Rabu, 02 Juli 2014

Ide Tol Laut Jokowi Implementatif

Ide Tol Laut Jokowi Implementatif

Rokhmin Dahuri  ;  Menteri Kelautan dan Perikanan 2001-2004, Guru Besar IPB
KORAN JAKARTA, 01 Juli 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kedua calon presiden (capres) Indonesia, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, ternyata memunyai gagasan menarik untuk menerapkan “pembangunan bervisi maritim.” Ini membahagiakan karena keduanya punya kepedulian terhadap pembangunan dunia kemaritiman Nusantara yang selama ini terpinggirkan.

Padahal, masa depan Indonesia ada di laut. Sebagai “benua maritim,” Indonesia mau tak mau harus menunjukkan diri sebagai negeri yang memunyai kekuatan armada maritim yang andal. Tanpa itu, Indonesia akan terus tertinggal dan menjadi bulan-bulanan negara lain.

Indonesia memang telah lama “meninggalkan” pembangunan maritim. Padahal, jelas-jelas Nusantara itu negeri kepulauan, bahkan negeri kepulauan terbesar di dunia. Penelantaran pembangunan maritim selama ini berdampak amat luar biasa.

Bukan saja bangsa sendiri kecolongan ikan di perairannya yang tiap tahun mencapai 101 triliun rupiah. Itu jenis kerugian illegal, unreported, dan unregulated fishing. Para pencuri dari mancanegara itu menggunakan kapal-kapal canggih sehingga aparat domestik tidak mampu mengejar. Tidak kurang sekitar 100 kapal asing tiap tahun beroperasi mencuri ikan di perairan Nusantara. Kapal-kapal aparat Indonesia tidak memadai untuk mengejar dan menangkap mereka.

Akibat buruknya pembangunan infrastruktur kelautan seperti pelabuhan, dermaga, pergudangan, dan lain-lain membuat biaya transportasi laut di Indonesia sangat mahal. Biaya pengapalan jeruk Kalimantan ke Jakarta, misalnya, lebih mahal ketimbang biaya pengapalan buah jeruk Shanghai dari Tiongkok–Jakarta.

Itulah sebabnya, di supermarket dan pasar tradisional, harga jeruk Shanghai lebih murah dari jeruk Medan dan Pontianak.

Pada debat capres Minggu (15/6), misalnya, Jokowi menceritakan bahwa harga semen di Papua mencapai 500.000 sampai 1.000.000 rupiah per sak. Padahal di Jakarta harganya cuma 50.000-an rupiah. Ini jelas keterlaluan.

Situasi seperti itu bisa terjadi karena mahalnya transportasi. Seandainya armada kapal laut Indonesia bagus, niscaya kasus tersebut tak terjadi. Angkutan laut dengan kapal besar, harganya jauh lebih murah ketimbang lewat darat dan udara. Dari perspektif inilah, ide tol laut dalam debat capres harus mendapat diapresiasi.

Persoalannya, ide tol laut harus dijelaskan konsepnya agar relevan dan layak diterapkan di Indonesia. Kita lihat konsep tol laut Jokowi. Menurut Jokowi, seperti disampaikan pada debat capres itu. Tol laut yang dimaksud adalah transportasi kapal besar cepat yang “wira-wiri” ke berbagai pulau dari Sabang sampai Papua. Kapal itu mengangkut berbagai komoditas yang dibutuhkan rakyat.

Kapal ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dan bahan industri dari pulau-pulau terpencil ke Jawa atau lainnya yang memunyai industri pengolahan.

Dengan adanya “tol laut”, kata Jokowi, ketimpangan harga semen yang luar biasa besar antara Jawa dan Papua bisa teratasi. Begitu pula hasil perikanan dan pertanian, serta sumber daya alam lainnya dari pulau-pulau terpencil bisa dipasarkan ke Jawa dengan cepat.

Dengan demikian, pemerataan distribusi ekonomi bisa berjalan efektif. Tak hanya itu. Tol laut ala Jokowi juga berdampak positif terhadap industri perkapalan di Indonesia. Tol laut ala Jokowi ini mudah diimplementasikan karena Indonesia sudah punya industri galangan kapal yang cukup besar dan modern di Surabaya.

Tidak Efektif

Di pihak lain, Prabowo juga punya konsep tol laut yang beda dengan Jokowi. Pada acara Tanwir Muhammadiyah di Samarinda (24/5/014), Prabowo menjelaskan konsep tol lautnya adalah “jalan tol” di atas laut yang memanjang dari Jakarta ke Surabaya sepanjang 775 km.

Dengan adanya tol laut di Pantai Utara Jawa (Pantura) ini, distribusi komoditas dari Kawasan Indonesia Barat (KIB) ke Kawasan Indonesia Timur (KIT) berjalan lancar. Asumsinya, Surabaya adalah pelabuhan transit dari KIB ke KIT. Tol ini akan menjadi alternatif lalu lintas kendaraan di jalur Pantura yang sudah sangat padat dan kelebihan beban.

Kementerian BUMN juga pernah menggagas pembangunan tol laut ala Prabowo ini. Kemeneg BUMN berencana mengerahkan 19 perusahaan pelat merah untuk mengerjakan mega proyek tersebut.

Di antaranya, Adhi Karya, Waskita Karya, Wijaya Karya, Hutama Karya, Pembangunan Perumahan. Di luar ini masih banyak lagi, termasuk dari sisi perbankan seperti Bank Mandiri, Bank BNI, atau BRI.

Namun demikian, proyek tol laut ini mendapat kritikan pakar transportasi, Djoko Setijowarno. Rencana pembangunan jalan tol di atas laut Jakarta–Surabaya, kata Djoko, tidak efisien.

Tol laut Pantura itu nantinya hanya untung saat musim Lebaran, yang waktunya cuma dua minggu, kata Djoko. Apa yang diungkapkan Djoko perlu diperhatikan. Soalnya, saat ini pemerintah pun “sedang berusaha menggarap” tol Jakarta–Surabaya dengan melanjutkan ruas-ruas tol yang sudah ada.

Jakarta–Cikampek, Cikampek–Sumedang, Sumedang–Cirebon, Cirebon–Tegal, Tegal–Semarang, Semarang–Kudus, dan seterusnya sampai Surabaya. Jika kemudian ada tol Pantura yang berada di atas laut, memang patut dipertanyakan efektivitasnya.

Selain biayanya amat mahal, secara ekonomis juga kurang menguntungkan. Multiplier effect tol laut ini pun kurang mendukung pengembangan industri perikanan dan perkapalan yang amat diperlukan bagi negeri kepulauan seperti Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar