Amangkurat
Kartono Mohamad ;
Dokter
|
KORAN
TEMPO, 14 Juli 2014
Sebagai
pengganti Amangkurat II, Raja Mataram di Kartasura, ditunjuk putranya dengan
gelar Amangkurat III. Karena selain cacat fisik dan kelakuannya yang
brangasan, banyak keluarga raja yang tidak setuju. Termasuk salah satu
pangeran yang bernama Pangeran Puger, yang didukung keluarga kerajaan.
Perselisihan soal suksesi itu memicu perang saudara yang terkenal dengan sebutan
Geger Kartasura.
Diceritakan
bahwa Amangkurat II juga mengerahkan kekuatan gaib dan hitam untuk menindas
lawannya. Pangeran Puger kemudian menyingkir ke Semarang, yang sudah menjadi
salah satu pangkalan VOC. Mengetahui perselisihan tersebut, VOC melihat
kesempatan. Maka, kepada Pangeran Puger dijanjikan bantuan pasukan untuk
menyerbu Kartasura dan menjadi raja Mataram yang baru. Tentu saja tidak
gratis. Harus ada imbal balik berupa konsesi dan monopoli. Itulah pertama
kalinya VOC ikut campur dalam perselisihan suksesi raja-raja di Nusantara
dengan imbalan akses pangkalan dan monopoli perdagangan hasil bumi. Raja-raja
yang sudah dibantu itu tidak boleh lagi berdagang dengan Portugis atau
Inggris, yang menjadi pesaing Belanda.
Kebiasaan
seperti itu agaknya masih terus berlangsung hingga kini. Perseteruan politik
untuk merebut kekuasaan selalu menjadi peluang bagi pihak ketiga untuk
memanfaatkannya, demi konsesi di kemudian hari. Bantuannya tentu tidak lagi
berupa militer, melainkan dana yang berlimpah dan berbagai strategi non-fisik
seperti fitnah dan pembohongan supaya rakyat tidak mendukung lawan. Petarung
yang kurang percaya diri akan mudah terjebak oleh rayuan. Demi kekuasaan, dia
bersedia menjual diri dan kekayaan negeri.
Rakyat
toh tidak tahu dan biasanya lupa akan janji para petarung yang diucapkan
ketika merayu suara mereka. Yang menjadi VOC juga tidak harus kekuatan asing
yang kasatmata. Bisa saja yang berbaju warga negara Indonesia, tapi tujuannya
tidak berbeda dengan VOC. Akan menuntut konsesi jika petarung yang dibantunya
menang kelak. Maka, dengan cara apa pun dia harus menang dan dibuat menang.
Dana bukan masalah. Kekuatan hitam dan "gaib" pun dikerahkan.
Pokoknya harus menang.
Bagi
"VOC" modern itu, akibat jangka panjang bagi rakyat Indonesia tidak
menjadi persoalan. Ia toh bisa melesat meninggalkan negeri ini kapan saja.
Mungkin ia tidak sadar, atau mungkin juga ia bahkan sengaja, agar rakyat ini
terbelah dan saling bermusuhan. Rakyat pun ikut terbius. Tidak sadar lagi
akan janji persatuan yang diucapkan ketika membentuk negara. Saling mendendam
dan saling menanamkan kebencian menjadi kebiasaan. Saling menumpahkan
sumpah-serapah dan penghinaan serta fanatisme kelompok akan dikobarkan. Benar
atau salah tidak lagi jadi pertimbangan, yang penting merebut kekuasaan. Malu
kalau sampai kalah. Dan "VOC modern" itu akan siap menampung janji
konsesi dari pemenang yang ia dukung.
Peristiwa
Geger Kartasura akan terjadi lagi, meskipun tidak tampak ada tentara VOC.
Geger Kartasura telah menimbulkan rangkaian perang saudara yang
berkepanjangan. Dan setelah tenang, peristiwa serupa terjadi di tempat lain.
VOC mengambil keuntungan. Maka Belanda, yang pada waktu itu hanya berpenduduk
belasan juta orang serta sibuk berperang dengan Inggris dan Portugis, mampu
menundukkan Nusantara dan menikmati monopoli hasil bumi dari wilayah yang
berpenduduk sekitar 50 juta dan yang sangat luas. Dengan menempatkan tentara
yang tidak sampai 100 ribu jumlahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar