Rabu, 02 Juli 2014

Eksplosi Simbol Tanpa Keadaban Publik

Eksplosi Simbol Tanpa Keadaban Publik

Ari Kristianawati ;  Guru SMAN 1 Sragen
SINAR HARAPAN, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Perhelatan pemilihan presiden akan segera mencapai titik kulminasi pada tahap pemungutan suara 9 Juli. Berbagai langkah strategis dari calon presiden (capres) dan tim suksesnya untuk mendulang dukungan suara pemilih terus dilakukan. Metodologi kampanye dilakukan dengan mencoba beragam pendekatan politik.

Di balik "ingar-bingar" rivalitas politik antara kubu Prabowo- Hatta versus Jokowi-JK, ada sesuatu fenomena politik klasik yang diperagakan kedua capres. Mereka mengambil pilihan simbol politik untuk meneguhkan eksistensi sekaligus sarana pencitraan sosial. Jokowi dalam berbagai ruang komunikasi publik menyimbolisasi diri sebagai calon pemimpin yang ajek dan ikhlas mendengar suara masyarakat.

Namun yang menarik, lawan Jokowi, Prabowo Subianto, mencoba membangun "kubah" pencitraan diri sebagai calon pemimpin yang memiliki jiwa tegas, kesatria, dan sebagai penjaga kedaulatan bangsa (nasional).

Prabowo dari materi kampanye atau isu politik yang dijanjikan hingga cara berpakaian mengambil simbol-simbol politik yang dekat dengan makna kepemimpinan yang dirindukan masyarakat.

Cara berpakaian Prabowo "plagiat" dari cara berpakaian bapak Proklamator Ir Soekarno. Bahkan dalam serangkaian momen rapat akbar, alat pengeras suara sebagai sarana pidato mencontoh alat serupa yang digunakan untuk pidato Bung Karno pada era 1940-an sampai 1960-an.

Sesuatu yang sah-sah saja mengilhami diri sebagai sosok yang berkiblat pada tokoh masa lampau yang direpresentasikan sebagai kekuatan pemersatu dan pemimpin yang dirindukan masyarakat.

Namun, yang menyedihkan di balik eksploitasi simbol dalam momentum pilpres adalah kasus "kebodohan" Ahmad Dhani. Musikus yang memproklamirkan diri menjadi pendukung Prabowo, menggunakan simbol Nazi, dengan memakai baju (pakaian) yang mirip pakaian tokoh SS Nazi, Heinrich Himler. Himler adalah tokoh Nazi yang dikenal kejam. Dalih Dhani, memakai pakaian gaya tokoh Nazi adalah imajinasi tentang kepemimpinan yang efisien dan tegas.

Itu jelas dalih atau logika yang a historis, tidak ilmiah, dan irrasional. Ini karena kepemimpinan yang kuat dan pro rakyat berbeda dengan kepemimpinan yang kejam dan dehumanis.

Tragisnya, "kreativitas" Dhani dibela para pendukung tim sukses Prabowo. Padahal, berbagai media di luar negeri seperti Der Spiegel mengecam keras perilaku musikus yang juga gemar menerjemahkan lagu band-band ternama di dunia tersebut.

Eksplosi simbol dalam arena pilpres bisa ditafsirkan dalam berbagai sudut pandang. Pertama, penggunaan simbol-simbol semacam cara berpakaian, gambar pemimpin masa lalu—Soeharto, Soekarno, dan sebagainya—bentuk ketidakpercayaan diri para elite politik. Ketidakpercayaan diri atas kemampuan dan pemikirannya sehingga perlu menyontek gaya berpakaian dan model gestur pemimpin masa lalu.

Kedua, sebagai wujud politik identifikasi, berupaya menarik simpati dan dukungan masyarakat yang masih memiliki kepercayaan dengan tokoh masa lalu, dan bahkan masyarakat merindukan kehadiran pemimpin masa lalu tersebut. Sang capres atau elite politik melakukan klaim politik bahwa ia mewakili karakter tokoh masa lalu yang layak dipilih.

Ketiga, sebagai bentuk manipulasi kesadaran simbolik. Para elite atau capres yang menggunakan simbol tokoh masa lalu melakukan politik pura-pura untuk meraup dukungan publik atau basis komunitas ideologis untuk meraih dukungan riil dalam pemungutan suara.

Kesantunan Sosial

Sayangnya, di balik demam manipulasi atau pemakaian simbol “tempo dulu" ada tindakan poliitik yang jauh dari etis keadaban publik. Pergelaran Pilpres 2014 sangat jauh dari nilai humanis, adab, dan kesantunan sosial.

Lihatlah bagaimana cecaran kampanye hitam yang isinya fitnah, pendiskreditan capres tertentu. Kemudian praktik mobilisasi dukungan politik yang melanggar regulasi dan prinsip kejujuran.

Hal yang paling menyedihkan adalah berbagai komentar, opini, dan serangan dari tim sukses capres yang satu kepada yang lain diungkapkan tanpa etika sosial.

Agresif tanpa nalar yang menghargai eksistensi kelompok yang lain. Bahkan, dalam kacamata tim pendukung capres tertentu, capres yang lain seolah tidak ada nilai yang positif.

Keadaban publik adalah sebuah pelaksanaan norma-norma sosial yang menjadi perekat kehidupan yang harmoni dan adil. Penghormatan kepada kebebasan berpendapat, menjunjung hak asasi manusia, menghargai perbedaan dan pluralitas, serta mengutamakan keadilan sosial.

Pemakaian simbol oleh beberapa kalangan dalam ajang pilpres tanpa diikuti upaya mengamalkan kehormatan prinsip tokoh yang dijadikan referensi. Sosok Soekarno, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang berani menentang imperialisme-kolonialisme, tokoh yang menghormati kebebasan berpendapat, yang teguh memegang prinsip kemandirian bangsa. Sayangnya, eksplosi simbol Soekarno tanpa diiringi penghayatan pemikiran ideologis Soekarno.

Bahkan, pemakaian simbol Nazi oleh seorang musikus pendukung capres tertentu, jelas kelihatan ketidakmengertian akan sejarah dan gagasan sosio-nasionalisme Hitler, yang sepak terjangnya menciptakan tragedi kemanusiaan. Simbol Nazi adalah sebuah bentuk pengakuan atas kekejaman politik masa lalu.

Untuk itulah sebuah pelajaran politik. Hati-hatilah menggunakan simbol politik jika tidak dilandasi komitmen dan wawasan yang mumpuni tentang biografi tokoh yang disimbolisasi. Pemakai simbol harus memahami filosofi simbol atau pemikiran tokoh yang dijadikan anutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar