Cut
Nyak Dhien, di Sumedang Jasadmu Berkalang
Parni
Hadi ; Wartawan dan Aktivis
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 01 Juli 2014
Tahu
Sumedang, hampir semua orang tahu karena rasa tahu goreng buatan kota itu
memang khas. Namun, tidak semua orang tahu di Kota Sumedang bersemayam jasad
pahlawan bangsa, perempuan perkasa berhati baja kelahiran Aceh, Cut Nyak
Dhien.
Banyak
orang Indonesia tidak tahu Cut Nyak Dhien dimakamkan di Sumedang. Itu
bukanlah hal aneh. Seorang perempuan yang berpendidikan tinggi kaget ketika
saya mengatakan ingin berziarah ke makam Cut Nyak Dhien.
“Beliau
dimakamkan di Sumedang sini, ya?” begitu tanyanya.
Ya,
itulah dialog kecil yang terjadi setelah peresmian Masjid Khusnul Khatimah di
Desa Raharja, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, 15 Juni. Masjid itu
dibangun secara gotong royong oleh jemaah pendengar kuliah subuh Ustaz KH
Shoimun di RRI Bandung.
Makam
Cut Nyak Dhien terletak di Kompleks Pemakaman Gunung Puyuh, di batas Kota
Sumedang. Gampang mencarinya karena adanya penunjuk arah. Makam Cut Nyak
Dhien terletak di bagian bawah, samping makam para ningrat Sumedang, di
antaranya Bupati Pangeran Aria Suria Atmaja. Makam itu tampak terawat apik.
Hari itu
kebetulan Ahad (Minggu), sejumlah peziarah mendatangi makam itu. Tidak semua
peziarah berasal dari Aceh. Banyak juga penduduk, terutama murid sekolah dan
pesantren dari daerah sekitarnya. Di depan Kompleks Pemakaman Gunung Puyuh
terdapat warung Aceh yang menyajikan makanan khas Serambi Mekah itu.
Di dalam
kompleks makam Cut Nyak Dhien yang luasnya sekitar 1.500 meter dan berpagar
batu, terdapat musala dan prasasti berisi riwayat hidup sang pejuang. Cut
Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga ningrat di Lampadang, Aceh Besar, pada
1848. Ia wafat dalam status sebagai orang buangan atau tahanan politik
pemerintah Belanda di Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908.
Sepeninggal
suaminya, Teuku Umar, yang juga pahlawan nasional, Cut Nyak Dhien meneruskan
perang gerilya melawan penjajah Belanda sampai tertangkap 1901. Penangkapan
itu terjadi gara-gara Pang Laot Ali, tangan kanan dan panglimanya. Ia
membocorkan tempat persembunyian Cut Nyak Dhien dengan alasan kasihan kepada
pejuang perempuan itu, sudah tua dan menderita penyakit rabun dan encok.
Cut Nyak
Dhien dikisahkan pantang menyerah kepada Belanda yang disebutnya kafir.
Ketika tertangkap dan diminta mengangkat kedua tangannya oleh pemimpin
pasukan Belanda, ia mengatakan, “Ya Allah, ya Tuhan, inilah nasib
perjuanganku? Di dalam bulan puasa diserahkan kepada kafir.”
Cut Nyak
Dhien menikah dua kali. Pertama dengan Teuku Ibrahim Langma yang gugur dalam
perang Aceh melawan Belanda pada 1878. Dua tahun kemudian ia menikah dengan
Teuku Umar yang masih kerabat ayahnya.
Semula,
ia menolak menikah lagi karena ingin menuntut balas kematian suaminya. Ia
menerima pinangan Teuku Umur hanya setelah mendapat janji boleh ikut
berperang melawan Belanda.
Dari
pernikahannya dengan Teuku Umar, lahir seorang putri yang diberi nama Cut
Gambang. Ketika ayahnya gugur, Cut Gambang menangis. Ia ditampar oleh Cut
Nyak Dhien yang kemudian segera memeluk puterinya itu sambil menasihati,
“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menangisi yang sudah mati syahid.”
Cut Gambang berhasil meloloskan diri untuk meneruskan perjuangan.
Setelah
ditangkap Belanda, penyakit Cut Nyak Dhien diobati dan berangsur sembuh.
Namun, semangat perlawanannya tidak kunjung padam. Ia tetap membina hubungan
dengan para pejuang Aceh. Akhirnya, Belanda memutuskan untuk membuangnya ke
Sumedang karena takut ia masih akan terus memobilisasi perlawanan. Itu
terjadi pada 1906.
Kisah
lebih lengkapnya bisa diikuti dalam film Cut Nyak Dhien karya Sutradara Eros
Djarot dengan Christine Hakim sebagai Cut Nyak Dhien pada 1988. Film itu
meraih Piala Citra dan merupakan film pertama Indonesia yang diputar dan
memperoleh penghargaan di festival film internasional Cannes, Prancis, pada
1989.
Menyatukan Indonesia
Sampai
meninggalnya, Cut Nyak Dhien tak banyak dikenal masyarakat Sumedang. Makamnya
pun baru ditemukan pada 1959, berkat informasi dari pemerintah Belanda.
Presiden Soekarno, pengobar nasionalisme Indonesia, melalui Surat Keputusan
Presiden Nomor 106/1964 tanggal 2 Mei 1964, mengangkat Cut Nyak Dhien sebagai
pahlawan nasional bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.
Dalam
pembuangannya di Sumedang, Cut Nyak Dhien menolak apa pun yang diberikan
Belanda. Bupati Aria Suria Atmaja sangat menghormati tawanan Belanda yang
menguasai bahasa Arab dan ilmu agama Islam itu.
Sang
Bupati tidak menempatkannya di penjara, tetapi menitipkannya di rumah
keluarga H Sanusi, pemimpin Masjid Agung Sumedang yang terletak di Desa
Kauman. Dikarenakan kesalehan dan kegiatan ya mengajar Alquran, Cut Nyak
Dhien mendapat gelar sebutan “Ibu Perbu” atau “Ibu Ratu”.
Makam
Cut Nyak Dhien yang menjadi satu dengan makam keluarga Haji Sanusi itu
pertama kali dipugar 1987 dan diresmikan oleh Gubernur Aceh, Ibrahim Hassan,
dengan prasasti bertanggal 7 Desember 1987. Sebuah prasasti lain bertanggal
17 Agustus 2013 dipasang setelah pintu masuk makam, ditandatangani Gubernur
Aceh, Zaini Abdullah, berisi riwayat hidup dan perjuangan Cut Nyak Dhien.
Upaya
pemerintah penjajahan Belanda memisahkan para pejuang dari pengikutnya dengan
membuang mereka ke pulau lain, ternyata justru menyatukan anak bangsa negeri
ini. Contohya, Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado dan akhirnya wafat di
Makassar. Tuanku Imam Bonjol di buang ke Manado sampai wafatnya. Kyai Mojo,
panglima Diponegoro, dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.
Di
tempat pembuangan itu mereka menyemaikan semangat kebangsaan yang berujung
kepada kemerdekaan RI. Makam para pahlawan kusuma bangsa yang bertebaran dari
Sabang sampai Merauke itu sungguh tepat dikembangkan menjadi tujuan wisata
ziarah sejarah, terutama untuk generasi muda.
Semoga
menjelang 9 Juli, para capres-cawapres nanti masih bisa menyempatkan diri
berziarah ke makam para pahlawan nasional untuk mendoakan, mengambil inspirasi,
dan melakukan introspeksi. Itu agar mereka lebih menyadari NKRI ini lahir
dari tetesan keringat, air mata, dan darah para pejuang. Untuk berkaca diri
(bukan kampanye) tidak perlu datang ramai-ramai! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar