Senin, 07 Juli 2014

Antara Kesalihan dan Kecakapan

                             Antara Kesalihan dan Kecakapan

Hajriyanto Y Thohari  ;   Wakil Ketua MPR RI
KORAN SINDO,  05 Juli 2014
                                                


Jika sekuler itu artinya (kehidupan) saat ini di dunia ini (dari bahasa Latin seculum: yang artinya the temporal world), Islam itu sebenarnya agama yang sekuler atau paling sekuler. Islam itu agama yang sangat berpretensi mengatur dan mengurusi dunia ini.

Tak ada satu noktah dan celah pun kehidupan dunia ini yang dibiarkan oleh Islam tanpa aturannya. Urusan dunia dan agama (umuru ‘l-dunya wa ‘l-din), agama dan negara (al-din wa ‘l-daulah), serta agama dan politik (al-dinwa ‘l-siyasah), itu tak terpisahkan dan semua diatur dalam Islam sebagai risalah yang sempurna dan paripurna, termuat dalam Alquran dan Hadits, baik secara rinci (atau detil sekali) maupun hanya secara garis besar. Berbeda dengan pemikiran Barat yang helenistik yang bercirikan dualisme yang mendikotomikan dunia dan akhirat, Islam alih-alih memandang dunia dan akhirat itu sebagai tak terpisahkan dan satu kesatuan yang integral.

Islam memandang kehidupan akhirat adalah dan hanyalah kelanjutan belaka dari kehidupan di dunia ini: jika hidupnya di dunia lurus (menempuh jalan al-shirat al-mustaqiem) sesuai dengan ajaran Allah SWT dan para Rasul-Nya, konsekuensinya di akhirat nanti akan baik-baik saja. Tapi, jika melawan dan menyimpang dari ajaran-Nya, di akhirat akan menerima akibatnya juga. Alquran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Allah kepada umat manusia untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang masih hidup di dunia.

Singkatnya, kitab itu diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri di dunia ini agar sesuai ajaran Tuhan. Alquran bukan petunjuk untuk orang mati (hudan lil-mayyiti), melainkan untuk manusia (hudan lil-nas dan hudan lil-muttaqien) yang masih hidup. Memang banyak ayat-ayat Alquran yang menceritakan bagaimana kehidupan di akhirat nanti, baik kehidupan di surga (al-jannah, al-firdaus) maupun di neraka (al-nar), tetapi itu lebih sebagai pelajaran dan peringatan agar manusia yang masih hidup di dunia ini berhati-hati, waspada, tidak sembrono, tidak meremehkan ajaran Islam, dan tidak menyimpang dari kebenaran.

Urusan Administrasi Negara

Walhasil, menurut Islam, dunia dan kehidupan dunia (umur ’l-dunya) itu penting, bahkan sangat penting. Dunia ini tempat menanam (kebaikan) untuk dipetik hasilnya terutama di alam akhirat nanti. Menanam kebaikan itu artinya beribadah dalam pengertian luas yang meliputi bersembahyang, berzikir, berdoa, berpuasa, bekerja keras menegakkan yang makruf, berjuang di segala bidang untuk kemanusiaan, berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan, serta berjuang melawan yang mungkar dan menyingkirkan kebatilan atau amar makruf nahi munkar Islam lagi-lagi tidak membedakan ibadah dalam pengertian ritual atau liturgis (ibadah mahdhoh) ataupun ibadah sosial,

politik, ekonomi, dan kebudayaan (ghairu mahdhoh). Setiap dan semua tindakan kebaikan atau pekerjaan dalam bidang apa pun yang diniatkan sebagai ibadah dan dimulai dengan basmalah (atas nama Tuhan), itu ibadah, berpahala, dan kelak di akhirat dijamin pasti mendapatkan balasan dari Allah SWT. Tidak syak lagi, mengurus negara atau pemerintahan negara itu ibadah. Meski peran kesalihan pribadi tetap ada, tetapi urusan negara adalah urusan ibadah yang bersifat publik yang menuntut kecakapan khusus yang tersendiri. Karena menyangkut urusan dunia, berlakulah Hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat terkenal ”Antum a’lamu bi umuri dunya kum” yang artinya ”Kalian lebih tahu urusan keduniaanmu” (Hadits).

Tetapi, harus diingat urusan dunia dalam pandangan Islam adalah sangat penting oleh karena kelak di kemudian hari (atau di Hari Kemudian) harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Maka itu, urusan negara harus diatur dan dikelola dengan cakap dan benar serta akuntabel, tidak bisa sekadar ikhlas-ikhlasan. Justru karena dimensinya ibadah, harus sungguhsungguh profesional dan memenuhi tuntutan good corporate governance (GCG). Mengurus negara itu memerlukan kecakapan tersendiri yang bisa disebut sebagai kecakapan administrasi.

Kecakapan berpidato memang penting dan relevan saat negara sedang mengalami situasi revolusi melakukan mobilisasi massa untuk perjuangan fisik. Di dalam era seperti ini peran pemimpin yang bercorak solidarity maker (meminjam kategori Herbert Feith) sangatlah penting. Tak heran jika pemimpin yang menonjol dan dipilih rakyat adalah figur-figur yang pandai berpidato dengan retorika yang membakar semangat serta mampu memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi, dalam keadaan dan situasi di mana negara harus bekerja membangun untuk melaksanakan cita-cita revolusi atau mewujudkan nilai-nilai reformasi, yang diperlukan adalah kepemimpinan dengan tipe administratif.

Maka itu, lihatlah para pemimpin negara lebih tampil sebagai seorang administrator daripada ideolog atau apalagi demagog! Begitu penting dan sentralnya fungsi administrator malah sekarang ini kata administrasi (administration) secara mutatis mutandis lebih sering dipakai daripada kata pemerintahan (government). Lihatlah, kata Obama administration lebih sering digunakan daripada kata Obama government, kata Cameron administration lebih banyak digunakan daripada istilah Cameron government, dan last but not least kata SBY administration lebih sering terdengar daripada istilah SBY government.

Faktor Kecakapan

Dalam konteks dan perspektif ini, dalam urusan negara mestinya kriterium kecakapan atau kompetensi administrasi negara menjadi yang pertama dan utama. Lebih daripada itu, yang lebih penting dan relevan adalah cakap dalam mengelola administrasi negara dan menegakkan aturan atau undangundang. Itulah hakikat mengelola negara. Tak heran jika Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam era Khulafaurrasyidin, menggunakan standar kemampuan administrasi yang keras dalam memilih pejabat negara semacam wazir (menteri) atau gubernur lebih daripada kriterium kesalihan pribadi.

Sangat meyakinkan bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan diangkat oleh Umar bin Khattab menjadi gubernur Syam (Syria), Amru bin Ash di Mesir, dan Mughiroh di Kuffah adalah karena mereka dinilai sebagai orang-orang yang cakap, kuat, dan mumpuni dalam urusan eksekutif yang sarat dengan persoalan administratif. Meski Mu’awiyah pernah dipercaya menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW, reputasi keislaman dan etisnya tidaklah begitu mengesankan sebagaimana prestasi dan reputasi administratifnya dalam mengelola administrasi pemerintahan negara.

Perlu dicatat bahwa Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu penaklukan Mekkah (fathu Makkah) bersama-sama dengan ayahnya, Abu Sufyan. Toh demikian, ia diangkat juga oleh Umar menjadi gubernur Syam. Adalah sangat menarik ketika mengangkat dan melantik Amru bin Ash menjadi gubernur Mesir, Khalifah Umar bin Khattab berkata: ”Aku mengenal banyak orang dari kalangan Muhajirin yang jauh lebih baik dibanding Anda, namun aku mengangkat Anda menjadi gubernur dengan pertimbangan kecakapan”. Dalam kasus Provinsi Kuffah proses pengangkatan gubernur oleh Khalifah Umar juga tidak kurang menariknya.

Pasalnya dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi suksesi gubernur sampai empat kali. Setelah Gubernur Saad bin Abi Waqas gagal memerintah Kuffah, Umar mengangkat Amar bin Yasir sebagai penggantinya. Gubernur Amar ternyata gagal juga dan dia diberhentikan pula oleh Umar untuk kemudian diangkatlah Jubair bin Muth’im. Gubernur Jubir bin Muth’im tidak berhasil pula dalam melaksanakan tugasnya dan dipecat pula oleh Umar. Saat Khalifah Umar mengalamikebingunganakanmemilih siapa lagi yang akan diangkatnya menjadi gubernur menggantikan Jubir, datanglah Mughiroh menghadap kepadanya dengan membawa proposal dan menyatakan kemampuan dan kecakapannya untuk memerintah Provinsi Kuffah.

Umar menjawab lamaran itu dengan mengatakan: ”Kamu orang yang tidak senonoh perilakunya!” Jawab Mughiroh tegas: ”Kompetensiku untuk berbuat yang terbaik (dalam pemerintahan) adalah untuk Anda, sementara ketidaksenonohanku untuk aku sendiri.” Umar suka dengan jawaban ini dan diangkatlah Mughiroh! Ketika dikritik para sahabat, Umar menjawab dengan santai: ”Aku hanya memanfaatkan kemampuannya (dalam menangani urusan) pemerintahan!”

Bukan Kesalihan Individual ?

Pernah beberapa orang bertanya kenapa tidak mengangkat para sahabat Nabi yang dikenal alim dan salih, Umar menjawab: ”Aku tidak mau mencemari mereka dengan kemungkinan perbuatan (keliru)!” Di riwayat yang lain yang juga penulis kutip dari sejarawan syi’ah, Rasul Ja’farian, Sejarah Islam: Studi Kritis (hal 499), Umar menjawab bahwa dirinya tidak berniat merusak kealiman dan kesalihan para sahabat itu dengan urusan- urusan eksekutif yang menuntut kecakapan administratif.

Bagi Umar, soal kesalihan atau kejujuran dalam menjalankan pemerintahan itu penting, tetapi ada mekanisme penilaian lain. Walhasil, penyelenggaraan negara itu bukan soal kesalihan ritual atau etika individual, melainkan soal kemampuan mengurus public (respublica: urusan umum). Dikenal dalam sejarah sebagai tokoh yang keras, Umar lebih menyukai manajer yang keras pula dalam menjaga disiplin dan menjamin ditaatinya aturan sekalipun tidak begitu salih! Umar tidak memperlihatkan belas kasihan pada pelanggaran hukum dan peraturan, tak peduli siapa dan dari mana pelanggar hukum itu berasal.

Para gubernur dan anaknya sendiri pun tidak kebal dari murka Umar kalau sedang menegakkan aturan pemerintahan. Walhasil, yang dibutuhkan bukan sekadar figur populis, sederhana, dan berpribadi baik; juga bukan figur yang sekadar jagoan pidato saja, melainkan tokoh yang cakap yang menjamin tegaknya aturan dan undangundang! Indonesia yang sangat besar dan kompleks ini sedang menunggu administrator yang memiliki kecakapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar