Eksplosi
Simbol Tanpa Keadaban Publik
Ari
Kristianawati ; Guru SMAN 1 Sragen
|
SINAR
HARAPAN, 01 Juli 2014
Perhelatan
pemilihan presiden akan segera mencapai titik kulminasi pada tahap pemungutan
suara 9 Juli. Berbagai langkah strategis dari calon presiden (capres) dan tim
suksesnya untuk mendulang dukungan suara pemilih terus dilakukan. Metodologi
kampanye dilakukan dengan mencoba beragam pendekatan politik.
Di balik
"ingar-bingar" rivalitas politik antara kubu Prabowo- Hatta versus
Jokowi-JK, ada sesuatu fenomena politik klasik yang diperagakan kedua capres.
Mereka mengambil pilihan simbol politik untuk meneguhkan eksistensi sekaligus
sarana pencitraan sosial. Jokowi dalam berbagai ruang komunikasi publik
menyimbolisasi diri sebagai calon pemimpin yang ajek dan ikhlas mendengar
suara masyarakat.
Namun
yang menarik, lawan Jokowi, Prabowo Subianto, mencoba membangun
"kubah" pencitraan diri sebagai calon pemimpin yang memiliki jiwa
tegas, kesatria, dan sebagai penjaga kedaulatan bangsa (nasional).
Prabowo
dari materi kampanye atau isu politik yang dijanjikan hingga cara berpakaian
mengambil simbol-simbol politik yang dekat dengan makna kepemimpinan yang
dirindukan masyarakat.
Cara
berpakaian Prabowo "plagiat" dari cara berpakaian bapak Proklamator
Ir Soekarno. Bahkan dalam serangkaian momen rapat akbar, alat pengeras suara
sebagai sarana pidato mencontoh alat serupa yang digunakan untuk pidato Bung
Karno pada era 1940-an sampai 1960-an.
Sesuatu
yang sah-sah saja mengilhami diri sebagai sosok yang berkiblat pada tokoh
masa lampau yang direpresentasikan sebagai kekuatan pemersatu dan pemimpin
yang dirindukan masyarakat.
Namun,
yang menyedihkan di balik eksploitasi simbol dalam momentum pilpres adalah
kasus "kebodohan" Ahmad Dhani. Musikus yang memproklamirkan diri
menjadi pendukung Prabowo, menggunakan simbol Nazi, dengan memakai baju
(pakaian) yang mirip pakaian tokoh SS Nazi, Heinrich Himler. Himler adalah
tokoh Nazi yang dikenal kejam. Dalih Dhani, memakai pakaian gaya tokoh Nazi
adalah imajinasi tentang kepemimpinan yang efisien dan tegas.
Itu
jelas dalih atau logika yang a historis, tidak ilmiah, dan irrasional. Ini
karena kepemimpinan yang kuat dan pro rakyat berbeda dengan kepemimpinan yang
kejam dan dehumanis.
Tragisnya,
"kreativitas" Dhani dibela para pendukung tim sukses Prabowo.
Padahal, berbagai media di luar negeri seperti Der Spiegel mengecam keras
perilaku musikus yang juga gemar menerjemahkan lagu band-band ternama di
dunia tersebut.
Eksplosi
simbol dalam arena pilpres bisa ditafsirkan dalam berbagai sudut pandang.
Pertama, penggunaan simbol-simbol semacam cara berpakaian, gambar pemimpin masa
lalu—Soeharto, Soekarno, dan sebagainya—bentuk ketidakpercayaan diri para
elite politik. Ketidakpercayaan diri atas kemampuan dan pemikirannya sehingga
perlu menyontek gaya berpakaian dan model gestur pemimpin masa lalu.
Kedua,
sebagai wujud politik identifikasi, berupaya menarik simpati dan dukungan
masyarakat yang masih memiliki kepercayaan dengan tokoh masa lalu, dan bahkan
masyarakat merindukan kehadiran pemimpin masa lalu tersebut. Sang capres atau
elite politik melakukan klaim politik bahwa ia mewakili karakter tokoh masa
lalu yang layak dipilih.
Ketiga,
sebagai bentuk manipulasi kesadaran simbolik. Para elite atau capres yang
menggunakan simbol tokoh masa lalu melakukan politik pura-pura untuk meraup
dukungan publik atau basis komunitas ideologis untuk meraih dukungan riil
dalam pemungutan suara.
Kesantunan Sosial
Sayangnya,
di balik demam manipulasi atau pemakaian simbol “tempo dulu" ada
tindakan poliitik yang jauh dari etis keadaban publik. Pergelaran Pilpres
2014 sangat jauh dari nilai humanis, adab, dan kesantunan sosial.
Lihatlah
bagaimana cecaran kampanye hitam yang isinya fitnah, pendiskreditan capres
tertentu. Kemudian praktik mobilisasi dukungan politik yang melanggar
regulasi dan prinsip kejujuran.
Hal yang
paling menyedihkan adalah berbagai komentar, opini, dan serangan dari tim
sukses capres yang satu kepada yang lain diungkapkan tanpa etika sosial.
Agresif
tanpa nalar yang menghargai eksistensi kelompok yang lain. Bahkan, dalam
kacamata tim pendukung capres tertentu, capres yang lain seolah tidak ada
nilai yang positif.
Keadaban
publik adalah sebuah pelaksanaan norma-norma sosial yang menjadi perekat
kehidupan yang harmoni dan adil. Penghormatan kepada kebebasan berpendapat,
menjunjung hak asasi manusia, menghargai perbedaan dan pluralitas, serta
mengutamakan keadilan sosial.
Pemakaian
simbol oleh beberapa kalangan dalam ajang pilpres tanpa diikuti upaya
mengamalkan kehormatan prinsip tokoh yang dijadikan referensi. Sosok
Soekarno, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang berani menentang
imperialisme-kolonialisme, tokoh yang menghormati kebebasan berpendapat, yang
teguh memegang prinsip kemandirian bangsa. Sayangnya, eksplosi simbol
Soekarno tanpa diiringi penghayatan pemikiran ideologis Soekarno.
Bahkan,
pemakaian simbol Nazi oleh seorang musikus pendukung capres tertentu, jelas
kelihatan ketidakmengertian akan sejarah dan gagasan sosio-nasionalisme
Hitler, yang sepak terjangnya menciptakan tragedi kemanusiaan. Simbol Nazi
adalah sebuah bentuk pengakuan atas kekejaman politik masa lalu.
Untuk
itulah sebuah pelajaran politik. Hati-hatilah menggunakan simbol politik jika
tidak dilandasi komitmen dan wawasan yang mumpuni tentang biografi tokoh yang
disimbolisasi. Pemakai simbol harus memahami filosofi simbol atau pemikiran
tokoh yang dijadikan anutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar