Ide
Tol Laut Jokowi Implementatif
Rokhmin
Dahuri ; Menteri Kelautan dan Perikanan
2001-2004, Guru Besar IPB
|
KORAN
JAKARTA, 01 Juli 2014
Kedua
calon presiden (capres) Indonesia, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, ternyata
memunyai gagasan menarik untuk menerapkan “pembangunan bervisi maritim.” Ini
membahagiakan karena keduanya punya kepedulian terhadap pembangunan dunia
kemaritiman Nusantara yang selama ini terpinggirkan.
Padahal,
masa depan Indonesia ada di laut. Sebagai “benua maritim,” Indonesia mau tak
mau harus menunjukkan diri sebagai negeri yang memunyai kekuatan armada
maritim yang andal. Tanpa itu, Indonesia akan terus tertinggal dan menjadi
bulan-bulanan negara lain.
Indonesia
memang telah lama “meninggalkan” pembangunan maritim. Padahal, jelas-jelas
Nusantara itu negeri kepulauan, bahkan negeri kepulauan terbesar di dunia.
Penelantaran pembangunan maritim selama ini berdampak amat luar biasa.
Bukan
saja bangsa sendiri kecolongan ikan di perairannya yang tiap tahun mencapai
101 triliun rupiah. Itu jenis kerugian illegal, unreported, dan unregulated
fishing. Para pencuri dari mancanegara itu menggunakan kapal-kapal canggih
sehingga aparat domestik tidak mampu mengejar. Tidak kurang sekitar 100 kapal
asing tiap tahun beroperasi mencuri ikan di perairan Nusantara. Kapal-kapal
aparat Indonesia tidak memadai untuk mengejar dan menangkap mereka.
Akibat
buruknya pembangunan infrastruktur kelautan seperti pelabuhan, dermaga, pergudangan,
dan lain-lain membuat biaya transportasi laut di Indonesia sangat mahal.
Biaya pengapalan jeruk Kalimantan ke Jakarta, misalnya, lebih mahal ketimbang
biaya pengapalan buah jeruk Shanghai dari Tiongkok–Jakarta.
Itulah
sebabnya, di supermarket dan pasar tradisional, harga jeruk Shanghai lebih
murah dari jeruk Medan dan Pontianak.
Pada
debat capres Minggu (15/6), misalnya, Jokowi menceritakan bahwa harga semen
di Papua mencapai 500.000 sampai 1.000.000 rupiah per sak. Padahal di Jakarta
harganya cuma 50.000-an rupiah. Ini jelas keterlaluan.
Situasi
seperti itu bisa terjadi karena mahalnya transportasi. Seandainya armada
kapal laut Indonesia bagus, niscaya kasus tersebut tak terjadi. Angkutan laut
dengan kapal besar, harganya jauh lebih murah ketimbang lewat darat dan
udara. Dari perspektif inilah, ide tol laut dalam debat capres harus mendapat
diapresiasi.
Persoalannya,
ide tol laut harus dijelaskan konsepnya agar relevan dan layak diterapkan di
Indonesia. Kita lihat konsep tol laut Jokowi. Menurut Jokowi, seperti
disampaikan pada debat capres itu. Tol laut yang dimaksud adalah transportasi
kapal besar cepat yang “wira-wiri” ke berbagai pulau dari Sabang sampai
Papua. Kapal itu mengangkut berbagai komoditas yang dibutuhkan rakyat.
Kapal
ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dan bahan
industri dari pulau-pulau terpencil ke Jawa atau lainnya yang memunyai
industri pengolahan.
Dengan
adanya “tol laut”, kata Jokowi, ketimpangan harga semen yang luar biasa besar
antara Jawa dan Papua bisa teratasi. Begitu pula hasil perikanan dan
pertanian, serta sumber daya alam lainnya dari pulau-pulau terpencil bisa
dipasarkan ke Jawa dengan cepat.
Dengan
demikian, pemerataan distribusi ekonomi bisa berjalan efektif. Tak hanya itu.
Tol laut ala Jokowi juga berdampak positif terhadap industri perkapalan di
Indonesia. Tol laut ala Jokowi ini mudah diimplementasikan karena Indonesia
sudah punya industri galangan kapal yang cukup besar dan modern di Surabaya.
Tidak Efektif
Di pihak
lain, Prabowo juga punya konsep tol laut yang beda dengan Jokowi. Pada acara
Tanwir Muhammadiyah di Samarinda (24/5/014), Prabowo menjelaskan konsep tol
lautnya adalah “jalan tol” di atas laut yang memanjang dari Jakarta ke
Surabaya sepanjang 775 km.
Dengan
adanya tol laut di Pantai Utara Jawa (Pantura) ini, distribusi komoditas dari
Kawasan Indonesia Barat (KIB) ke Kawasan Indonesia Timur (KIT) berjalan
lancar. Asumsinya, Surabaya adalah pelabuhan transit dari KIB ke KIT. Tol ini
akan menjadi alternatif lalu lintas kendaraan di jalur Pantura yang sudah
sangat padat dan kelebihan beban.
Kementerian
BUMN juga pernah menggagas pembangunan tol laut ala Prabowo ini. Kemeneg BUMN
berencana mengerahkan 19 perusahaan pelat merah untuk mengerjakan mega proyek
tersebut.
Di
antaranya, Adhi Karya, Waskita Karya, Wijaya Karya, Hutama Karya, Pembangunan
Perumahan. Di luar ini masih banyak lagi, termasuk dari sisi perbankan
seperti Bank Mandiri, Bank BNI, atau BRI.
Namun
demikian, proyek tol laut ini mendapat kritikan pakar transportasi, Djoko
Setijowarno. Rencana pembangunan jalan tol di atas laut Jakarta–Surabaya,
kata Djoko, tidak efisien.
Tol laut
Pantura itu nantinya hanya untung saat musim Lebaran, yang waktunya cuma dua
minggu, kata Djoko. Apa yang diungkapkan Djoko perlu diperhatikan. Soalnya,
saat ini pemerintah pun “sedang
berusaha menggarap” tol Jakarta–Surabaya dengan melanjutkan ruas-ruas tol
yang sudah ada.
Jakarta–Cikampek,
Cikampek–Sumedang, Sumedang–Cirebon, Cirebon–Tegal, Tegal–Semarang,
Semarang–Kudus, dan seterusnya sampai Surabaya. Jika kemudian ada tol Pantura
yang berada di atas laut, memang patut dipertanyakan efektivitasnya.
Selain
biayanya amat mahal, secara ekonomis juga kurang menguntungkan. Multiplier
effect tol laut ini pun kurang mendukung pengembangan industri perikanan dan
perkapalan yang amat diperlukan bagi negeri kepulauan seperti Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar