Yudhoyono,
Jokowi, dan KPK
Fachry Ali ;
Salah
Satu Pendiri LSPEU Indonesia
|
KOMPAS,
15 September 2014
AKHIR
1999 atau awal 2000, sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, Susilo Bambang
Yudhoyono membentuk tim kecil untuk memberikan pandangan sosial-budaya dan
ekonomi kepadanya. Walau menjadi anggotanya, saya lupa kapan tim ini bubar. Melalui
keanggotaan itu, saya berkesempatan berbincang dengannya. Suatu hari,
ditemani Laksamana Madya Darmansyah, saya sampaikan bahwa ia berpotensi
menjadi pemimpin nasional. Dasarnya adalah hasil survei akhir (1998) Lembaga
Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia yang saya pimpin. Survei
itu menangkap aspirasi rakyat Jawa: mereka menginginkan Jenderal Try Sutrisno
jadi presiden. Mengapa? Karena Wakil Presiden (1992-1997) itu ramah dan
berbadan tinggi-besar. Pada 2000 saya tak melihat tokoh mendekati sosok Try
Sutrisno, kecuali SBY.
Sejenak
memandang saya, SBY berkata, ”Ya,
tetapi...,” sambil telunjuknya terangkat ke atas, ”tidak sekarang.” Telunjuk ke atas itu adalah bahasa tubuh yang
mengarah kepada Kiai Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia 1999-2001. Dalam
arti, ia merasa tak etis bercita-cita menjadi presiden dalam periode ulama
presiden ini.
Untuk
merealisasikan cita-cita SBY itu, saya menganjurkannya mempelajari budaya
Jawa, terutama pewayangan, lebih mendalam. Alasannya sederhana: etnisitas
Jawa mayoritas penduduk. Kala berikutnya, saya serahkan kepadanya buku saya, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam
Indonesia Modern terbitan Gramedia (1986). Pada 2004, bersama Jusuf
Kalla, SBY mengadu nasib dan terpilih sebagai presiden periode 2004-2009.
Pada
2011, dalam peluncuran majalah Politic
(tanpa ”s”), saya duduk di samping Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi).
Kepadanya, saya sampaikan, sebuah survei menyatakan ia menempati urutan
pertama untuk Gubernur Jakarta. Spontan ia berkata, ”Mana hasil surveinya. Tak tunjuki sama Bu Mega.” Ketika Jokowi
maju dalam putaran kedua Pemilihan Gubernur Jakarta, Abdul Kholik dari harian
Jakarta Globe mewawancarai saya, ”Apa
mungkin Jokowi menjadi cawapres bagi Prabowo Subianto kelak?”
Tiga
alternatif saya berikan. Pertama, ia tetap Gubernur Jakarta. Kedua, menjadi
cawapres untuk Prabowo akan otomatis. Ketiga, justru Jokowi akan menjadi
pesaing terkuat Prabowo. Kita ketahui, dalam Pemilu Presiden 2014, Jokowi
bukan saja lawan tanding Prabowo, melainkan terpilih presiden untuk periode
2014-2019.
Memanggil
kembali ingatan peristiwa itu, saya teringat judul buku kumpulan karangan
sejarawan Harry J Benda, Continuity and
Change. Dalam hati, saya bertanya, apakah perubahan politik Indonesia
dewasa ini mencerminkan judul buku itu?
Terutama
melihat lanskap kesadaran politik rakyat, yang terjadi bukanlah kesinambungan,
tetapi perubahan. Berdasarkan survei LSPEU Indonesia yang telah disebut, saya
cenderung menyatakan bahwa dalam periode 1998-2004, sosok tampilan pemimpin
ideal dalam benak rakyat adalah Try Sutrisno. Apa artinya? Kegagahan
tampilan, gabungan kesatria dan priayi sekaligus pusat keterpukauan rakyat.
Spekulasi
saya, keterpukauan ini telah terpatri puluhan tahun melalui tampilan gagah
Soekarno dan Soeharto. Namun, pada saat itu, rakyat tidak berdaulat, dalam
arti absennya sistem pemilihan langsung. Keterpukauan ini tak mampu
diterjemahkan rakyat dalam memilih pemimpin. Yang muncul justru BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri.
Bagi
kaum intelektual, ketiganya sangat ideal. Di manakah negeri berpenduduk
mayoritas Muslim, seorang perempuan bisa menjadi presiden? Di manakah negeri
mayoritas penduduk beretnisitas Jawa, seorang bukan Jawa bisa menjadi
presiden? Di manakah negeri yang sedang memodernkan diri, seorang anggota
kaum sarungan bisa menjadi presiden? Bukankah semua itu, dalam benak kaum
intelektual, hanya terjadi di Indonesia?
Namun,
biasanya kaum intelektual tak pernah mampu memproyeksikan hasratnya kepada
rakyat. Konsepsi pemimpin ideal berdasarkan tampilan tokoh gabungan kegagahan
kesatria dan priayi, yang terawetkan selama ini, dengan demikian, tetaplah
terpatri di benak rakyat.
Kemunculan
fantastis SBY pada 2004 tegak sepenuhnya atas lanskap kesadaran politik
rakyat ini: memenuhi ”kerinduan” wong cilik akan sosok pemimpin gagah
gabungan kesatria dan priayi setelah diinterupsi kehadiran Habibie,
Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Bersamaan itu, terjadi perkembangan
kualitatif sistem politik, yaitu pengakuan konstitusional akan hak rakyat,
yang diwujudkan dalam bentuk pemilihan langsung pada 2004.
Ini
artinya, hanya rakyat yang berhak menentukan pemimpin mereka sebab bukankah
sebelumnya hak mulia ini dimonopoli anggota MPR? Sistem demokrasi 2004,
praktik pemilihan langsung, secara kultural menguntungkan kelas kesatria dan
priayi seperti SBY.
Berubah radikal
Satu
dekade kemudian, lanskap kesadaran politik rakyat berubah dengan radikal.
Perubahan inilah, dalam spekulasi saya, yang memberi panggung kepada ”sosok
rakyat kecil” dan ”lugu” seperti Jokowi.
Panggung
baru ini saya sebut sebagai the
advanced deepening of democratic consciousness (pendalaman lanjutan
kesadaran berdemokrasi). Dua variabel pokok yang bergantung menandai
perkembangan ini: kedaulatan rakyat, yang terpatri sejak 2004, mengalami
pematangan dan kemunculan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagaimana
akan dilihat, yang pertama terbantu kinerja yang kedua sebab secara tak
disengaja kehadiran KPK seakan menghadirkan, menggunakan frasa sosiolog Peter
Berger, debunking forces (kekuatan pembongkaran mitos-mitos yang selama ini
berlaku). Karena aksi KPK sepenuhnya tertuju kepada elite penguasa, citra
sosok gagah, gabungan kesatria, dan priayi yang sebelumnya mewakili model
pemimpin ideal memudar di mata rakyat. Bagi rakyat, kemunculan KPK, dengan
demikian, adalah alat membuka mata kepalsuan konsepsi politik mereka sendiri.
Di sini KPK telah membantu peningkatan kemampuan political evaluative rakyat.
Perubahan
konsepsi politik rakyat akan pemimpin ideal inilah isi inti the advanced deepening of democratic
consciousness. Ini tak hanya ditandai senjakala ning keterpukauan rakyat
terhadap kelas kesatria-priayi. Namun, melalui kemunculan Jokowi sebagai
simbol, berlanjut pada hal yang lebih substansial, yaitu perubahan politik
yang lebih didikte oleh meningkatnya kemampuan political evaluative rakyat.
Dalam hal ini, rakyat tidak berhenti pada pemahaman bahwa mereka telah
menjadi ”tuan”, melainkan merekalah juru nilai otoritatif dalam menentukan
pemimpin layak dukung.
Semua
ini tidak saja menjelaskan mengapa ribuan selot iklan televisi dan
ditayangkan selama bertahun-tahun, yang dilancarkan kelompok superkaya, tidak
memiliki daya pikat di hadapan rakyat. Namun, tergelarnya efek kualitatif
Pilpres 2014: perubahan politik yang melampaui sifat konvensionalnya. Jika
efek sebelumnya hanya berwujud pada elite
circulation, yaitu perubahan tempat kelompok elite di atas struktur kelas
yang sama, kini, sebagai akibat kinerja KPK, supremasi elite itu sendiri
rontok melalui efek kebangkitan political
evaluative rakyat.
Pertanyaan
yang tersisa: apakah Jokowi dan kalangan yang berkoalisi dengannya dewasa ini
menyadari perubahan substansial politik nasional ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar