Senin, 14 Juli 2014

Pertaruhan Lembaga Survei

                                     Pertaruhan Lembaga Survei

Burhanuddin Muhtadi  ;   Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia,
Pengajar FISIP UIN Jakarta
MEDIA INDONESIA,  14 Juli 2014
                                                


SURVEI dan demokrasi memiliki hubungan saling menguntung kan (simbiosis mutualisme). Aktivitas survei melibatkan penggalian opini publik yang hampir pasti tidak bisa dilakukan pada pemerintahan autokratik. Sistem autokrasi tidak memungkinkan suara publik terpublikasi karena bisa membahayakan stabilitas politik otoritarian. Sebaliknya, rezim politik demokratis sangat membutuhkan survei opini publik dalam kerangka revisi kebijakan publik yang semakin dekat dengan aspirasi publik. Parameter responsiveness (tanggap terhadap aspirasi bawah) dan partisipasi warga yang merupakan fondasi demokrasi sangat mungkin tersalurkan melalui mekanisme sistematis bernama survei.

Tak mengherankan jika pada rezim autokratik Orde Baru, survei tidak mendapatkan persemaian yang subur untuk berkembang. Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya. Pertama, aktivitas survei dianggap rezim bagian dari insubordinasi, bahkan subversi terhadap kekuasaan. Kasus penangkapan penyurvei PT Suburi pada 1972 di Semarang, Jawa Tengah misalnya, menjadi contoh paling tragis yang menandai awal kematian survei pada masa Orde Baru ini. Pilihan jawaban dalam kuesioner menempatkan Soeharto pada posisi nomor tiga dari 10 nama pemimpin lainnya telah menyulut kemarahan intelijen dari Satuan Tugas Intelijen Kodam Diponegoro. Survei PT Suburi tersebut dianggap bagian dari kegiatan spionase dan digolongkan sebagai aktivitas intelijen strategis (Tempo, 17 Juni 1972).

Alasan kedua yang pasti membatalkan keinginan untuk melakukan survei perilaku 
pemilih ialah semua pemilu yang terselenggara pada masa Orde Baru termasuk kategori nondemokratis. Asas partisipasi dilikuidasi dengan mobilisasi, parsialitas birokrasi, represi aparat, dan kemenangan Golkar sebagai the ruling party sudah pasti bisa ditebak, bahkan sebelum pemilu dimulai. Alangkah mubazirnya survei, kalaupun toh seandainya diizinkan rezim penguasa, jika ditujukan untuk mengetahui preferensi terhadap pilihan partai, sementara status pemenang pemilu sudah diketahui dari awal. Pemilu pada masa Orde Baru sekadar digelar untuk melegitimasi kekuasaan autokratik.

Untuk itulah, wajar jika demam survei baru mulai terjadi pada masa reformasi. Bukan hanya survei, metode hitung cepat (quick count) yang mendasarkan diri pada sampling sebagaimana survei, juga mulai marak sejak 2004. Ada dua parameter untuk menentukan gagal tidaknya sebuah lembaga survei, yaitu akurasi dan presisi (Daniel Dhakidae, 1999). Akurasi adalah sejauh mana lembaga survei secara benar memprediksi pemenang pemilu dan sekaligus menentukan komposisi peringkat pemenang pemilu, entah itu partai politik ataupun capres dan cawapres. Jadi, akurasi lebih berkaitan dengan benar-tidaknya ramalan mereka (correctness) pemenang pemilu dan urutannya.

Adapun pengertian presisi lebih terkait dengan ketepatan (exactness). Hal ini karena survei atau quick count bukan hanya dituntut akurat dalam memprediksi pemenang pemilu, tapi juga harus tepat dalam meramal perolehan suara partai atau pasangan capres dan cawapres. Makin dekat ramalan perolehan suara partai atau capres dengan hasil perolehan yang sebenarnya, atau semakin dekat prediksi quick count dengan official count KPU, maka tingkat presisinya semakin bagus.

Kontroversi hitung cepat

Survei dan hitung cepat memang tak pernah lepas dari kontroversi. Kasus terakhir ialah perbedaan hasil prediksi antara tujuh lembaga survei yang menemukan kemenangan Jokowi di atas margin of error, yakni SMRC, Indikator, CSIS-Cyrus, Poltracking, Lingkaran Survei Indonesia, RRI, dan Litbang Kompas versus empat lembaga LSN, JSI, IRC, dan Puskaptis--yang menemukan sebaliknya. Hitung cepat adalah proses pengumpulan data hasil penghitungan suara di TPS yang terpilih sebagai sampel. Jika dilakukan dengan prosedur akademik yang ketat, seharusnya prediksi lembaga-lembaga survei yang melakukan hitung cepat tidak berbeda secara signifikan.

Meski memakai teknik sampling, hitung cepat berbeda dengan survei. Survei mendasarkan diri pada opini yang bersifat dinamis. Survei perilaku pemilih dilaksanakan sebelum hari H pemilu sangat mungkin terjadi perubahan pilihan karena sifat dari opini publik yang cenderung tidak statis. Beberapa lembaga survei abal-abal mungkin bisa saja merekayasa hasil pada saat mereka melakukan survei. Namun, setiap lembaga survei pasti berhitung seribu kali jika ingin memanipulasi hasil hitung cepat kecuali lembaga yang bersangkutan sudah bosan hidup sebagai surveyor.

Hitung cepat memiliki milestone, yakni hasilnya bisa dibandingkan dengan official count KPU dan hasil-hasil prediksi penyelenggara quick count lainnya. Jika ada segelintir lembaga survei yang berbeda sendiri hasilnya tentu akan memantik kecurigaan. Selain itu, sumber data hitung cepat juga sudah tersedia dan pasti. 

Penyelenggara hitung cepat yang berani memanipulasi hasil pada dasarnya sedang bunuh diri karena lembaga survei pada dasarnya ialah bisnis kepercayaan.
Sejak diperkenalkan pada pemilu legislatif 2004, sangat jarang terjadi perbedaan hasil quick count kecuali karena masalah teknis-metodologis dan kepentingan politik tertentu. Awalnya kontroversi quick count pada 2004 tidak terkait dengan metodologi dan prediksi yang tepat jika dibandingkan dengan hasil real count KPU. Polemik malah terjadi karena KPU mempermasalahkan teknis pelaporan dan tudingan Kwik Kian Gie yang menuduh quick count bagian dari konspirasi Amerika Serikat.

Kontroversi hitung cepat pada Pilpres 2004 terjadi karena dua hal. Pertama, metodologi dan proses penarikan sampel yang tidak tepat. Contohnya adalah quick count yang dilakukan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) yang meleset karena penentuan sampel TPS tidak merepresentasikan populasi TPS di seluruh Indonesia. Kedua, kemungkinan pengaruh pesan sponsor politik. Pada Pilpres 2004 putaran kedua, LP3ES-Metro TV, Pantau Cepat-RCTI , Polling Center-SCTV menampilkan hasil yang seragam yakni kemenangan SBY-Kalla atas Megawati-Hasyim.

Anehnya, muncul pula hasil quick count yang nyleneh yang dilakukan TVRI bekerja sama dengan Institute for Social Empowerment and Democracy. Bila penyelenggara metode penghitungan cepat sepakat menetapkan SBY sebagai presiden baru Indonesia, penyelenggara yang terakhir disebut ini justru menetapkan kemenangan di tangan Megawati-Hasyim dengan proporsi 50,07% dan SBY-Kalla 49,93%. Tampaknya, tempat presentasi hasil penghitungan cepat TVRI di Kantor DPP PDI Perjuangan Lenteng Agung, Jakarta, ini sudah `berbicara' banyak ketimbang hasil quick count-nya sendiri.

Pada Pilpres 2014 kali ini, perbedaan hasil prediksi hitung cepat tampaknya juga terkait dengan argumen teknis-metodologis dan politis sekaligus. Metode penarikan sampel Puskaptis misalnya, diklaim Direktur Eksekutifnya Husin Yazid menggunakan metode multistage random sampling. Metode ini tidak lazim digunakan dalam quick count, yakni pada umumnya penyelenggara yang kredibel memakai teknik kombinasi stratified-cluster random sampling atau cukup dengan stratified random sampling. Margin of error plus-minus 1% yang diklaim Puskaptis juga layak dipertanyakan mengingat jumlah sampel TPS-nya sangat tidak memadai dan tanpa keterangan confidence interval-nya berapa. Sementara argumen politis memang sulit dibuktikan, tapi baunya sangat menyengat.

Makna hitung cepat

Untuk itu, Asosiasi Lembaga Survei harus segera melakukan audit metodologi dan investigasi terhadap semua lembaga survei yang melakukan hitung cepat. Bagi mereka yang terbukti melanggar etika kelas berat, harus diumumkan kepada publik kemudian dipecat dari keanggotaan asosiasi. Tak cukup dengan itu, lembaga-lembaga survei yang terbukti merekayasa hasil hitung cepat secara sengaja harus diproses secara hukum karena mereka telah menyebarkan informasi sesat dan menyesatkan. Ini penting karena kehadiran lembaga survei abal-abal bukan mendeligitimasi dan mengurangi kepercayaan terhadap lembaga-lembaga survei pada umumnya, tapi juga menimbulkan kebingungan di mata publik. Terlebih lagi dalam situasi rawan pascapilpres, dikhawatirkan hitung cepat yang direkayasa bisa menyebabkan gesekan di tingkat akar rumput.

Hitung cepat pada dasarnya adalah metode ilmiah yang digunakan untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Hitung cepat pertama kali diadakan di Filipina pada 1986 mampu membongkar kecurangan sistematis dan masif yang dilakukan rezim Ferdinand Marcos yang ujungnya mampu menggerakkan people power yang menumbangkan kekuasaan otoriter di sana. Sungguh ironis jika kemudian penyelenggara hitung cepat yang tak bertanggung jawab justru menjadikan prediksinya sebagai alat untuk menjustifikasi praktik manipulasi hasil pemilu.

Patut diduga hasil hitung cepat yang direkayasa ditujukan untuk melegitimasi hasil pemilu yang curang. Ini penting diwaspadai karena hitung cepat yang dilaksanakan dengan standar akademik tinggi jelas memiliki kelebihan karena sumber datanya diambil langsung dari tangan pertama, yakni TPS.

Autentisitas dan kemurnian data bisa dijamin karena data perolehan suara di tingkat TPS belum dicemari kemungkinan kecurangan yang terjadi di tingkat yang lebih tinggi, yakni rekapitulasi di desa/ kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Hitung cepat yang dilakukan oleh lembaga yang kredibel mampu menjadi data pembanding bagi KPU. Jika hasil rekapitulasi KPU dan hasil hitung cepat yang kredibel kurang lebih sama, kita cukup yakin bahwa suara rakyat tidak dirampok oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar