Rabu, 16 Juli 2014

Poster Politik

                                                           Poster Politik

Muhidin M Dahlan  ;   Kerani @warungarsip
KORAN TEMPO,  14 Juli 2014
                                                


Hari pencoblosan dua kandidat Presiden RI memang sudah berlalu. Tapi Pemilu 2014 menyisakan kegembiraan lain, yakni lahirnya beragam warna poster politik dari seniman visual.

Poster adalah plakat yang berisi lembar gambar dan teks yang disiarkan kepada publik. Berbeda dengan publikasi seperti buku dan brosur, poster merupakan pesan singkat yang impresif lewat warna dan kata. Tujuannya tak hanya mempengaruhi, tapi juga menggerakkan persepsi.

Dalam sejarah politik di Indonesia, fungsi poster adalah protes. Seniman-seniman revolusioner, seperti Sudjojono, Affandi, dan Hendra Gunawan, adalah pembuat-pembuat poster propaganda yang legendaris.

Kerja pembuatan poster yang dibuat secara serius menemukan momentumnya. Sosok Jokowi--dengan magnituda yang menguar dalam dirinya--mampu menarik para relawan seniman visual untuk berkarya di panggung raksasa bernama Pemilu 2014. Dan ini menjadi pembeda yang signifikan dengan lawan tarungnya.

Saya menyebutkan nama Alit Ambara di tempat teratas dalam produksi poster politik Pemilu 2014. Alit adalah seniman poster paling bersinar saat ini. Pada Oktober 2013, ia bersama Folk Mataraman Institute (FMI) membuat pameran visual tunggal bertajuk "Posteraksi" di Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran itu berisi 180 poster aksi yang dibuatnya untuk meneriakkan protes dan sekaligus kesaksian politik. Dari jumlah posternya saja kita tahu betapa seriusnya Alit Ambara, yang bekerja di bawah kibaran bendera Nobodycorp Internationale Unlimited.

Sementara umumnya poster-poster Alit ditempel di dinding kota, pada pergelaran pemilu ini ia menyebarnya di media sosial. Selain untuk pencerahan pemilih, poster-poster Alit bertugas untuk menghalau kekuatan jahat yang berdiam dalam korporasi dan institusi politik menuju tampuk kekuasaan.

Selain nama Alit, ada dua nama juga yang mencuri perhatian, yakni Hari Prast dan Yoga Adhitrisna. Dua seniman poster dan komik inilah yang menafsir blusukan Joko Widodo dengan gambar petualangan seperti Tintin. Poster keduanya dibagikan secara terbuka dan masif via media sosial untuk menunjukkan Jokowi adalah sosok pekerja yang tak pernah lelah mengelilingi pasar-pasar tradisional di Indonesia; dari Papua hingga Aceh. Bahkan fenomena Jokowi menyinggahi ruang-ruang kerja seniman.

Pesan poster Hari Prast dan Yoga ini mengisi karakter Jokowi yang lebih banyak bergerak ketimbang berwacana. Poster yang dikelola dalam tajuk "Gulung Lengan Bajumu"--nah ini--justru bukan poster protes melainkan ajakan persuasif memahami kedalaman kerja Jokowi.

Sementara poster Alit Ambara berpotensi "membikin ramai", sebagaimana perhelatan pameran poster sehari di Ruang Rupa Jakarta dengan tajuk "#Siaga2#Jaga2"; poster Prast dan Yoga justru "membikin gembira".

Yang ingin saya katakan, kehadiran poster-poster seni dalam tradisi berpolitik Jokowi memberi harapan baru akan kembalinya poster seni di belantika politik Indonesia. Kehadiran dan kemampuan persuasinya tidak bisa dianggap enteng. Poster adalah tenaga raksasa yang diam dalam memobilisasi dukungan dan membuat gelombang teriakan lebih bergema dan berdetak lama dalam lini masa pikiran publik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar