Transisi
Politik Agraria
Gunawan ; Anggota
Pokja Khusus Dewan Ketahanan Pangan
|
KORAN
JAKARTA, 23 September 2014
Hari
Tani Nasional diperingati pada 24 September, saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) disahkan.
Tanggal itu juga diperingati sebagai Hari Agraria Nasional. Yang penting
tentu bukan seremoni, tapi agenda prioritas presiden terpilih, Joko Widodo,
guna memenuhi hak-hak petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan serta
dalam rangka menjalankan reformasi agraria.
Peralihan
kekuasaan berakibat agenda kerja pemerintah terkait politik agraria yang
belum selesai di masa Presiden SBY menjadi tugas penggantinya, Presiden
Jokowi. Ini karena sejumlah agenda tersebut merupakan perintah undang-undang
yang menuntut komitmen politik presiden dalam mewujudkan reformasi agraria,
kedaulatan pangan, dan pemenuhan hak-hak petani.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
merupakan koreksi atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Wujud koreksinya berupa larangan
mengekspor bahan tambang mentah, kewajiban membangun pabrik pemurnian dan
pengolahan (smelter), serta kontrak karya pertambangan harus disesuaikan
dengan UU Minerba.
Untuk
menjalankan mandat UU Minerba, pemerintah melakukan renegosiasi dengan
perusahaan-perusahaan pertambangan. Dalam praktiknya, renegosiasi berjalan
melampaui batas waktu yang ditetapkan, tanggal 12 Januari 2010. Menurut
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan berlarut-larutnya penyesuaian
kontrak, terjadi kerugian keuangan negara.
Evaluasi
Presiden
Jokowi perlu mengevaluasi renegosiasi karena bukan mekanisme perpanjangan
kontrak, melainkan upaya korektif. Renegosiasi untuk memastikan bahwa
pertambangan bisa dipertanggungjawabkan dan digunakan sebesar-besar untuk
kemakmuran rakyat.
Renegosiasi
kontrak karya pertambangan sebagai pelaksanaan dari reformasi agraria
diharapkan mampu mengoptimalkan penerimaan negara sehingga pemerintah baru
memiliki anggaran yang cukup. Di bidang pertanahan, renegosiasi diharapkan
melindungi hak atas tanah masyarakat yang masuk wilayah kontrak karya
pertambangan. Pembatasan penggunaan tanah untuk pertambangan memungkinkan
dilakukan perbaikan lingkungan hidup dan redistribusi tanah.
Hal
tersebut mensyaratkan Jokowi mengubah Tim Evaluasi Penyesuaian Kontrak Karya
dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Politik
Pangan
Berdasarkan
mandat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, guna mewujudkan
kedaulatan dan kemandirian pangan nasional, dibentuk lembaga pangan yang
bertanggung jawab pada presiden.
Sebagai
tanggung jawab negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak atas serta
persoalan pangan yang multisektor, sudah sepantasnya kelembagaan pangan
berwenang penuh mengoordinasi pusat dan daerah serta antarsektor. Tujuannya
kebijakan pangan integral dengan bidang agraria, pertanian, perikanan,
peternakan, perdagangan, perindustrian, keuangan, pendidikan, dan kesehatan.
Di
masa Presiden SBY, draf rancangan peraturan presiden terkait lembaga pangan
sudah dibahas. Pemerintah baru perlu memeriksa dokumen tersebut dan
menyiapkan tim baru untuk merampungkannya.
Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
memerintahkan negara menjamin lahan pertanian, kemudahan untuk memperoleh
tanah sebagai kawasan pertanian, dan pemberian tanah negara maksimal 2
hektare kepada petani. Demikian pula dalam Nawacita (sembilan agenda
prioritas) visi-misi Jokowi juga menjanjikan perubahan kepemilikan tanah
petani dari rata-rata 0,3 ha menjadi 2 ha.
Namun,
dari mana tanah objek yang akan diredistribusikan? Sebab UU tersebut terbatas
pada objek yang bisa diredistribusikan, seperti tanah negara bebas dan bekas
tanah telantar.
Objek-objek
tanah lain yang bisa diredistribusikan terdapat di dalam Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Reformasi Agraria. Sayangnya, hingga kini, RPP
tersebut tidak perndah ditandatangani Presiden SBY. Objek serupa kini
terdapat dalam RUU Pertanahan sebagai Tanah Objek Reformasi Agraria.
Persoalan
berikutnya, siapa berwenang melaksanakan reformasi agraria karena sebelumnya
lewat Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006, Badan Pertanahan Nasional
(BPN)-lah yang menyelenggarakan reformasi agraria? Namun, fungsi tersebut
dihilangkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang BPN. Fungsi BPN
menangani konflik pertanahan juga dihilangkan.
Agar
reformasi agraria bisa berjalan dan konflik bisa ditangani, pemerintah kelak
mesti menyiapkan lembaga yang menjalankan reformasi agraria dan penyelesaian
konfliknya. Evaluasi dan reorganisasi lembaga-lembaga pemerintah terkait agraria
penting karena konsolidasi demokrasi di dalam transisi memerlukan penguatan
kelembagaan untuk mengubah struktur agraria.
Tentu
saja kelembagaan akan berjalan baik bila diikuti perekrutan baik pula. Maka,
Jokowi harus memilih menteri bidang agraria dan pangan orang yang kapabel
mereformasi agraria dan renegosiasi kontrak pertambangan. Dia juga jago dalam
redistribusi tanah kepada petani dan soal kedaulatan pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar