Kamis, 03 Juli 2014

Bank Tanah untuk Rumah Murah

                             Bank Tanah untuk Rumah Murah

Davy Hendri  ;   Dosen IAIN Imam Bonjol Padang;
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi UI
KOMPAS,  03 Juli 2014
                                                


HARGA  tanah di kota Jabodetabek secara umum mengalami kenaikan luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial yang dirilis BI, secara tahunan harga tanah di Jakarta rata-rata mengalami peningkatan 19,01 persen pada kuartal II-2013.

Sementara untuk perumahan, kenaikan harga properti residensial di pasar primer selama periode kuartal II-2013 adalah 1,93 persen per kuartal atau secara tahunan sebesar 12,62 persen. Jika didetailkan lagi, di beberapa lokasi ”emas” dan tipe perumahan segmen atas di DKI Jakarta mengalami kenaikan paling besar, bahkan sampai melebihi 20 persen per tahun.

Lebih luar biasa lagi, permintaannya tidak pernah mati. Setiap peluncuran stok perumahan primer selalu habis  diserbu pembeli. Bahkan baru sebatas patokan atau model rumah sudah dipesan sejak jauh hari. Hal itu tak hanya berlaku untuk rumah primer (baru), tetapi juga rumah sekunder (seken).

Sebagai perbandingan, pada periode yang sama harga properti residensial di pasar sekunder DKI Jakarta meningkat 3,63 persen per kuartal atau 17,45 persen pada periode yang sama. Dalam mekanisme pasar perumahan yang disediakan oleh pihak pengembang swasta, di kota mana pun berlaku adagium ”ada barang ada uang”.

Terjadilah pertarungan tak imbang yang abadi dalam memperebutkan ruang. Di satu sisi, fenomena kenaikan harga tanah dan bangunan di pusat kota tadi menjadi indikator dari gap yang makin membesar antara permintaan dan penawaran dari perumahan terjangkau.

Di sisi lain ada fakta bahwa penyediaan rumah sistem kontrak menyusut. Di daerah perkotaan Jawa Barat, jika pada tahun 2010 rasio rumah yang dikontrak para warganya mencapai 12,29 persen (SP 2010, BPS), tahun 2012 hanya tinggal 5,89 persen (data diolah Susenas 2012, BPS).

Penyusutan ini berarti beralih fungsinya rumah tadi menjadi perkantoran atau mal dengan cara sewa/beli atau juga rumah kontrak tadi telah menjadi milik rumah tangga yang relatif lebih mampu. Tidak usah heran bahwa banyak  rumah tangga kaya yang memiliki dua atau tiga rumah di perkotaan yang sama untuk berbagai tujuan.

Oleh karena itu, seiring pertumbuhan permintaan, harga lahan dan perumahan (hak milik) di daerah Bodetabek dan Banten juga mengalami kenaikan signifikan rata-rata 20-30 persen per tahun (Indonesia Property Watch, 2013). Mekanisme serupa pasti akan berulang dalam jangka waktu tertentu, bergantung pada ukuran dan kepesatan pembangunan suburban. 

Masalahnya adalah sangat banyak rumah tangga pekerja kota yang tidak punya pilihan serupa karena keterbatasan anggaran. Secara implisit hal ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam satu hal krusial, yaitu kebijakan pengelolaan ruang untuk perumahan  (housing policy).

Data BPS yang dirilis Kementerian Perumahan Rakyat  juga memprediksi peningkatan kebutuhan rumah yang belum terpenuhi atau backlog di dalam negeri, pada tahun lalu, meningkat hingga 21,7 juta.

Jumlah tersebut meningkat 60 persen dibandingkan dengan backlog perumahan pada 2010 yang berjumlah 13,6 juta unit dan melonjak sekitar 45 persen dibandingkan dengan 2012 yang mencapai 15 juta unit.

Kebijakan perumahan

Di satu sisi, mereka yang ”sensitif” harga perumahan dengan terpaksa tinggal di daerah perumahan di tengah kota dengan kualitas yang lebih buruk. Laju urbanisasi tak terkontrol dan paceklik perumahan berdampak negatif dalam bentuk berbagai permasalahan sosial.

Di sisi lain, ketika pemerintah kota harus membutuhkan dan harus menyediakan ruang (lahan) untuk berbagai kepentingan sosial dan mendesak lainnya, mereka juga harus menebusnya dengan harga pasar yang sudah tentu mahal pula.

Dengan kenaikan tinggi itu, tidak mungkin dibangun rumah bersubsidi atau dengan harga terjangkau. Akibatnya, lokasi rumah bersubsidi menjadi berada di pinggiran kota sehingga berdampak pada biaya hidup penghuninya, yang kita tahu merupakan masyarakat berpenghasilan rendah.

Kloplah permasalahannya. Secara umum, Jabodetabek saat ini darurat lahan dan perumahan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di titik ini, urgensi housing policy yang bijak (harmonis, adil, dan mengayomi semua lapisan warga) dapat dimulai dari pencadangan ruang (lahan) oleh pemerintah pusat dan daerah. 

Beberapa inisiatif gebrakan awal dalam skala terbatas sudah dimulai oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah komando Gubernur Jokowi dengan program rusunawa, rusunami, dan kampung deret.  Namun, tentu itu saja tidaklah cukup guna menutupi kebutuhan perumahan layak terjangkau bagi penduduk Jakarta, yang sampai saat ini belum memiliki rumah sendiri (kontrak dan sewa).

Pemerintah seharusnya mulai merealisasikan amanat UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, khususnya  Bab IX  Pasal 105 tentang penyediaan tanah. Secara implisit pasal  ini mengukuhkan urgensi eksistensi Bank Tanah sebagai alternatif kebijakan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, sekaligus sebagai pengendali harga tanah.

Satu hal yang harus diingat, rumah dan permukiman bukan sekadar tempat tinggal buat berteduh ketika terik matahari dan dinginnya hujan.  Kebijakan perumahan yang bijak melalui eksistensi Bank Tanah juga dapat didesain guna meringankan tekanan biaya hidup para pekerja melalui penyediaan perumahan bagi mereka.

Pada gilirannya, sengketa abadi antara buruh dan pengusaha dalam penetapan upah dapat berkurang sehingga industrialisasi sebagai wajah perkotaan dapat berjalan lebih produktif. Oleh karena itu, kita berharap kiranya kepentingan berbagai multisektor dan aktor dapat dipertemukan. Ibarat kata pepatah: ”sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar