Antara
Kesalihan dan Kecakapan
Hajriyanto Y Thohari ;
Wakil Ketua MPR RI
|
KORAN
SINDO, 05 Juli 2014
Jika sekuler itu artinya (kehidupan) saat ini di dunia ini (dari bahasa
Latin seculum: yang artinya the temporal world), Islam itu
sebenarnya agama yang sekuler atau paling sekuler. Islam itu agama yang
sangat berpretensi mengatur dan mengurusi dunia ini.
Tak ada satu noktah dan celah pun kehidupan dunia ini yang dibiarkan
oleh Islam tanpa aturannya. Urusan dunia dan agama (umuru ‘l-dunya wa ‘l-din), agama dan negara (al-din wa ‘l-daulah), serta agama dan politik (al-dinwa ‘l-siyasah), itu tak
terpisahkan dan semua diatur dalam Islam sebagai risalah yang sempurna dan
paripurna, termuat dalam Alquran dan Hadits, baik secara rinci (atau detil
sekali) maupun hanya secara garis besar. Berbeda dengan pemikiran Barat yang
helenistik yang bercirikan dualisme yang mendikotomikan dunia dan akhirat,
Islam alih-alih memandang dunia dan akhirat itu sebagai tak terpisahkan dan
satu kesatuan yang integral.
Islam memandang kehidupan akhirat adalah dan hanyalah kelanjutan belaka
dari kehidupan di dunia ini: jika hidupnya di dunia lurus (menempuh jalan al-shirat al-mustaqiem) sesuai dengan
ajaran Allah SWT dan para Rasul-Nya, konsekuensinya di akhirat nanti akan
baik-baik saja. Tapi, jika melawan dan menyimpang dari ajaran-Nya, di akhirat
akan menerima akibatnya juga. Alquran adalah kitab suci terakhir yang
diturunkan Allah kepada umat manusia untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang
yang masih hidup di dunia.
Singkatnya, kitab itu diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur
kehidupan manusia itu sendiri di dunia ini agar sesuai ajaran Tuhan. Alquran
bukan petunjuk untuk orang mati (hudan
lil-mayyiti), melainkan untuk manusia (hudan lil-nas dan hudan
lil-muttaqien) yang masih hidup. Memang banyak ayat-ayat Alquran yang
menceritakan bagaimana kehidupan di akhirat nanti, baik kehidupan di surga (al-jannah, al-firdaus) maupun di
neraka (al-nar), tetapi itu lebih
sebagai pelajaran dan peringatan agar manusia yang masih hidup di dunia ini
berhati-hati, waspada, tidak sembrono, tidak meremehkan ajaran Islam, dan
tidak menyimpang dari kebenaran.
Urusan
Administrasi Negara
Walhasil, menurut Islam, dunia dan kehidupan dunia (umur ’l-dunya) itu penting, bahkan
sangat penting. Dunia ini tempat menanam (kebaikan) untuk dipetik hasilnya
terutama di alam akhirat nanti. Menanam kebaikan itu artinya beribadah dalam
pengertian luas yang meliputi bersembahyang, berzikir, berdoa, berpuasa,
bekerja keras menegakkan yang makruf, berjuang di segala bidang untuk
kemanusiaan, berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan, serta berjuang
melawan yang mungkar dan menyingkirkan kebatilan atau amar makruf nahi munkar Islam lagi-lagi tidak membedakan ibadah
dalam pengertian ritual atau liturgis (ibadah mahdhoh) ataupun ibadah sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan (ghairu
mahdhoh). Setiap dan semua tindakan kebaikan atau pekerjaan dalam bidang
apa pun yang diniatkan sebagai ibadah dan dimulai dengan basmalah (atas nama
Tuhan), itu ibadah, berpahala, dan kelak di akhirat dijamin pasti mendapatkan
balasan dari Allah SWT. Tidak syak lagi, mengurus negara atau pemerintahan
negara itu ibadah. Meski peran kesalihan pribadi tetap ada, tetapi urusan
negara adalah urusan ibadah yang bersifat publik yang menuntut kecakapan
khusus yang tersendiri. Karena menyangkut urusan dunia, berlakulah Hadits
Nabi Muhammad SAW yang sangat terkenal ”Antum
a’lamu bi umuri dunya kum” yang artinya ”Kalian lebih tahu urusan
keduniaanmu” (Hadits).
Tetapi, harus diingat urusan dunia dalam pandangan Islam adalah sangat
penting oleh karena kelak di kemudian hari (atau di Hari Kemudian) harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Maka itu, urusan negara harus diatur
dan dikelola dengan cakap dan benar serta akuntabel, tidak bisa sekadar
ikhlas-ikhlasan. Justru karena dimensinya ibadah, harus sungguhsungguh
profesional dan memenuhi tuntutan good
corporate governance (GCG). Mengurus negara itu memerlukan kecakapan
tersendiri yang bisa disebut sebagai kecakapan administrasi.
Kecakapan berpidato memang penting dan relevan saat negara sedang
mengalami situasi revolusi melakukan mobilisasi massa untuk perjuangan fisik.
Di dalam era seperti ini peran pemimpin yang bercorak solidarity maker (meminjam kategori Herbert Feith) sangatlah
penting. Tak heran jika pemimpin yang menonjol dan dipilih rakyat adalah
figur-figur yang pandai berpidato dengan retorika yang membakar semangat
serta mampu memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi, dalam keadaan
dan situasi di mana negara harus bekerja membangun untuk melaksanakan
cita-cita revolusi atau mewujudkan nilai-nilai reformasi, yang diperlukan
adalah kepemimpinan dengan tipe administratif.
Maka itu, lihatlah para pemimpin negara lebih tampil sebagai seorang
administrator daripada ideolog atau apalagi demagog! Begitu penting dan
sentralnya fungsi administrator malah sekarang ini kata administrasi (administration) secara mutatis
mutandis lebih sering dipakai daripada kata pemerintahan (government). Lihatlah, kata Obama administration lebih sering
digunakan daripada kata Obama
government, kata Cameron
administration lebih banyak digunakan daripada istilah Cameron government, dan last but not least kata SBY administration lebih sering
terdengar daripada istilah SBY government.
Faktor
Kecakapan
Dalam konteks dan perspektif ini, dalam urusan negara mestinya
kriterium kecakapan atau kompetensi administrasi negara menjadi yang pertama
dan utama. Lebih daripada itu, yang lebih penting dan relevan adalah cakap
dalam mengelola administrasi negara dan menegakkan aturan atau undangundang.
Itulah hakikat mengelola negara. Tak heran jika Umar bin Khattab, khalifah
kedua dalam era Khulafaurrasyidin, menggunakan standar kemampuan administrasi
yang keras dalam memilih pejabat negara semacam wazir (menteri) atau gubernur lebih daripada kriterium kesalihan
pribadi.
Sangat meyakinkan bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan diangkat oleh Umar bin
Khattab menjadi gubernur Syam (Syria), Amru bin Ash di Mesir, dan Mughiroh di
Kuffah adalah karena mereka dinilai sebagai orang-orang yang cakap, kuat, dan
mumpuni dalam urusan eksekutif yang sarat dengan persoalan administratif.
Meski Mu’awiyah pernah dipercaya menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW,
reputasi keislaman dan etisnya tidaklah begitu mengesankan sebagaimana
prestasi dan reputasi administratifnya dalam mengelola administrasi
pemerintahan negara.
Perlu dicatat bahwa Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu penaklukan
Mekkah (fathu Makkah) bersama-sama
dengan ayahnya, Abu Sufyan. Toh demikian, ia diangkat juga oleh Umar menjadi
gubernur Syam. Adalah sangat menarik ketika mengangkat dan melantik Amru bin
Ash menjadi gubernur Mesir, Khalifah Umar bin Khattab berkata: ”Aku mengenal banyak orang dari kalangan
Muhajirin yang jauh lebih baik dibanding Anda, namun aku mengangkat Anda
menjadi gubernur dengan pertimbangan kecakapan”. Dalam kasus Provinsi
Kuffah proses pengangkatan gubernur oleh Khalifah Umar juga tidak kurang
menariknya.
Pasalnya dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi suksesi gubernur
sampai empat kali. Setelah Gubernur Saad bin Abi Waqas gagal memerintah
Kuffah, Umar mengangkat Amar bin Yasir sebagai penggantinya. Gubernur Amar
ternyata gagal juga dan dia diberhentikan pula oleh Umar untuk kemudian
diangkatlah Jubair bin Muth’im. Gubernur Jubir bin Muth’im tidak berhasil
pula dalam melaksanakan tugasnya dan dipecat pula oleh Umar. Saat Khalifah
Umar mengalamikebingunganakanmemilih siapa lagi yang akan diangkatnya menjadi
gubernur menggantikan Jubir, datanglah Mughiroh menghadap kepadanya dengan
membawa proposal dan menyatakan kemampuan dan kecakapannya untuk memerintah
Provinsi Kuffah.
Umar menjawab lamaran itu dengan mengatakan: ”Kamu orang yang tidak senonoh perilakunya!” Jawab Mughiroh
tegas: ”Kompetensiku untuk berbuat yang
terbaik (dalam pemerintahan) adalah untuk Anda, sementara ketidaksenonohanku untuk
aku sendiri.” Umar suka dengan jawaban ini dan diangkatlah Mughiroh!
Ketika dikritik para sahabat, Umar menjawab dengan santai: ”Aku hanya memanfaatkan kemampuannya
(dalam menangani urusan) pemerintahan!”
Bukan
Kesalihan Individual ?
Pernah beberapa orang bertanya kenapa tidak mengangkat para sahabat
Nabi yang dikenal alim dan salih, Umar menjawab: ”Aku tidak mau mencemari mereka dengan kemungkinan perbuatan
(keliru)!” Di riwayat yang lain yang juga penulis kutip dari sejarawan
syi’ah, Rasul Ja’farian, Sejarah Islam: Studi Kritis (hal 499), Umar menjawab
bahwa dirinya tidak berniat merusak kealiman dan kesalihan para sahabat itu
dengan urusan- urusan eksekutif yang menuntut kecakapan administratif.
Bagi Umar, soal kesalihan atau kejujuran dalam menjalankan pemerintahan
itu penting, tetapi ada mekanisme penilaian lain. Walhasil, penyelenggaraan
negara itu bukan soal kesalihan ritual atau etika individual, melainkan soal
kemampuan mengurus public (respublica: urusan umum). Dikenal
dalam sejarah sebagai tokoh yang keras, Umar lebih menyukai manajer yang
keras pula dalam menjaga disiplin dan menjamin ditaatinya aturan sekalipun
tidak begitu salih! Umar tidak memperlihatkan belas kasihan pada pelanggaran
hukum dan peraturan, tak peduli siapa dan dari mana pelanggar hukum itu
berasal.
Para gubernur dan anaknya sendiri pun tidak kebal dari murka Umar kalau
sedang menegakkan aturan pemerintahan. Walhasil, yang dibutuhkan bukan
sekadar figur populis, sederhana, dan berpribadi baik; juga bukan figur yang
sekadar jagoan pidato saja, melainkan tokoh yang cakap yang menjamin tegaknya
aturan dan undangundang! Indonesia yang sangat besar dan kompleks ini sedang
menunggu administrator yang memiliki kecakapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar