
bernama Pancawala. Dalam Sauptika Parwa atau Pembantaian Malam yang berbahasa
Sanskerta, masih banyak lagi yang dibunuh dan dibantai dengan kejam. Ini
bukan cara menerima kekalahan, ini adalah cara tidak menerima kekalahan-yang
tak dapat diterima. Maka nyawa Aswatawa yang dibunuh Arjuna, terkutuk untuk
luntang-lantung 3.000 tahun lamanya. Di Indonesia hampir tak pernah terdengar
dalang memainkannya.
Dari
empat cara menanggapi kekalahan, yang terakhir ini paling berbahaya, dan
meskipun tak pernah dipentaskan dalang, merupakan gejala yang tertunjukkan
penanda-penandanya.
Diskursus
Teater Narcis menyebutkan tentang pemimpin teater yang akan menyalahkan
penonton jika pertunjukannya gagal. Padahal publik dalam politik itu seperti
penonton teater, yang dalam posisi apa pun akan disalahkan pemimpin semacam
ini (Soekito, 8/5/1972: 6; 15/3/1985: 4).
Jika
kedewasaan dapat dilihat dalam cara menerima kekalahan. Seberapa dewasa dunia
politik Indonesia? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar