Rabu, 02 Juli 2014

Cut Nyak Dhien, di Sumedang Jasadmu Berkalang

Cut Nyak Dhien, di Sumedang Jasadmu Berkalang

Parni Hadi ;  Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Tahu Sumedang, hampir semua orang tahu karena rasa tahu goreng buatan kota itu memang khas. Namun, tidak semua orang tahu di Kota Sumedang bersemayam jasad pahlawan bangsa, perempuan perkasa berhati baja kelahiran Aceh, Cut Nyak Dhien.

Banyak orang Indonesia tidak tahu Cut Nyak Dhien dimakamkan di Sumedang. Itu bukanlah hal aneh. Seorang perempuan yang berpendidikan tinggi kaget ketika saya mengatakan ingin berziarah ke makam Cut Nyak Dhien.
“Beliau dimakamkan di Sumedang sini, ya?” begitu tanyanya.

Ya, itulah dialog kecil yang terjadi setelah peresmian Masjid Khusnul Khatimah di Desa Raharja, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, 15 Juni. Masjid itu dibangun secara gotong royong oleh jemaah pendengar kuliah subuh Ustaz KH Shoimun di RRI Bandung.

Makam Cut Nyak Dhien terletak di Kompleks Pemakaman Gunung Puyuh, di batas Kota Sumedang. Gampang mencarinya karena adanya penunjuk arah. Makam Cut Nyak Dhien terletak di bagian bawah, samping makam para ningrat Sumedang, di antaranya Bupati Pangeran Aria Suria Atmaja. Makam itu tampak terawat apik.

Hari itu kebetulan Ahad (Minggu), sejumlah peziarah mendatangi makam itu. Tidak semua peziarah berasal dari Aceh. Banyak juga penduduk, terutama murid sekolah dan pesantren dari daerah sekitarnya. Di depan Kompleks Pemakaman Gunung Puyuh terdapat warung Aceh yang menyajikan makanan khas Serambi Mekah itu.

Di dalam kompleks makam Cut Nyak Dhien yang luasnya sekitar 1.500 meter dan berpagar batu, terdapat musala dan prasasti berisi riwayat hidup sang pejuang. Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga ningrat di Lampadang, Aceh Besar, pada 1848. Ia wafat dalam status sebagai orang buangan atau tahanan politik pemerintah Belanda di Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908.

Sepeninggal suaminya, Teuku Umar, yang juga pahlawan nasional, Cut Nyak Dhien meneruskan perang gerilya melawan penjajah Belanda sampai tertangkap 1901. Penangkapan itu terjadi gara-gara Pang Laot Ali, tangan kanan dan panglimanya. Ia membocorkan tempat persembunyian Cut Nyak Dhien dengan alasan kasihan kepada pejuang perempuan itu, sudah tua dan menderita penyakit rabun dan encok.

Cut Nyak Dhien dikisahkan pantang menyerah kepada Belanda yang disebutnya kafir. Ketika tertangkap dan diminta mengangkat kedua tangannya oleh pemimpin pasukan Belanda, ia mengatakan, “Ya Allah, ya Tuhan, inilah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa diserahkan kepada kafir.”

Cut Nyak Dhien menikah dua kali. Pertama dengan Teuku Ibrahim Langma yang gugur dalam perang Aceh melawan Belanda pada 1878. Dua tahun kemudian ia menikah dengan Teuku Umar yang masih kerabat ayahnya.

Semula, ia menolak menikah lagi karena ingin menuntut balas kematian suaminya. Ia menerima pinangan Teuku Umur hanya setelah mendapat janji boleh ikut berperang melawan Belanda.

Dari pernikahannya dengan Teuku Umar, lahir seorang putri yang diberi nama Cut Gambang. Ketika ayahnya gugur, Cut Gambang menangis. Ia ditampar oleh Cut Nyak Dhien yang kemudian segera memeluk puterinya itu sambil menasihati, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menangisi yang sudah mati syahid.” Cut Gambang berhasil meloloskan diri untuk meneruskan perjuangan.

Setelah ditangkap Belanda, penyakit Cut Nyak Dhien diobati dan berangsur sembuh. Namun, semangat perlawanannya tidak kunjung padam. Ia tetap membina hubungan dengan para pejuang Aceh. Akhirnya, Belanda memutuskan untuk membuangnya ke Sumedang karena takut ia masih akan terus memobilisasi perlawanan. Itu terjadi pada 1906.

Kisah lebih lengkapnya bisa diikuti dalam film Cut Nyak Dhien karya Sutradara Eros Djarot dengan Christine Hakim sebagai Cut Nyak Dhien pada 1988. Film itu meraih Piala Citra dan merupakan film pertama Indonesia yang diputar dan memperoleh penghargaan di festival film internasional Cannes, Prancis, pada 1989.

Menyatukan Indonesia

Sampai meninggalnya, Cut Nyak Dhien tak banyak dikenal masyarakat Sumedang. Makamnya pun baru ditemukan pada 1959, berkat informasi dari pemerintah Belanda. Presiden Soekarno, pengobar nasionalisme Indonesia, melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 106/1964 tanggal 2 Mei 1964, mengangkat Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan nasional bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.

Dalam pembuangannya di Sumedang, Cut Nyak Dhien menolak apa pun yang diberikan Belanda. Bupati Aria Suria Atmaja sangat menghormati tawanan Belanda yang menguasai bahasa Arab dan ilmu agama Islam itu.

Sang Bupati tidak menempatkannya di penjara, tetapi menitipkannya di rumah keluarga H Sanusi, pemimpin Masjid Agung Sumedang yang terletak di Desa Kauman. Dikarenakan kesalehan dan kegiatan ya mengajar Alquran, Cut Nyak Dhien mendapat gelar sebutan “Ibu Perbu” atau “Ibu Ratu”.

Makam Cut Nyak Dhien yang menjadi satu dengan makam keluarga Haji Sanusi itu pertama kali dipugar 1987 dan diresmikan oleh Gubernur Aceh, Ibrahim Hassan, dengan prasasti bertanggal 7 Desember 1987. Sebuah prasasti lain bertanggal 17 Agustus 2013 dipasang setelah pintu masuk makam, ditandatangani Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, berisi riwayat hidup dan perjuangan Cut Nyak Dhien.

Upaya pemerintah penjajahan Belanda memisahkan para pejuang dari pengikutnya dengan membuang mereka ke pulau lain, ternyata justru menyatukan anak bangsa negeri ini. Contohya, Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado dan akhirnya wafat di Makassar. Tuanku Imam Bonjol di buang ke Manado sampai wafatnya. Kyai Mojo, panglima Diponegoro, dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.

Di tempat pembuangan itu mereka menyemaikan semangat kebangsaan yang berujung kepada kemerdekaan RI. Makam para pahlawan kusuma bangsa yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke itu sungguh tepat dikembangkan menjadi tujuan wisata ziarah sejarah, terutama untuk generasi muda.

Semoga menjelang 9 Juli, para capres-cawapres nanti masih bisa menyempatkan diri berziarah ke makam para pahlawan nasional untuk mendoakan, mengambil inspirasi, dan melakukan introspeksi. Itu agar mereka lebih menyadari NKRI ini lahir dari tetesan keringat, air mata, dan darah para pejuang. Untuk berkaca diri (bukan kampanye) tidak perlu datang ramai-ramai!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar