Produksi
Padi dan Pemilihan Presiden
Kadir ;
Bekerja di Badan Pusat Statistik
|
KORAN
TEMPO, 04 Juli 2014
Ada pola yang menarik bila kita mengulik tren data produksi padi nasional
selama beberapa tahun terakhir. Kenaikan produksi ternyata selalu terjadi
pada tahun-tahun saat pemilihan presiden dihelat.
Sebagai contoh, pada 1 Juli 2004, tiga hari menjelang pilpres putaran
pertama, Badan Pusat Statistik merilis angka ramalan produksi padi nasional
yang menyebutkan bahwa produksi padi pada 2004 diperkirakan mencapai 53,67
juta ton gabah kering giling, atau mengalami peningkatan sebesar 1,5 juta ton
(2,93 persen) dibanding produksi pada 2003.
Hal yang sama juga terjadi pada 2009. Seminggu sebelum pilpres dihelat
pada 8 Juli, BPS mengumumkan bahwa produksi padi nasional pada 2009
diperkirakan mencapai 62,56 juta ton, atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,71
persen) dibanding produksi pada 2008.
Bagi sebagian kalangan, terutama yang selama ini meragukan akurasi data
produksi padi/beras nasional, hal ini bukan sekadar kebetulan. Pola kenaikan
tersebut ditengarai merupakan indikasi bahwa data produksi yang dirilis BPS
selama ini tidak obyektif.
Boleh jadi, statistik produksi telah diramu sedemikian rupa untuk
membikin senang dan mendukung kepentingan politik (pencitraan) penguasa.
Sangkaan tersebut tentu mengada-ada. Buktinya, angka ramalan satu (Aram
I) produksi padi 2014 yang dirilis BPS pada awal bulan ini (1 Juli)-seminggu
menjelang pilpres-menyebutkan, produksi padi pada 2014 diperkirakan sebesar
69,87 juta ton, atau turun sebesar 1,41 juta ton (1,98 persen) dibanding
produksi pada 2013.
Anjloknya produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen dan
produktivitas masing-masing sebesar 265,31 ribu hektare (1,92 persen) dan
0,03 kuintal per hektare (0,06 persen).
Aram I juga memberi konfirmasi mengenai dua hal.
Pertama, target ambisius pemerintah untuk mewujudkan surplus beras 10
juta ton pada tahun ini mustahil bakal tercapai. Soalnya, berdasarkan
hitung-hitungan pemerintah, surplus beras 10 juta ton hanya bisa direngkuh
bila produksi padi mencapai 76,57 juta ton.
Memang, angka perkiraan sebesar 69,87 juta ton masih mungkin berubah
bila realisasi pertanaman padi hingga awal September tahun ini mampu
dimaksimalkan. Namun, mengejar tambahan produksi sebesar 7 juta ton merupakan
pekerjaan maha berat. Apalagi, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
memprediksi bahwa musim kemarau tahun ini bakal lebih panjang.
Sejumlah kalangan bahkan memperkirakan, pada tahun ini, Badan Urusan
Logistik (Bulog) bakal kembali mengimpor beras sebanyak 500 ribu-1,5 juta ton
(The Jakarta Globe, 10 Juni). Artinya,
prestasi gemilang Bulog tahun lalu, yang berhasil menstabilkan harga beras dalam
negeri tanpa impor, berkemungkinan besar bakal gagal dipertahankan.
Kedua, peningkatan kapasitas produksi padi nasional harus menjadi fokus
perhatian pemerintah mendatang. Siapa pun yang bakal menjadi pemenang pada
pilpres 9 Juli nanti harus mengupayakan pencetakan sawah baru dan peningkatan
produktivitas dalam skala besar. Tak bisa ditawar, hal ini harus menjadi
agenda utama pembangunan di bidang pangan. Bila tidak, negeri ini bakal sulit
keluar dari jebakan impor beras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar