Dilema
Politik Jokowi
Abdillah Toha ;
Mantan
Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen DPR
|
KOMPAS,
15 September 2014
PELAJARAN
berharga untuk Joko Widodo dapat ditarik dari pengalaman Barack Obama. Inilah
seorang presiden yang punya banyak kemiripan dengan Jokowi.
Idealismenya
yang disampaikan melalui retorika yang inspiratif dan janji-janji kampanyenya
untuk mengubah budaya politik partisan Washington telah mengilhami mayoritas
rakyat Amerika untuk memilihnya. Jokowi yang dipersepsi sebagai seorang
pekerja idealis yang sederhana juga menjanjikan kabinet ahli dan ”revolusi”
karakter bangsa maju, berdaulat, dan mandiri. Seperti juga terhadap Obama,
harapan rakyat atas perubahan besar di bawah Jokowi sangat besar.
Setelah
lebih dari dua setengah periode, satu-satunya ”keberhasilan” Obama barangkali
ada pada UU jaminan kesehatan The
Affordable Care Act yang lebih dikenal dengan Obamacare. Ini pun tidak semua sepakat. Di luar itu, banyak
kritik atas kegagalan Obama. Di bawah Obama, defisit APBN AS terus meningkat,
bahkan lebih tinggi daripada era Bush Junior yang dianggap sebagai
pemerintahan terburuk dalam sejarah AS. Akibatnya, utang Pemerintah AS saat
ini telah mencapai 16 triliun dollar AS, melewati produk domestik bruto (PDB)
AS setahun. Penyembuhan resesi tersendat-sendat dengan kelas menengah AS
sebagai pihak paling menderita, seperti ditunjukkan oleh makin melebarnya
jurang pendapatan si kaya dan si miskin.
Namun,
sumber dari hampir semua kegagalan di atas—salah satu kegagalan Obama yang
dianggap paling besar—adalah tak berhasilnya Obama merealisasikan janjinya
menyatukan rakyat AS dengan mengubah politik partisan Washington guna
mendapat dukungan Kongres kepada pemerintahnya. Konflik terus-menerus terjadi
dengan Kongres sehingga melumpuhkan pemerintah federal selama 16 hari karena
Kongres menolak usulan anggaran Obama pada Oktober 2013. Partai Republik yang
menguasai House of Representatives
(semacam majelis rendah) tampaknya tidak rela melihat pemerintahan Obama
berjalan mulus dan menolak hampir semua inisiatif Obama sampai sekarang.
Prospek Jokowi-JK
Akankah
nasib Jokowi seperti Obama? Posisi Jokowi memang dilematis. Walau belakangan
terdengar beberapa suara bernada rekonsiliatif, tak dapat dihindari kesan
bahwa mereka yang masih merasa ”sakit hati” dan belum legawa atas kekalahan
dalam pilpres lalu sedang mengonsolidasi diri dan ancang-ancang menentang
agenda Jokowi. Melalui kekuatan mayoritas mereka yang menguasai 353 kursi (63
persen) DPR, secara teoretis kubu Koalisi Merah Putih berpotensi menggagalkan
semua agenda besar Jokowi, terutama lewat wewenangnya dalam anggaran dan
perancangan undang-undang.
Jokowi
perlu sedikitnya tambahan dukungan 73 kursi (14 persen) partai di DPR agar
aman. Sejauh ini masih terus terdengar suara-suara optimistis yang tidak
kunjung terealisasi akan adanya satu dua anggota Koalisi Merah Putih yang
akan membelot ke Jokowi. Tidak jelas kepada kita jurus apa yang sedang dan
akan dilakukan Jokowi untuk menggaet partai-partai itu, kecuali beberapa
”silaturahim” yang sering diberitakan belakangan ini. Yang lebih jelas,
Jokowi menghadapi beberapa hambatan internal dan eksternal untuk menambah
kekuatan pendukungnya.
Partai
Demokrat beberapa kali telah menunjukkan sinyal-sinyal positif ingin mendekat
ke Jokowi. Sayang sekali, sinyal-sinyal itu sejauh ini kurang direspons
dengan baik. Hambatan utama Jokowi dalam hal ini diperkirakan karena belum
cairnya hubungan pribadi Ketua Umum PDI-P dengan SBY. Megawati, yang
bertindak sangat negarawan ketika mencalonkan Jokowi, seharusnya dapat
melanjutkan sikap kenegarawanannya dengan menyingkirkan masalah pribadinya
dengan SBY demi keberhasilan misi Jokowi. Jokowi, sebaliknya, harus pula
membuktikan dia bukan sekadar ”boneka” seperti yang dituduhkan lawan
politiknya dalam kampanye yang lalu.
Hambatan
intern kedua bagi Jokowi adalah janji kampanyenya untuk tidak berperilaku
transaksional dalam menempatkan menteri-menterinya. Inilah salah satu sikap
dan janji politik Jokowi yang mendapat dukungan luas dalam pilpres. Namun,
dalam kehidupan politik nyata, sikap demikian tidak selalu mudah
dipraktikkan. Kita tahu persis, tidak ada yang gratis dalam dukungan partai
politik. Yang harus dilakukan Jokowi, mencari jalan tengah yang dapat
menampung aspirasi partai pendukung, tetapi tetap berprinsip membentuk sebuah
kabinet yang berbasis kompetensi, keahlian, dan karakter.
Jokowi
barangkali perlu tetap membuka pintu bagi partisipasi partai di kabinet.
Namun, siapa yang ditunjuk sebagai menteri dari partai tidak boleh diserahkan
sepenuhnya kepada pimpinan partai, tetapi atas dasar penilaian presiden
terpilih. Walaupun hal ini tidak mudah, di dalam tubuh partai politik
diperkirakan masih bisa dicari satu-dua tokoh yang berkeahlian dan
berkarakter baik untuk jabatan tertentu.
Hambatan
ekstern terhadap Jokowi memang masih pada masalah konflik internal di dalam
tubuh beberapa partai politik anggota Koalisi Merah Putih, seperti Golkar dan
PPP. Kepastian perubahan kepemimpinan dalam dua partai ini diperkirakan akan
memudahkan mereka mengambil keputusan.
Dalam
waktu dekat sampai Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya, diperkirakan
konflik internal tersebut masih belum selesai. Karena itu, tampaknya yang
lebih feasible dalam waktu dekat adalah pendekatan yang lebih intensif kepada
Partai Demokrat dan PAN. Dengan tambahan 110 kursi, posisi Jokowi di DPR akan
jauh lebih aman.
Komunikasi publik
Skenario
paling pesimistis adalah berlanjutnya posisi dukungan partai ke kubu Jokowi
seperti sekarang sampai terbentuknya kabinet. Apabila ini yang terjadi, yang
dapat dilakukan Jokowi ada dua.
Pertama,
berjalan apa adanya sambil berharap pada bulan-bulan pertama pemerintahannya
terjadi perubahan sikap partai yang sekarang berada di luar. Ini pun jika
terjadi bukan tanpa masalah karena Jokowi kemudian akan dituntut tetap
menampung mereka dalam posisi yang sudah terisi penuh.
Kedua,
Jokowi-JK harus mengandalkan kepada dukungan rakyat jika agenda-agendanya
dijegal DPR. Melalui komunikasi publik yang teratur dan terjaga dengan
masyarakat madani, tokoh-tokoh penting, media massa, ormas-ormas keagamaan,
serta kekuatan nonparlementer lain
diharapkan DPR dapat dijinakkan apabila tidak berpihak kepada kepentingan
rakyat banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar