Rabu, 02 Juli 2014

Infotainmen Politik

Infotainmen Politik

Musyafak ;  Staf Balai Litbang Agama Semarang
TEMPO.CO, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pemilu selalu menghadiahi informasi politik yang tumpah-ruah kepada publik. Namun melimpahnya informasi politik berbanding terbalik dengan makna politik yang kian menyusut. Berita politik bak gelombang besar di lautan, sedangkan substansi politik ibarat buih-buih busa yang terombang-ambing di atas gelombang itu.

Meluapnya informasi politik memberi berkah tersendiri kepada industri media. Libido industri media terus mengondisikan agar berita terkemas semenarik mungkin demi rating dan raupan iklan. Pada momentum ini, kerja-kerja jurnalisme benar-benar memperhitungkan unsur hiburan. Malu-malu tapi mau, jurnalisme kian mencelup dalam ke ranah infotainmen.

Infotainmen berprinsip menggabungkan informasi dengan hiburan. Corak siaran informasinya lebih mementingkan kemasan ketimbang isi. Informasi mengarah pada unsur-unsur individualitas tokoh yang didramatisasi dengan unsur-unsur emotif sehingga mampu menimbulkan reaksi-reaksi psikologis.

Dalam pilpres kali ini, banyak corak infotainmen yang dikonstruksi seolah-olah berita. Incarannya adalah aspek-aspek individualitas capres atau cawapres yang dikomodifikasi untuk konsumsi publik. Masyarakat konsumen media massa tentu belum lupa paparan media tentang sederetan "kisah sisi lain" dari para politikus yang terkesan lucu, membikin penasaran, bahkan konyol. Taruhlah Aburizal Bakrie suka memeluk boneka, Joko Widodo membawa secarik kertas bertulisan doa dari sang ibu ketika debat, artis Julia Perez menggoda seorang capres di media sosial, Prabowo Subianto konon hendak rujuk dengan Titiek Soeharto, atau soal anggapan penolakan cium pipi salah satu kandidat sebelum memasuki ring debat capres. Serentetan informasi yang mencuat di arena politik itu dikemas sebagai hiburan yang terasa lebih menarik daripada informasi-informasi politik yang lebih substansial menawarkan ide-ide politik kepada publik.

Wartawan menjadi mesin jurnalisme yang mengutamakan kecepatan dan up date ketimbang verifikasi atau investigasi. Sisi individualitas politikus diramu sebagai kasak-kasuk yang menghibur. Gaya hidup, penampilan, dan gesture seorang capres atau cawapres menjadi prioritas pemberitaan. Itulah yang justru lebih dinikmati dan menyita banyak energi publik. Sejalan dengan itu, jurnalis bukan lagi sekadar sebagai pencari atau penyampai berita, tapi juga sebagai penjual berita.

Informasi yang bersifat kasak-kusuk dan sas-sus seolah cuaca lembap bagi jamur fitnah. Berbagai kabar burung punya ruang tumbuh lebih luas. Penikmat infotainmen justru mengalami ekstase pada kabar politik yang kabur dan belum jelas kebenarannya.

Bagi politikus yang bernalar selebritas, lensa kamera adalah ruang untuk unjuk diri. Bukan hanya informasi seputar ide dan aksi politik yang ditampilkan, tapi ruang-ruang privat juga dieksplorasi untuk mengatrol popularitas. Ekses pemanfaatan media oleh politikus ini menampakkan libido kekuasaan yang berjodoh dengan libido kapitalistis industri media.

Kini infotaimen politik bukan cuma bumbu, apalagi sekadar pemanis, tapi juga sajian utama di media massa. Infotainmen politik sebetulnya bisa merelaksasi ketegangan di arus lalu lintas informasi publik. Namun, pada waktu yang sama, infotainmen mementaskan drama demokrasi sebagai tayangan ulang tentang banalitas politik yang kesekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar