Lagu
dan Kampanye Presiden
Denny
Sakrie ; Pengamat Musik
|
TEMPO.CO,
30 Juni 2014
Kampanye
pemilihan presiden Indonesia 2014 diriuhkan dengan lagu-lagu yang dinyanyikan
oleh sederet pemusik.
Malah
beberapa pemusik sengaja membuat lagu orisinal untuk capres dan cawapres yang
didukungnya, misalnya Slank menulis lagu Salam Dua Jari untuk pasangan Jokowi
dan Jusuf Kalla.
Kelompok
Jogja Hip Hop Foundation juga menulis lagu khusus untuk Jokowi dan Jusuf
Kalla bertajuk Bersatu Padu Coblos
Nomor 2.
Namun
yang mengundang kontroversi adalah ketika pemusik Ahmad Dhani menyanyikan
lagu We Will Rock You, milik grup
rock Inggris, Queen, sebagai melodi lagu kampanye untuk pasangan capres-cawapres
Prabowo-Hatta yang diberi judul Indonesia
Bangkit yang ternyata tidak meminta izin kepada penulis lagu tersebut,
yaitu gitaris Queen, Brian May.
Sebetulnya
tak ada yang salah, jika saja Ahmad Dhani meminta izin kepada penulis lagu We Will Rock You untuk digubah menjadi
lagu kampanye.
Ketika
Brian May berkicau di akun Twitter mengenai penggunaan lagu We Will Rock You tanpa izin, dalam
sekejap merebaklah berita ke seantero jagat yang pada akhirnya membuat malu
Indonesia di mata dunia.
Peristiwa
ini setara dengan kejadian pada 1985 ketika Bob Geldof menuntut pemerintah
Indonesia karena ditemukan banyak perekam kaset di Indonesia yang sengaja
membajak rekaman konser amal Live Aid
dan dijual secara komersial.
Di
Amerika Serikat sendiri sejak kampanye presiden Andrew Jackson pada 1824
memang telah berlangsung tradisi membuat lagu kampanye untuk presiden.
Saat itu
Andrew Jackson menggunakan lagu The
Hunters of Kentucky karya Samuel Woodworth sebagai bagian dari
kampanyenya.
Pada
1960 Presiden John F. Kennedy menggunakan lagu High Hopes (1959) milik Frank Sinatra sebagai lagu kampanye
presiden.
Frank
Sinatra lalu mengganti lirik lagunya sesuai dengan kepentingan kampanye
Kennedy.
Presiden
Bill Clinton malah menggunakan lagu Don’t
Stop milik band Inggris, Fleetwood Mac, sebagai lagu kampanye.
Sebetulnya
lagu Don’t Stop tersebut liriknya
bertutur tentang perceraian.
Namun
Bill Clinton mengambil sari pati optimisme dari lirik tersebut sebagai bagian
dari kampanyenya: Don’t stop, thinking
about tomorrow/ Don’t stop, it’ll soon be here/ It’ll be, better than before/
Yesterdays gone, yesterdays gone.
Kita, di
Indonesia, sering kali lupa dan tidak peduli terhadap hak cipta sebuah karya
lagu dengan seenaknya menggunakan lagu-lagu yang populer sebagai bagian dari
kampanye politik.
Dua
tahun lalu, saat kampanye pemilihan Gubernur DKI, para pendukung Jokowi dan
Ahok malah menggunakan lagu What Makes
You Beautiful yang dipopulerkan boyband Inggris, One Direction, tanpa izin sama sekali.
Apalagi
yang menggunakan lagu-lagu rakyat atau tradisional yang tak diketahui siapa
penciptanya, semisal lagu Apuse
yang kemudian judul dan liriknya diubah menjadi Garuda di Dadaku.
Meskipun
sebuah lagu telah masuk kategori public
domain setelah melewati kurun lebih dari 50 tahun, tetap ada yang namanya
etika dan kewajiban menuliskan nama penulis lagunya.
Bahwa
sebuah lagu tak mungkin jatuh dari langit begitu saja tanpa ada yang
menuliskannya, mungkin perlu lebih jauh dipahami dengan kesadaran yang tinggi
pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar