Bumbu
Statistik dalam Debat Capres
Kadir ; Bekerja di Badan Pusat Statistik
|
TEMPO.CO,
30 Juni 2014
Penguasaan
data statistik dan kemampuan menerjemahkannya dengan benar merupakan petunjuk
bahwa seseorang menguasai permasalahan dengan baik. Itulah sebab dalam debat
calon presiden (capres) atau calon perdana menteri di negara-negara maju,
kemampuan kandidat dalam membedah masalah dengan data sangat menentukan
performanya di mata publik.
Hal ini,
misalnya, terlihat dalam debat antara John F. Kennedy dan Richard Nixon pada
26 September 1960. Dalam debat perdana yang menurut sejumlah kalangan
merupakan faktor krusial penyebab kekalahan Nixon itu, Kennedy menunjukkan
kemampuannya dalam membedah dan menyodorkan solusi atas berbagai persoalan
sosial-ekonomi yang tengah dihadapi Amerika Serikat dengan dukungan
penguasaan data statistik yang baik. Walhasil, Kennedy, yang semula tidak
dijagokan, berhasil mengungguli Nixon (Tangguh dengan Statistik, 2013).
Sayangnya,
dalam debat capres yang sudah dihelat sebanyak tiga kali antara Prabowo dan
Jokowi, kita sama sekali tidak pernah disuguhi kemampuan keduanya dalam
membedah persoalan dengan data. Dalam debat kedua yang mengusung tema pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan sosial, misalnya, kedua capres seharusnya mengupas
persoalan investasi, daya saing, kemiskinan, pengangguran, dan tingginya
angka kematian ibu dengan data-data statistik. Faktanya, keduanya cenderung
mengumbar bahasa-bahasa verbal yang terkesan normatif, konseptual, dan kurang
terukur (kualitatif). Data-data statistik memang sesekali dilontarkan oleh
kedua capres. Namun hal ini tanpa dibarengi dengan penguasaan yang dalam.
Prabowo,
misalnya, berulang kali menyebut bahwa kebocoran anggaran negara mencapai Rp
1.000-1.200 triliun per tahun. Namun, alih-alih menunjukkan bahwa beliau
mampu memberi solusi atas keterbatasan anggaran nasional untuk mendanai
pembangunan, angka kebocoran tersebut justru dianggap tidak realistis dan dipertanyakan
kesahihannya oleh para ekonom. Soalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara hanya Rp 1.800 triliun.
Begitu
pula ketika Prabowo menyodorkan gagasan untuk membuka 4 juta hektare lahan
pertanian baru dalam lima tahun mendatang sebagai solusi atas persoalan
kemiskinan dan pengangguran. Secara konseptual, gagasan ini memang menarik.
Namun secara teknis, hal ini sangat sulit untuk diwujudkan. Faktanya, dalam
sepuluh tahun terakhir, pemerintah hanya mampu menambah 700 ribu hektare
lahan pertanian baru, jauh dari target ambisius pemerintah, yang sebesar 6,15
juta hektare.
Sementara
itu, Jokowi juga setali tiga uang. Meski solusi yang ditawarkannya lebih
bersifat implementatif ketimbang Prabowo yang cenderung konseptual, Jokowi
hampir sama sekali tidak menggunakan data statistik ketika membedah
persoalan. Jokowi memang sempat menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi di atas 7
persen per tahun adalah sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Namun jawaban
yang diberikan untuk mencapai target pertumbuhan tersebut cenderung normatif
dan tidak terukur.
Karena
itu, alangkah lebih elok bila bumbu statistik ditambah dan diperbanyak dalam
dua debat yang tersisa. Hal ini penting karena, bukan hanya sebagai bukti
bahwa para kandidat betul-betul menguasai persoalan yang membelit bangsa ini
secara faktual, tapi juga bakal mendorong terwujudnya based evidence society, yakni masyarakat yang rasional, obyektif,
dan fair ketika menentukan pilihan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar