Infotainmen
Politik
Musyafak
; Staf Balai Litbang
Agama Semarang
|
TEMPO.CO,
01 Juli 2014
Pemilu
selalu menghadiahi informasi politik yang tumpah-ruah kepada publik. Namun melimpahnya
informasi politik berbanding terbalik dengan makna politik yang kian
menyusut. Berita politik bak gelombang besar di lautan, sedangkan substansi
politik ibarat buih-buih busa yang terombang-ambing di atas gelombang itu.
Meluapnya
informasi politik memberi berkah tersendiri kepada industri media. Libido
industri media terus mengondisikan agar berita terkemas semenarik mungkin
demi rating dan raupan iklan. Pada momentum ini, kerja-kerja jurnalisme
benar-benar memperhitungkan unsur hiburan. Malu-malu tapi mau, jurnalisme
kian mencelup dalam ke ranah infotainmen.
Infotainmen
berprinsip menggabungkan informasi dengan hiburan. Corak siaran informasinya
lebih mementingkan kemasan ketimbang isi. Informasi mengarah pada unsur-unsur
individualitas tokoh yang didramatisasi dengan unsur-unsur emotif sehingga
mampu menimbulkan reaksi-reaksi psikologis.
Dalam
pilpres kali ini, banyak corak infotainmen yang dikonstruksi seolah-olah
berita. Incarannya adalah aspek-aspek individualitas capres atau cawapres
yang dikomodifikasi untuk konsumsi publik. Masyarakat konsumen media massa
tentu belum lupa paparan media tentang sederetan "kisah sisi lain" dari para politikus yang terkesan
lucu, membikin penasaran, bahkan konyol. Taruhlah Aburizal Bakrie suka
memeluk boneka, Joko Widodo membawa secarik kertas bertulisan doa dari sang
ibu ketika debat, artis Julia Perez menggoda seorang capres di media sosial,
Prabowo Subianto konon hendak rujuk dengan Titiek Soeharto, atau soal
anggapan penolakan cium pipi salah satu kandidat sebelum memasuki ring debat
capres. Serentetan informasi yang mencuat di arena politik itu dikemas
sebagai hiburan yang terasa lebih menarik daripada informasi-informasi
politik yang lebih substansial menawarkan ide-ide politik kepada publik.
Wartawan
menjadi mesin jurnalisme yang mengutamakan kecepatan dan up date ketimbang
verifikasi atau investigasi. Sisi individualitas politikus diramu sebagai
kasak-kasuk yang menghibur. Gaya hidup, penampilan, dan gesture seorang
capres atau cawapres menjadi prioritas pemberitaan. Itulah yang justru lebih
dinikmati dan menyita banyak energi publik. Sejalan dengan itu, jurnalis
bukan lagi sekadar sebagai pencari atau penyampai berita, tapi juga sebagai
penjual berita.
Informasi
yang bersifat kasak-kusuk dan sas-sus seolah cuaca lembap bagi jamur fitnah.
Berbagai kabar burung punya ruang tumbuh lebih luas. Penikmat infotainmen
justru mengalami ekstase pada kabar politik yang kabur dan belum jelas
kebenarannya.
Bagi
politikus yang bernalar selebritas, lensa kamera adalah ruang untuk unjuk
diri. Bukan hanya informasi seputar ide dan aksi politik yang ditampilkan,
tapi ruang-ruang privat juga dieksplorasi untuk mengatrol popularitas. Ekses
pemanfaatan media oleh politikus ini menampakkan libido kekuasaan yang
berjodoh dengan libido kapitalistis industri media.
Kini
infotaimen politik bukan cuma bumbu, apalagi sekadar pemanis, tapi juga
sajian utama di media massa. Infotainmen politik sebetulnya bisa merelaksasi
ketegangan di arus lalu lintas informasi publik. Namun, pada waktu yang sama,
infotainmen mementaskan drama demokrasi sebagai tayangan ulang tentang
banalitas politik yang kesekian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar