Kamis, 03 Juli 2014

Pertahanan Siber

                                                     Pertahanan Siber

Amril Aman  ;   Kepala Bagian Riset Operasi, Departemen Matematika IPB;
Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta
KOMPAS,  03 Juli 2014
                                                


SALAH satu hal yang disampaikan Joko Widodo dalam visi misinya pada debat ketiga calon presiden terkait dengan ketahanan nasional adalah pertahanan siber. Permasalahan ini hal yang amat strategis di masa depan.  Sayang, baik moderator maupun Prabowo tidak melihat urgensi pertahanan siber (cyber)  untuk diangkat pada debat tersebut.

Saat ini kita hidup dan beraktivitas dalam dua ruang: ruang fisik dan ruang siber.  Semua aktivitas fisik kita lakukan pada ruang fisik.  Saat yang sama kita juga beraktivitas di ruang siber  dengan menggunakan komputer atau telepon seluler; berinteraksi melalui e-mail, Facebook, Twitter, dan berbagai media sosial lainnya; melakukan transaksi perdagangan dan perbankan; membaca berita; serta mencari berbagai informasi melalui internet.

Ruang siber telah membebaskan kita dari berbagai pembatas spasial, lembaga, negara, dan sebagainya.  Berbagai keputusan yang kita ambil akan banyak ditentukan oleh informasi yang kita peroleh dari ruang siber.  Aktivitas dalam ruang siber akan mendominasi dan menentukan aktivitas kita dalam ruang fisik.

Melalui ruang siber kita dapat mengirim pesan, yang dalam beberapa detik dapat diterima rekan di belahan dunia lain, memublikasikan pandangan kita yang menjangkau banyak orang, mencari informasi yang kita butuhkan, dan sebagainya.  Namun, di balik kenyamanan itu, ada risiko akan adanya virus, pencurian informasi, dan sebagainya. 

Ruang siber juga dapat digunakan sebagai medium untuk melakukan sabotase, seperti diberitakan New York Times (1/6/2012) bahwa AS dan Israel bertanggung jawab atas virus Stuxnet untuk sabotase pada fasilitas pengayaan nuklir Iran. Artinya, ruang siber juga telah digunakan untuk kegiatan spionase.  Menurut analisis Citizen Lab dari University of Toronto di dalam buku Black Code oleh Ronald J Deibert (2013), komputer Kementerian Luar Negeri Indonesia pernah diinfiltrasi oleh hackers yang diduga terkait dengan Pemerintah Tiongkok.

Pada awal Juni 2013, dunia dikejutkan oleh informasi yang dibocorkan Edward Snowden, seorang konsultan komputer  pada National Security Agency (NSA),  salah satu lembaga spionase AS.  Snowden membuka berbagai kegiatan spionase pada ruang siber yang telah dilakukan Pemerintah AS.

Salah satu informasi yang dibocorkan terkait Indonesia.  Bocoran itu antara lain  mengungkapkan:  intelijen Australia telah mengumpulkan berbagai informasi penting dan  menyadap telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara, dan beberapa pejabat tinggi Indonesia pada Agustus 2009. Respons pemerintah lebih banyak bersifat marah, emosional, seperti meminta penjelasan Australia dan membatalkan beberapa program kerja sama.  Tidak terlihat usaha mencari tahu informasi apa saja yang telah mereka peroleh, apa akibatnya bagi kita, bagaimana mereka bisa melakukan itu, dan usaha apa yang harus dilakukan agar hal itu tidak terulang lagi.

Sepertinya ketangguhan ruang siber kita dalam menangkal infiltrasi dan spionase tidak lebih baik daripada sebelum kejadian ini.  Pemerintah kita belum memiliki kesadaran akan pentingnya pertahanan siber.  Dalam kaitan ini, visi Joko Widodo terkait pertahanan siber jadi amat penting.

Spionase siber

Pertahanan siber harus dibangun atas dasar pemahaman akan potensi pemanfaatan ruang siber untuk kegiatan spionase.  Ada beberapa cara yang mungkin terjadi.  Pertama, infiltrasi ke komputer atau server tertentu. Tujuannya untuk mendapatkan informasi dan aktivitas yang terjadi di komputer tersebut.   Hal ini dapat diatasi dengan membuat penangkalnya.  Dengan semakin canggihnya program untuk infiltrasi ini, diperlukan penangkal yang juga semakin canggih.

 Kedua, penyadapan informasi melalui jaringan internet.  Gadget yang digunakan untuk terhubungkan ke internet, kabel program, jaringan fiber optik, dan gelombang radio yang dilewati oleh data merupakan titik-titik di mana penyadapan dapat terjadi.  Karena data dikirim melalui ruang terbuka, pastilah data itu dapat disadap pada suatu titik di jaringan internet.  Hal ini dapat ditanggulangi dengan mengirimkan data yang telah dienkripsi (disandi). Walaupun data ini disadap, informasi yang dikandungnya tidak dapat ditafsirkan.

Ketiga, pemanfaatan komputer atau telepon seluler sebagai alat penyadap.  Gleen Greenwald, seorang jurnalis yang memperoleh berbagai dokumen rahasia NSA dari Snowden, dalam bukunya berjudul No Place to Hide (2014), menceritakan pertemuan pertamanya di Hongkong  dengan Snowden.  Dalam pertemuan itu, Snowden meminta agar baterai dari semua telepon seluler harus dilepas.  Snowden menceritakan bahwa NSA punya teknologi untuk mengaktifkan telepon seluler, kemudian membuatnya menjadi alat pendengar sehingga semua pembicaraan dalam ruangan itu dapat didengar oleh NSA.  Kalau baterai tidak dapat dilepas, telepon itu harus dimatikan dan disimpan di dalam kulkas.

Spionase siber AS

Informasi yang dibocorkan Snowden memberikan gambaran bagaimana intensifnya spionase siber yang dilakukan AS.  Sebagian besar trafik internet global berjalan melalui jaringan internet yang dikendalikan AS.  Hal ini memberikan kemudahan bagi AS dalam melakukan penyadapan.

Beberapa informasi lain yang dibocorkan Snowden, antara lain, mengharuskan perusahaan telekomunikasi Verizon menyerahkan metadata semua komunikasi telepon melalui perusahaan itu;  Microsoft membantu NSA dan FBI mengumpulkan data terkait pengguna produknya (komunikasi melalui Skype, penggunaan cloud computing, dan e-mail);  mengharuskan perusahaan Google, Microsoft, Yahoo!, Facebook, Apple, dan beberapa perusahaan lain untuk memberikan akses langsung bagi NSA pada semua data pelanggan, serta mengharuskan semua perusahaan itu untuk merahasiakan hal ini dengan ancaman pidana.

NSA juga memiliki proyek dengan kode Boundless Informant, yang tujuannya mengumpulkan data komunikasi telepon dan e-mail dari seluruh dunia.  Prinsip dasar NSA saat ini adalah mengumpulkan dan menyimpan semua data, dan data itu digunakan jika diperlukan.

Dalam bukunya berjudul The Snowden Files (2014), Luke Harding menuliskan bahwa spionase dilakukan baik terhadap musuh maupun teman.  Spionase terhadap musuh dilakukan untuk merusak, seperti yang digambarkan oleh Presidential Policy Directive 20, dokumen 18 halaman yang dikeluarkan pada Oktober 2012 dengan kategori ”sangat rahasia”.  Dokumen ini merupakan perintah rahasia Obama kepada pejabat keamanan dan intelijen seniornya untuk membuat daftar potensi target luar negeri guna dijadikan target cyber-attacks.

Di sisi lain, spionase terhadap teman dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi internal yang bersifat rahasia untuk mengetahui pemikiran dan posisi yang sesungguhnya dari teman terkait hal-hal tertentu.  Informasi ini amat bermanfaat untuk memenangi negosiasi dan diplomasi internasional.  Hal ini tergambarkan pada surat yang dikirimkan Assistant Secretary of State Thomas Shannon kepada pimpinan NSA sebagai berikut: ”The more than 100 reports we received from the NSA gave us deep insight into the plans and intentions of other Summit participants, and ensure that our diplomats were well prepared to advice President Obama and Secretary Clinton on how to deal with contentious issues, such as Cuba, and interact with difficult counterparts, such as Venezuelan President Chavez.”

Jelas, dalam negosiasi tersebut para diplomat AS telah mendapatkan berbagai informasi dari NSA terkait posisi dan strategi negosiasi pihak lawan, dan ini amat membantu dalam memenangi negosiasi.

Informasi yang telah dibocorkan Snowden telah membuka mata kita akan teknologi  dan intensitas spionase siber yang telah dilakukan AS.  Tanpa pertahanan siber yang baik, tanpa disadari kita seperti ”telanjang” di mata pihak lain.  Jadi, siapa pun presiden kelak, peningkatan kemampuan pertahanan siber suatu keharusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar